Nasib PT Gag Nikel di Ujung Tanduk: Tarik Ulur Regulasi dan Ancaman terhadap Pulau Kecil Raja Ampat
PT Gag Nikel merupakan anak perusahaan Antam yang bergerak di bidang usaha pertambangan nikel di Pulau Gag, Papua Barat. (Dok PT Gag Nikel)
D'On, Jakarta – Nasib kelanjutan operasional PT Gag Nikel, salah satu pelaku tambang nikel di kawasan eksotis Raja Ampat, kini menggantung di ujung keputusan pemerintah pusat. Perusahaan yang telah memegang Kontrak Karya (KK) sejak 1998 itu memang belum dicabut izinnya, namun penghentian sementara operasional yang dilakukan belakangan ini menunjukkan adanya kegelisahan serius di balik layar.
Di tengah gelombang kritik terhadap aktivitas tambang di pulau-pulau kecil, pemerintah kini tengah melakukan evaluasi besar-besaran terhadap izin operasi PT Gag Nikel. Evaluasi ini melibatkan dua kementerian utama yang berwenang: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Seharusnya dengan operasi yang berjalan kemarin, itu seluruh perizinan mereka terpenuhi. Tapi sekarang kita lagi lakukan evaluasi lebih lanjut,” ujar Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, saat ditemui di Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
Perubahan Regulasi, Mimpi Buruk bagi Kontrak Lama
PT Gag Nikel selama ini beroperasi berdasarkan Kontrak Karya yang sah dan diakui sejak era akhir 90-an. Namun, regulasi yang terus berkembang membuat eksistensi tambang-tambang lama di wilayah sensitif seperti pulau kecil mulai dipertanyakan.
Pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan aturan baru yang menata ulang izin tambang di pulau-pulau kecil wilayah yang memiliki ekosistem rapuh dan rentan terhadap kerusakan lingkungan. Pulau dengan luas kurang dari 2.000 hektare secara otomatis masuk dalam kategori ini.
“Jadi kita harus harmonisasikan kembali seluruh regulasi, karena antara Kontrak Karya lama dan kebijakan perlindungan pulau kecil ini bisa saling berbenturan,” jelas Yuliot.
Itu sebabnya, meski secara hukum KK masih berlaku, aktivitas tambang bisa saja dihentikan apabila bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dan keberlanjutan lingkungan hidup yang diterapkan pascarevisi UU.
Kementerian Saling Koordinasi, Tapi Siapa yang Pegang Kendali?
Persoalan tambang di pulau kecil tidak hanya berada dalam domain ESDM. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merasa punya hak untuk terlibat karena sebagian besar pulau yang dieksplorasi dan dieksploitasi masuk dalam kategori pulau kecil dengan nilai ekologi tinggi.
“Kita akan lakukan evaluasi bersama dengan KKP. Hari Selasa besok, kita ada rapat koordinasi untuk membahas ini,” ungkap Yuliot.
Kehadiran KKP dalam diskusi ini menjadi penting, mengingat banyak konflik tumpang tindih kewenangan yang selama ini dikeluhkan. Tambang yang berizin di kawasan hutan menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ternyata juga masuk dalam wilayah pesisir atau laut yang menjadi domain KKP.
“Jangan sampai hanya karena status hutannya, seolah-olah tidak ada dampak dari tambang. Padahal sebagian besar berada di pulau kecil,” ujar Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP.
Aris menekankan bahwa praktik pemberian izin tidak boleh hanya didasarkan pada status lahan sebagai hutan produksi atau konservasi, tetapi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pulau kecil yang secara hukum memiliki keterbatasan pemanfaatan ruang.
Harmonisasi Undang-Undang: Jalan Terjal yang Harus Ditempuh
Di tengah silang sengkarut ini, satu isu utama yang mencuat adalah belum sinkronnya berbagai regulasi antarkementerian. Undang-undang tentang kehutanan, tambang, dan kelautan seolah berdiri sendiri-sendiri, tanpa mekanisme integratif yang menjamin konsistensi dalam penerbitan izin.
“Ini yang akan kami tinjau ulang. Jangan sampai proses bisnis tambang di pulau-pulau kecil jadi abu-abu hanya karena aturan yang tumpang tindih,” tegas Aris.
Ia menambahkan, KKP tengah menyiapkan usulan revisi regulasi agar kewenangan KKP tidak hanya terbatas pada areal penggunaan lain (APL), tetapi juga bisa menjangkau kawasan hutan, termasuk di dalamnya kawasan tambang.
PT Gag Nikel: Dilema antara Legalitas dan Etika Ekologis
Situasi PT Gag Nikel kini berada di antara dua kutub besar: legalitas dan etika. Di satu sisi, perusahaan memiliki hak hukum untuk beroperasi. Namun di sisi lain, tekanan dari publik, pegiat lingkungan, dan kekhawatiran terhadap kerusakan Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu kawasan laut paling indah di dunia, membuat kelanjutan operasionalnya menjadi perdebatan nasional.
Berbeda dengan empat perusahaan tambang lain yang sudah dicabut Izin Usaha Pertambangan (IUP)-nya di kawasan yang sama, PT Gag Nikel masih punya peluang untuk melanjutkan kegiatan, selama bisa menyesuaikan diri dengan semua tuntutan hukum baru dan hasil evaluasi lintas kementerian.
Namun, semua kini berada di tangan Kementerian Investasi/BKPM yang dipimpin Bahlil Lahadalia. Sebagai pihak yang mengelola sistem perizinan terpadu (OSS), keputusan strategis bisa saja ditentukan oleh lembaga ini, dalam koordinasi dengan ESDM dan KKP.
Akhir Cerita Masih Menggantung
Apakah PT Gag Nikel akan kembali beroperasi dengan regulasi baru yang lebih ketat? Ataukah malah menjadi korban kebijakan penataan wilayah demi konservasi jangka panjang?
Yang pasti, nasib pulau-pulau kecil di Raja Ampat dan segala potensi ekologis yang dimilikinya kini sedang dipertaruhkan dalam rapat-rapat koordinasi pemerintah pusat.
Dan publik, khususnya masyarakat adat dan lingkungan, akan terus menanti: akankah pertambangan diberi ruang kembali di surga tropis ini, atau justru digantikan oleh paradigma pembangunan berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan?
(L6)
#TambangNikelRajaAmpat #RajaAmpat #Nasional #PTGagNikel