Breaking News

Diduga Aniaya Pramusaji 17 Tahun Gara-Gara Mi Instan, Perwira Polda Sulteng Dikecam Publik

Perwira Polda Sulteng diduga menganiaya pramusaji yang masih berstatus sebagai pelajar dan berusia 17 tahun.

D'On, Palu, Sulawesi Tengah
– Seorang perwira menengah Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng), Kombes Pol Richard B. Pakpahan, terseret dalam pusaran dugaan penganiayaan terhadap seorang pelajar SMA berusia 17 tahun yang bekerja paruh waktu sebagai pramusaji di sebuah warung kopi di Kota Palu. Insiden ini menyulut gelombang kemarahan publik, mengundang kecaman luas, dan memantik pertanyaan besar soal etika dan akuntabilitas aparat negara.

Korban, yang hanya disebut dengan inisial CV, masih duduk di bangku SMA dan bekerja membantu keluarganya di sebuah warung kopi kecil bernama Reomah Balkot. Namun, pada Sabtu pagi (14 Juni 2025), rutinitas kerja yang biasa ia jalani berubah menjadi mimpi buruk. Ia mengaku dilempar telur mentah ke arah kepala oleh seorang pelanggan yang ternyata adalah pejabat polisi berpangkat Komisaris Besar.

Menurut keterangan saksi mata dan pengakuan korban, aksi tersebut dipicu oleh kekecewaan sang perwira karena pesanan mi instan untuk anaknya dianggap tidak lengkap. Namun, alih-alih menyampaikan protes secara wajar, ia justru diduga melempar telur ke kepala CV di depan pelanggan lain sebuah tindakan yang tidak hanya memalukan, tetapi juga mencederai mental seorang remaja yang sedang berjuang meniti hidup.

“Anak Saya Bukan Budak!”: Suara Lantang Ayah Korban

Di tengah derasnya tekanan untuk damai, Jerry ayah dari CV menyatakan penolakan keras terhadap penyelesaian secara kekeluargaan. Dalam konferensi pers yang digelar Selasa (17/6/2025), ia menegaskan bahwa anaknya adalah korban kekerasan dan bukan sekadar salah paham.

“Anak saya bukan budak! Ini jelas-jelas penganiayaan oleh seorang aparat terhadap anak di bawah umur. Jangan pernah mengira kami akan berdamai begitu saja,” tegasnya dengan suara bergetar menahan amarah.

Jerry juga membantah kabar bahwa keluarga korban telah menyetujui jalur damai. Menurutnya, klaim tersebut sepihak dan mencerminkan upaya menggiring opini publik agar kasus ini dianggap selesai tanpa proses hukum.

“Kami tidak pernah diajak bicara soal damai. Ini bukan urusan pribadi, ini menyangkut martabat anak saya dan akuntabilitas institusi. Jangan dikerdilkan jadi perkara pelayanan makanan semata,” tambahnya.

Klaim "Hanya Menegur" Ditolak Keluarga

Di sisi lain, Kombes Richard membantah keras tuduhan bahwa ia telah melakukan kekerasan fisik. Dalam pernyataan kepada media, ia mengklaim hanya menegur CV atas keterlambatan pelayanan dan sudah meminta maaf secara langsung.

“Kalau saya benar-benar memukul atau melempar, pasti sudah viral dari kemarin. Saya hanya menegur. Tidak ada kekerasan,” ujarnya santai kepada wartawan.

Namun, versi ini dibantah mentah-mentah oleh keluarga korban. Menurut mereka, tidak hanya ada unsur penghinaan dan kekerasan verbal, tetapi aksi melempar telur secara langsung ke kepala CV merupakan bentuk pelecehan dan intimidasi.

“Tindakan itu sudah membuat anak kami malu, syok, dan takut kembali bekerja. Ini bukan sekadar kesal karena makanan. Ini soal penyalahgunaan kekuasaan,” ucap ibu korban dengan suara lirih.

Pernyataan "Kesalahpahaman" Dipatahkan Keluarga Inti

Sempat beredar sebuah video pernyataan dari kakek korban, Budi Dharmadi, yang menyebut bahwa insiden ini hanya salah paham. Namun, ayah korban langsung meluruskan bahwa pendapat tersebut bukan sikap resmi keluarga inti.

“Yang bicara itu bukan orang tua kandung. Kami orang tua langsung—ayah dan ibu—menolak disebut salah paham. Ini murni kekerasan. Kami tidak akan diam,” kata Jerry.

Pernyataan tersebut memperkuat kesan bahwa ada upaya untuk “meredam” kasus ini sebelum mencuat ke publik. Namun, berkat keberanian keluarga korban, kasus ini tetap terbuka dan mendapat perhatian luas.

Ledakan Amarah di Media Sosial

Tagar #KeadilanUntukCV dan #StopArogansiAparat mulai merajai lini masa media sosial sejak Senin malam. Ribuan netizen bersatu mengecam tindakan yang diduga dilakukan oleh Kombes Richard, mengutuk budaya impunitas di tubuh aparat, dan mendesak penegakan hukum tanpa pandang bulu.

“Kalau anak saya diperlakukan seperti itu hanya karena mi instan, saya akan turun langsung ke kantor polisi. Jangan anggap rakyat bodoh,” tulis seorang warganet di X (dulu Twitter).

Desakan kepada Kapolri dan Propam

Kasus ini juga mendapat sorotan dari aktivis perlindungan anak dan pengamat hukum di Palu. Mereka mendesak agar Kapolri dan Divisi Propam Mabes Polri segera turun tangan secara langsung.

“Penganiayaan terhadap anak, apalagi dilakukan oleh aparat berseragam, adalah pelanggaran berat. Tidak bisa diselesaikan secara damai. Ini soal keadilan, bukan sekadar urusan makanan,” ujar Devi Lestari, aktivis LPA Sulawesi Tengah.

Ia juga menekankan bahwa perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas hukum, bukan dikorbankan atas nama harmoni atau citra institusi.

Menanti Langkah Nyata dari Institusi Polri

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Polda Sulteng maupun Mabes Polri mengenai status pemeriksaan Kombes Richard. Namun, tekanan publik semakin besar. Masyarakat menanti apakah Polri akan menunjukkan sikap tegas dan transparan, atau kembali membiarkan kasus semacam ini tenggelam dalam senyap.

Kisah ini bukan sekadar tentang seorang remaja dilempar telur. Ini tentang siapa yang punya kuasa, siapa yang dilindungi hukum, dan apakah keadilan masih punya tempat di negeri ini bahkan untuk seorang anak pramusaji di warung kopi kecil.

(Mond)

#Viral #Kekerasan #OknumPolisiAniayaPramusaji