Tragisnya Nasib Desi Arianti: Ombudsman Ungkap CCTV RSUD dr. Rasidin Tak Berfungsi Saat Dugaan Penolakan Pasien
D'On, Padang, Sumatera Barat — Sebuah tragedi yang menyayat hati kembali menggugah nurani publik. Desi Arianti (44), warga Gunungsariak, Kuranji, mengembuskan napas terakhirnya setelah diduga ditolak saat mencari pertolongan darurat di RSUD dr. Rasidin Padang—rumah sakit milik Pemerintah Kota Padang. Kasus ini tak hanya mengguncang keluarga korban, tapi juga memunculkan gelombang kritik dan pertanyaan keras terhadap sistem layanan kesehatan publik di Sumatera Barat.
Kini, sorotan tajam mengarah ke proses investigasi yang tengah dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat. Asisten Muda Ombudsman, Rahmadian Novert, menyatakan bahwa timnya telah melakukan pemeriksaan awal yang mengungkap sejumlah kejanggalan serius. Salah satunya, dan mungkin paling mencolok: kamera pengawas (CCTV) di area krusial Instalasi Gawat Darurat (IGD) ternyata tidak merekam saat kejadian berlangsung.
“Kami sudah melakukan investigasi, kita sudah turun langsung ke lokasi. Tapi sangat disayangkan, CCTV tidak merekam. Keterangan yang kami terima: alat itu tidak berfungsi saat kejadian,” ujar Rahmadian dalam dialog publik Detak Sumbar yang ditayangkan Padang TV, Senin malam (2/6/2025).
Padahal, dalam kasus medis yang bersentuhan dengan nyawa manusia dan dugaan pelanggaran layanan, rekaman CCTV dapat menjadi bukti kunci untuk mengungkap kebenaran. Ketidakhadiran dokumentasi visual ini, menurut pengamat, menciptakan ruang abu-abu yang menyulitkan pengungkapan fakta dan bisa memicu spekulasi liar.
Potensi Maladministrasi dan Temuan Mencengangkan
Tim Ombudsman tidak berhenti di sana. Mereka telah memintai keterangan berbagai pihak di rumah sakit, menelusuri dokumen pelayanan, dan menganalisis prosedur operasional untuk menilai apakah terjadi maladministrasi—bentuk kelalaian administratif yang dapat mengarah pada pelanggaran hak warga negara atas layanan publik yang layak.
“Kami belum bisa menyimpulkan sepenuhnya, masih ada kemungkinan maladministrasi terjadi, atau justru tidak terjadi. Tapi indikasi awal tetap kami anggap serius,” ujar Rahmadian.
Yang mengejutkan, salah satu temuan awal menyebut bahwa petugas medis yang menangani pasien di IGD kemungkinan tidak memiliki sertifikat kompetensi kedaruratan. Hal ini jelas mengkhawatirkan, sebab rumah sakit seharusnya menjadi benteng terakhir harapan pasien bukan ladang eksperimen bagi tenaga yang belum kompeten.
“Bagaimana bisa seseorang tanpa sertifikat kedaruratan ditempatkan di garis depan pelayanan? Ini sangat riskan. Nyawa manusia tidak boleh dipertaruhkan,” tegasnya.
Antara Malpraktik dan Maladministrasi
Dalam penjelasannya, Ombudsman juga menekankan pentingnya membedakan antara maladministrasi dan malpraktik medis. Jika terbukti terjadi malpraktik—kesalahan prosedur atau tindakan medis yang menyebabkan kerugian pasien—maka jalurnya adalah proses hukum pidana atau perdata.
Namun bila temuan lebih mengarah pada maladministrasi, Ombudsman akan menerbitkan rekomendasi tindakan korektif, termasuk kepada manajemen rumah sakit dan instansi terkait. Dalam kasus ini, bukan tidak mungkin ada kelalaian sistemik di tingkat manajerial yang membiarkan personel tidak bersertifikasi bekerja di area kritis.
Panggilan untuk Pembenahan Sistemik
Kematian Desi Arianti tidak boleh dianggap sebagai insiden biasa. Peristiwa ini menjadi momentum penting bagi pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan dan manajemen RSUD dr. Rasidin, untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayanan, rekrutmen, dan pelatihan pegawai.
“Kami mendorong manajemen rumah sakit untuk memastikan semua petugas memenuhi standar kompetensi. Jangan sampai ada pembiaran atau kelalaian manajerial yang menyebabkan hal-hal seperti ini kembali terjadi,” pungkas Rahmadian.
Harapan Publik: Keadilan dan Reformasi Layanan Kesehatan
Kini publik menanti hasil investigasi menyeluruh dari Ombudsman. Keluarga korban berharap ada keadilan bagi almarhumah Desi Arianti, dan masyarakat luas mendambakan perbaikan nyata dalam layanan medis, khususnya untuk kelompok rentan dan pengguna layanan BPJS seperti pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Di tengah duka yang menyelimuti, satu hal menjadi terang: nyawa tak boleh ditukar dengan kelalaian. Kegagalan sistemik dalam layanan publik, apalagi yang menyangkut kesehatan dan keselamatan, bukan hanya soal teknis ia adalah soal tanggung jawab moral dan politik.
(Mond)
#RSUDRasidin #PenolakanPasien #Padang #Viral #OmbudsmanSumbar