Breaking News

Dari Proyek Digitalisasi ke Pusaran Korupsi Rp9,9 Triliun: Kisah Kelam Chromebook di Kemendikbud

HP Chromebook 14 (AMD). FOTO /store.hp.com

D'On, Jakarta 
– Program ambisius digitalisasi pendidikan yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kini menjadi sorotan tajam. Proyek yang sedianya bertujuan memperluas akses teknologi ke seluruh penjuru negeri itu, justru menyeret kementerian ke pusaran dugaan korupsi raksasa senilai Rp9,9 triliun.

Sejak awal Juni 2025, Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) telah memeriksa sedikitnya 28 saksi dalam kasus pengadaan laptop Chromebook yang diduga sarat praktik mark up, suap, hingga penyimpangan mekanisme pengadaan. Pemeriksaan belum menetapkan tersangka, namun arah angin mulai mengarah pada aktor-aktor penting di balik program ini.

Staf Khusus Nadiem Disorot, Harga Laptop Membengkak

Salah satu titik awal penyelidikan terletak pada peran tiga Staf Khusus mantan Menteri Nadiem Makarim: Fiona Handayani (FH), Juris Stan (JS), dan Ibrahim Arief (IA). Ketiganya telah diperiksa sebagai saksi.

“Akan didalami. Apakah penugasan mereka sebagai stafsus karena kedekatan tertentu atau memang profesionalitas, itu jadi fokus penyidikan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, Selasa (3/6).

Temuan awal Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengungkap harga satuan laptop berkisar antara Rp5 juta hingga Rp7 juta, tetapi dalam anggaran, nilainya membengkak menjadi lebih dari Rp10 juta per unit. Padahal, proyek ini digadang-gadang sebagai solusi menyambungkan siswa Indonesia dengan dunia digital.

Harli menyebut total anggaran program ini mencapai Rp9,9 triliun, terdiri dari Rp3,82 triliun Dana Satuan Pendidikan (DSP) dan Rp6,39 triliun Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana DAK semestinya digunakan untuk pembangunan daerah, bukan dipusatkan dalam proyek pengadaan yang dirancang tertutup.

DPR Tidak Dilibatkan, Proyek Terasa Dipaksakan

Kecurigaan terhadap proyek ini bukan hal baru. Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amalia, mengaku baru mengetahui pembelian Chromebook setelah semuanya usai. Menurutnya, DPR hanya menerima laporan dari Mendikbud dan tidak bisa masuk ke ranah teknis anggaran.

"Yang bisa mengaudit adalah BPK. Kami hanya bisa melakukan pengawasan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari BPK," ujar Ledia, Rabu (4/6).

Kritik Ledia bukan tanpa alasan. Chromebook hanya optimal digunakan dengan koneksi internet stabil, yang di banyak daerah terutama wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih menjadi kemewahan. Ditambah lagi, kondisi infrastruktur pendidikan seperti listrik dan tenaga pengajar jauh dari ideal.

“Kalau tidak disokong listrik yang memadai, alat rusak. Mati nyala terus, ya rusak juga,” katanya, menyentil kebijakan yang terlalu ambisius tapi minim realita.

Proses Pengadaan Tanpa Jejak di Sistem Resmi

Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mengendus potensi masalah sejak 2021. Dewi Anggraini, peneliti ICW, menyebut pihaknya sudah mewanti-wanti Kemendikbudristek saat itu. Namun, peringatan itu diabaikan. Lebih mencurigakan lagi, dokumen pengadaan tidak diunggah ke Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) milik LKPP, sebagaimana mestinya.

"Kala itu belum ada indikasi korupsi, tapi prosesnya memang sangat tertutup. Kami sudah meminta untuk ditinjau ulang,” ungkap Dewi.

Kajian ICW pada 2021 menyoroti spesifikasi pengadaan yang dipatok hanya dapat dipenuhi oleh enam perusahaan, yaitu:

  1. Acer Manufacturing Indonesia
  2. PT Evercoss Technology Indonesia
  3. PT Zyrexindo Mandiri Buana
  4. PT Tera Data Indonusa
  5. PT Supertone
  6. PT Bangga Teknologi Indonesia

Produk dari keenam perusahaan itu memiliki harga berkisar antara Rp5,9 juta hingga Rp8,4 juta jauh di bawah anggaran pemerintah. Anehnya, seluruh produk itu juga hanya berfungsi optimal jika terkoneksi internet.

ICW menduga pengadaan ini sarat praktik monopoli. “Spesifikasi dibatasi lewat TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan pilihan Chromebook, yang hanya bisa dipenuhi oleh enam vendor tadi,” jelas Dewi.

Isu Koneksi Politik dan Penyangkalan Keterlibatan Luhut

Salah satu perusahaan, PT Zyrex, disebut-sebut memiliki kaitan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi saat itu, Luhut Binsar Panjaitan. Namun, tuduhan ini dibantah keras oleh Juru Bicara Luhut, Jodi Mahardi.

"Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada kaitan Pak Luhut dengan PT Zyrex. Tuduhan ini sudah pernah saya bantah," kata Jodi (4/6).

Seruan Transparansi dan Penelusuran Aliran Dana

Meski penanganan baru dimulai empat tahun pasca pengadaan, ICW mengapresiasi langkah Kejagung. Mereka mendesak agar penyidikan mencakup kementerian terkait lainnya, terutama Kementerian Keuangan, yang memiliki peran penting dalam pencairan Dana Alokasi Khusus.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, mendorong agar Kejagung menggali lebih dalam. “Biasanya kalau proyek besar dan pakai uang negara, kami sudah ingatkan dari awal. Ini harus ditelusuri: uangnya mengalir ke mana? Ke pribadi? Kampanye politik? Semua harus dibuka.”

Heru juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas. "Kalau terbukti korup, berikan hukuman yang membuat jera. Jangan sampai proyek pendidikan menjadi ladang bancakan elite," tutupnya.

Catatan Redaksi: Hingga berita ini diturunkan, mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim belum merespons permintaan konfirmasi.

(T)

#KorupsiChromebook #Kejagung #Kemendikbudristek