Dikuliti Nitijen, Jokowi Dikritik Soal Raja Ampat: Cinta Tambang, Bukan Rakyat!
Jokowi Presiden ke 7 Indonesia
D'On, Raja Ampat - Pulau-pulau karst yang menjulang bak kastil batu di tengah lautan biru nan jernih, terumbu karang yang membentang sepanjang mata memandang, dan keanekaragaman hayati laut yang tiada duanya di dunia itulah wajah Raja Ampat, mutiara dari timur Indonesia yang sejak lama dijuluki sebagai "surga terakhir" di Bumi Cenderawasih.
Namun kini, surga itu mulai diselimuti awan gelap. Isu tambang nikel mencuat dan mengguncang kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan. Di tengah suara-suara yang menggema dari balik layar media sosial dan lembaga lingkungan hidup, muncul pertanyaan mendalam: apakah pembangunan ekonomi Indonesia harus ditebus dengan mengorbankan keindahan dan kelestarian Raja Ampat?
Izin Tambang di Tengah Surga
Kawasan Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu titik biodiversitas laut terkaya di dunia, ternyata tak luput dari incaran industri ekstraktif. Diungkap oleh Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR RI, Melchias Markus Mekeng, izin eksploitasi tambang nikel di wilayah ini telah diberikan sejak tahun 2017, pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Izin tersebut dikeluarkan kepada PT Gag Nikel, anak perusahaan Antam, yang mengantongi hak eksplorasi dan produksi hingga tahun 2047. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama para pegiat lingkungan dan masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup pada sektor pariwisata dan kelautan yang berkelanjutan.
Jokowi dan Hilirisasi: Antara Ekonomi dan Ekologi
Presiden Jokowi sendiri sejak awal pemerintahannya menjadikan hilirisasi sumber daya alam khususnya nikel sebagai tulang punggung strategi pembangunan ekonomi nasional. Dalam sambutannya di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII, 19 September 2024 lalu, ia menekankan pentingnya hilirisasi dalam meningkatkan nilai tambah bagi Indonesia.
Data yang dipaparkan Jokowi memang mencengangkan. Pada 2015, nilai ekspor nikel Indonesia hanya mencapai Rp45 triliun. Setelah kebijakan hilirisasi diterapkan, angka itu melonjak drastis menjadi Rp520 triliun pada 2023. Sebuah lompatan ekonomi yang, menurut Jokowi, bukan hanya menguntungkan perusahaan, tapi juga negara dan rakyat melalui pajak, bea ekspor, royalti, dan pembukaan lapangan kerja.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari narasi yang ideal. Hilirisasi yang digadang-gadang sebagai solusi ekonomi ternyata menimbulkan paradoks baru: keuntungan fiskal negara justru datang dengan harga yang mahal kerusakan ekologi, konflik sosial, dan ancaman terhadap masa depan pariwisata yang berkelanjutan.
Greenpeace: Hilirisasi yang Kebablasan
Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, menyebut bahwa tambang nikel di Papua, khususnya Raja Ampat, merupakan bentuk “hilirisasi yang kebablasan.” Dalam video yang diunggah ke Instagram resmi Greenpeace, Kiki memperingatkan bahwa kegiatan tambang tersebut akan mengancam ekosistem laut, menyingkirkan potensi ekowisata, dan menggusur ruang hidup masyarakat adat.
"Raja Ampat bukan sekadar wilayah geografis, melainkan rumah bagi ribuan spesies laut dan budaya lokal yang hidup berdampingan dengan alam. Kini semua itu terancam oleh tambang," tegasnya.
Greenpeace bersama berbagai organisasi lingkungan mendesak pemerintah untuk:
- Mencabut izin tambang nikel di Raja Ampat.
- Meninjau ulang kebijakan hilirisasi nikel secara menyeluruh.
- Mengutamakan pembangunan berkelanjutan dan bukan eksploitasi tanpa batas.
Rakyat Bersuara: “Kupikir Cinta Rakyat, Ternyata Cinta Tambang”
Di ruang maya, kemarahan publik meledak. Netizen mempertanyakan motif di balik kunjungan Jokowi yang kerap dilakukan ke Papua. Apakah itu bentuk cinta pada rakyat atau justru pada kekayaan tambangnya?
“Jadi kepikiran, jangan-jangan baju adat yang digunakannya itu adalah kode daerah yang akan dijual,” sindir seorang warganet.
"Sering ke Papua, kupikir cinta banget dengan rakyatnya. Ternyata hanya cinta tambangnya," tulis lainnya dengan nada kecewa.
Sindiran publik yang semula hanya samar, kini berubah menjadi bentuk kritik tajam atas kebijakan yang dianggap mengorbankan alam demi angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi.
Raja Ampat: Warisan Dunia yang Tak Tergantikan
Apa yang membuat Raja Ampat begitu penting?
Wilayah ini menyimpan lebih dari 1.500 spesies ikan, 700 jenis moluska, dan 75% spesies karang dunia. Selain itu, masyarakat adat di sana telah menjaga alam secara turun-temurun melalui kearifan lokal yang tak tertulis. Hilangnya Raja Ampat bukan hanya kehilangan destinasi wisata, tapi juga kehilangan warisan ekologis dan budaya yang tak tergantikan.
Antara Kepentingan Negara dan Kelestarian Alam
Kini Indonesia dihadapkan pada pilihan besar: apakah akan terus mengejar pertumbuhan ekonomi dengan jalan ekstraksi yang agresif, atau beralih ke model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan?
Keputusan untuk memberikan izin tambang di Raja Ampat bukan sekadar persoalan administratif. Ia menyimpan konsekuensi jangka panjang terhadap masa depan ekosistem, identitas bangsa, dan hak-hak generasi mendatang.
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau ia adalah simbol. Dan ketika simbol itu mulai tergerus, kita semua punya tanggung jawab untuk bertanya: Pembangunan macam apa yang kita perjuangkan?
(Mond)
#TambangNikelRajaAmpat #RajaAmpat #Jokowi #Nasional