Ketika Umar Memanggil Ali: Kisah Pertanyaan Pendeta Yahudi yang Membuktikan Kedalaman Ilmu
Ilustrasi
Dirgantaraonline - Dalam sejarah Islam, banyak kisah yang mengabadikan keutamaan para sahabat Nabi Muhammad ï·º. Salah satunya adalah cerita ketika seorang pendeta Yahudi datang kepada Khalifah Umar bin Khattab dengan membawa sejumlah pertanyaan pelik yang ia yakini tidak mudah dijawab. Peristiwa ini kemudian menjadi saksi keilmuan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sekaligus meneguhkan keyakinan bahwa ilmu adalah senjata terkuat seorang mukmin.
Latar Belakang: Kedatangan Sang Pendeta
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, banyak tokoh dari berbagai agama yang ingin menguji kecerdasan dan keyakinan kaum Muslimin. Di antara mereka, seorang pendeta Yahudi datang dengan membawa sederet pertanyaan yang dianggap hanya bisa dijawab oleh orang yang benar-benar menguasai ilmu agama.
Pendeta itu menemui Umar dan berkata:
"Wahai Amirul Mukminin, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Jika engkau dapat menjawabnya, aku akan mempertimbangkan kebenaran agama Islam. Namun jika engkau tidak mampu, maka biarkanlah aku tetap dalam keyakinanku."
Umar, yang terkenal dengan kebijaksanaan sekaligus kewaspadaannya, tidak gegabah. Ia menyadari bahwa pertanyaan ini bukan sekadar ujian intelektual, tetapi juga menyangkut marwah Islam di mata seorang pemuka agama lain. Maka Umar pun berkata dengan tenang:
"Aku akan memanggil orang yang paling tepat untuk menjawabmu. Ia adalah pintu ilmu, saudara sepupu sekaligus menantu Rasulullah ï·º."
Dengan penuh keyakinan, Umar lalu memanggil Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Pertanyaan-Pertanyaan Sang Pendeta
Setelah Ali hadir, pendeta itu mengajukan pertanyaan pertamanya dengan nada menantang:
-
"Apa yang tidak diciptakan oleh Allah?"
Ali menjawab tegas:
"Allah menciptakan segala sesuatu. Namun satu hal yang tidak Allah ciptakan adalah huruf-huruf Al-Qur’an, sebab ia adalah kalam-Nya yang azali, bukan makhluk." -
"Siapakah wanita yang melahirkan tetapi tidak memiliki rahim?"
Ali menjawab dengan senyum penuh ketenangan:
"Wanita itu adalah Hawa. Allah menciptakannya dari tulang rusuk Nabi Adam, bukan dari rahim seorang ibu." -
"Apakah kubur yang berjalan bersama isinya?"
Ali menjawab tanpa ragu:
"Itu adalah ikan paus yang menelan Nabi Yunus. Perut paus itu menjadi kubur bagi beliau, namun tetap bergerak di tengah lautan." -
"Apakah sesuatu yang diciptakan Allah namun dianggap besar padahal kecil, dan dianggap kecil padahal besar?"
Ali menjelaskan dengan mendalam:
"Sesuatu yang dianggap besar padahal kecil adalah dunia dengan segala perhiasannya. Sementara sesuatu yang dianggap kecil padahal besar adalah amal saleh yang dilakukan dengan ikhlas." -
"Apakah sesuatu yang bernapas tetapi tidak memiliki ruh?"
Ali menjawab dengan lantang:
"Itu adalah waktu subuh, sebagaimana firman Allah: 'Dan demi subuh apabila ia mulai bernapas.' (QS. At-Takwir: 18)."
Keheningan yang Memukau
Setiap jawaban Ali membuat pendeta itu terdiam. Ia mendapati bahwa jawaban yang diberikan bukan sekadar logika, tetapi penuh dengan kedalaman makna, bersandar pada dalil, dan disampaikan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Umar yang menyaksikan dialog itu pun tersenyum lega. Ia tahu bahwa pilihannya memanggil Ali bukanlah keputusan keliru. Justru di situlah terlihat betapa dalamnya ilmu Ali ilmu yang diperoleh dari didikan langsung Rasulullah ï·º.
Hikmah dari Kisah Ini
Kisah pertemuan Umar, Ali, dan pendeta Nasrani ini memberikan banyak pelajaran:
- Kerendahan hati seorang pemimpin. Umar tidak merasa harus menjawab semua pertanyaan sendiri. Ia tahu kapan harus menyerahkan urusan pada yang lebih ahli.
- Keutamaan ilmu Sayyidina Ali. Julukan Bab al-‘Ilm (Pintu Ilmu) bukan sekadar simbolis, tetapi nyata dalam sejarah.
- Dialog antaragama. Kisah ini menunjukkan bahwa Islam tidak anti-dialog, bahkan justru menyambut pertanyaan dengan jawaban yang bijaksana.
- Iman yang kokoh. Jawaban Ali tidak hanya rasional, tetapi juga penuh dengan spiritualitas, membuktikan bahwa iman sejati berdiri di atas ilmu.
Dialog antara Sayyidina Ali dan pendeta Nasrani di masa Khalifah Umar bin Khattab adalah potret indah bagaimana Islam mengajarkan keterbukaan, kecerdasan, dan kedalaman ilmu. Bagi umat Islam, kisah ini adalah pengingat bahwa kebenaran tidak hanya dipertahankan dengan pedang, tetapi juga dengan akal, ilmu, dan hujjah yang kuat.
Ali bukan hanya seorang panglima yang gagah di medan perang, tetapi juga ulama yang tak tertandingi dalam medan ilmu. Maka tak berlebihan bila Nabi Muhammad ï·º pernah bersabda:
"Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya."
(***)
#Islami #Religi