Upaya Mengaburkan Fakta: Satria Juhanda, Pemutilasi Sadis Padang Pariaman, Mainkan Psikologi Penegak Hukum
Satria Juhanda, yang dikenal juga sebagai Wanda, merupakan tersangka utama dalam kasus pembunuhan sadis tiga wanita muda di Padang Pariaman. (Sumber foto: Rehasa/Sumbarkita)
D'On, Padang Pariaman – Di balik baju tahanan biru dan borgol yang membelenggu tangannya, Satria Juhanda alias Wanda (25) menunduk lesu. Langkah kakinya pelan, nyaris tanpa suara, seolah mencoba menyembunyikan keberadaan dan kebusukan dari tindakannya sendiri. Namun tak satu pun gesture tubuh itu bisa menyamarkan fakta bahwa ia adalah pelaku utama dari salah satu tragedi paling mengerikan yang pernah mengguncang Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman pembunuhan sadis disertai mutilasi terhadap tiga perempuan muda.
Pada Minggu, 22 Juni 2025, Wanda dihadirkan dalam konferensi pers oleh Polres Padang Pariaman. Wajahnya kaku. Tatapannya kosong. Tidak ada jejak penyesalan. Tetapi lebih dari sekadar tampil di depan publik, kehadirannya membuka babak baru dari drama penyidikan yang kian rumit: perubahan drastis dalam sikap dan keterangannya yang tidak lagi konsisten.
Sikap Berubah, Motif Terselubung?
Perubahan mencolok itu pertama kali diungkap oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Padang Pariaman, Iptu AA Reggy. Menurutnya, Wanda yang sebelumnya cukup kooperatif, kini mulai menunjukkan gelagat manipulatif.
“Selama beberapa hari terakhir di sel, dia sangat berbeda. Lebih pendiam, dan setiap kali ditanya ulang soal kronologi kejadian, jawabannya berubah-ubah. Itu jelas mencurigakan. Kami menduga kuat ada upaya dari dirinya untuk memelintir fakta,” ujar Iptu Reggy.
Namun keganjilan tidak berhenti di situ. Wanda bahkan beberapa kali menunjukkan perilaku yang mengarah pada instabilitas emosi. Ia kerap termenung lama dalam interogasi, lalu tertawa kecil tanpa konteks yang jelas. Di lain waktu, ia menolak menjawab pertanyaan penting, terutama yang menyangkut motif pembunuhan dan keberadaan potongan tubuh korban yang masih hilang.
“Respons-respons itu bisa jadi taktik. Entah untuk menciptakan keraguan atas kesehatan jiwanya atau untuk mencari celah hukum demi meringankan vonis. Tapi yang jelas, bukti-bukti forensik dan pengakuan awalnya sudah sangat kuat,” tambah Reggy.
Diam dan Menunduk, Tak Ada Penyesalan
Ketika sesi tanya jawab dengan awak media dibuka, seorang jurnalis menanyakan langsung kepada Wanda: Apakah Anda menyesal?
Wanda hanya melirik singkat ke arah suara itu, lalu kembali menunduk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Jawaban yang tak pernah datang justru menguatkan narasi yang selama ini dicurigai polisi: bahwa pelaku tidak pernah benar-benar menyesal.
Sementara itu, Kapolres Padang Pariaman, AKBP Ahmad Faisol Amir, dengan tegas menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan terjebak dalam permainan psikologi pelaku. Ia memastikan bahwa Wanda akan diproses dengan pasal paling berat: Pasal 340 KUHP jo Pasal 65 KUHP, yang mengatur tentang pembunuhan berencana dengan kemungkinan hukuman mati, seumur hidup, atau 20 tahun penjara.
“Ini pembunuhan yang dilakukan dengan kesadaran penuh. Tidak ada kondisi psikotik. Tidak ada penyesalan. Hanya ada kebengisan yang disengaja,” tegas Kapolres Ahmad Faisol dengan nada geram.
Potongan Tubuh Masih Dicari, Duka Keluarga Belum Usai
Tragedi ini belum sepenuhnya terungkap. Dari tiga korban yang dibunuh, yaitu Septia Adinda, Cika, dan Adek, polisi masih berupaya menemukan sisa-sisa tubuh Septia. Tiga bagian tangan kiri dan satu potongan betis kiri hingga kini belum ditemukan. Potongan kerangka Cika dan Adek sebelumnya ditemukan dalam kondisi tak utuh, dibuang di dalam sumur tua di kawasan Batang Anai—sebuah lokasi yang kini menjadi simbol dari kebiadaban yang melampaui batas kemanusiaan.
“Kami berharap masyarakat di sekitar lokasi kejadian bisa membantu. Jika menemukan apa pun yang mencurigakan—apakah itu potongan tubuh atau benda yang berhubungan dengan kasus—harap segera melapor. Ini bukan semata-mata soal penyidikan, tapi soal hak korban untuk dimakamkan secara utuh, dan hak keluarga untuk mendapatkan keadilan,” pinta Iptu Reggy, nyaris dengan nada haru.
Lebih dari Kejahatan, Ini Adalah Luka Kolektif
Kasus Wanda tidak hanya meninggalkan luka dalam bagi keluarga korban. Ia juga telah menggoreskan trauma pada masyarakat sekitar. Warga Batang Anai kini hidup dalam bayang-bayang kekejaman yang terasa sulit dipercaya dilakukan oleh seorang pria muda berusia 25 tahun. Seorang pelaku yang dikenal biasa saja, tidak menonjol, dan tidak pernah mencurigakan hingga akhirnya kebenaran yang mengerikan muncul ke permukaan.
Kini, dengan gelagat manipulatifnya, Wanda tampaknya hendak menambah luka itu: bukan hanya dengan apa yang telah ia lakukan, tetapi dengan bagaimana ia mencoba membelokkan jalan menuju keadilan.
(Mond)
#Mutilasi #Pembunuhan #Kriminal #PembunuhanBerantai