Breaking News

Pakar Hukum Ungkap Dugaan Pelanggaran KPK dalam Kasus Hasto: Kajian Mendalam dan Implikasi Hukum

Hasto Kristiyanto 

D'On. Jakarta
– Dalam sebuah diskusi hukum yang mendalam, para pakar dari Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang dan Firlmy Law Firm Yogyakarta menggelar Focused Group Discussion (FGD) terkait permohonan praperadilan yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Diskusi ini menyoroti potensi pelanggaran hukum yang diduga dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka.

FGD ini menghadirkan sejumlah akademisi dan pakar hukum terkemuka, di antaranya Chairul Huda, Prof. Amir Ilyas, Prof. Eva Achjani Zulfa, Prof. Ridwan, Beniharmoni Harefa, Mahrus Ali, Aditya Wiguna Sanjaya, Idul Rishan, Maradona, serta Wahyu Priyanka Nata Permana yang bertindak sebagai fasilitator.

Dari hasil kajian, mereka menemukan bahwa Hasto sebenarnya tidak memiliki keterlibatan dalam kasus suap yang menjadi dasar penetapan tersangkanya. Putusan pengadilan dalam perkara Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri menjadi landasan utama yang menunjukkan bahwa nama Hasto tidak muncul dalam konstruksi hukum kasus tersebut.

Putusan Pengadilan: Tidak Ada Indikasi Keterlibatan Hasto

Dalam diskusi, Prof. Amir Ilyas menyoroti fakta hukum yang terdapat dalam putusan pengadilan terkait kasus suap yang menyeret Wahyu Setiawan, mantan Komisioner KPU, serta beberapa pihak lainnya, termasuk Harun Masiku yang hingga kini masih berstatus buron.

"Dalam putusan yang telah dikaji, tidak ada satu pun indikasi bahwa Pak Hasto terlibat dalam perkara suap tersebut. Nama-nama yang disebut dalam putusan adalah Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, Saeful Bahri, dan Harun Masiku. Jika kemudian perkara ini dikembangkan dengan menjadikan Pak Hasto sebagai tersangka, ini merupakan langkah yang tidak tepat dan berpotensi melanggar prinsip kepastian hukum," ujar Amir dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (4/2/2025).

Hasil diskusi menggarisbawahi bahwa proses pengembangan penyidikan harus didasarkan pada fakta baru yang belum pernah diperiksa dalam persidangan sebelumnya. Jika pengembangan perkara dilakukan dengan mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), atau bahkan memasukkan pihak yang sebelumnya tidak dinyatakan terlibat, maka langkah tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan.

Pasal 77 KUHAP mengatur bahwa praperadilan dapat diajukan untuk menguji sah atau tidaknya suatu penetapan tersangka. Dalam konteks ini, jika KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka tanpa dasar hukum yang kuat dan hanya bersandar pada konstruksi hukum yang telah tertutup dalam putusan pengadilan sebelumnya, maka penetapan tersebut dapat dipersoalkan secara hukum.

Keabsahan Alat Bukti Dipertanyakan

Selain mempertanyakan dasar hukum penetapan tersangka, FGD juga membahas status alat bukti yang digunakan KPK dalam kasus ini. Para pakar hukum mengkritisi apakah alat bukti yang digunakan untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka telah diperoleh melalui prosedur yang sah atau tidak.

"Dalam sistem hukum kita, suatu alat bukti hanya sah jika diperoleh dengan cara yang sesuai prosedur hukum. Jika alat bukti yang digunakan KPK dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka berasal dari surat perintah penyidikan (Sprindik) atas nama tersangka lain, maka status alat bukti tersebut menjadi tidak sah. Hal ini sejalan dengan prinsip mutatis mutandis, yang berarti bahwa kesalahan dalam prosedur akan berdampak pada keabsahan alat bukti tersebut," ujar seorang pakar dalam diskusi tersebut.

Implikasi dari temuan ini cukup serius. Jika memang KPK menetapkan tersangka berdasarkan alat bukti yang tidak sah, maka secara hukum, penetapan tersebut dapat dibatalkan melalui jalur praperadilan.

KPK Mangkir dari Sidang Praperadilan, Alasan Administrasi atau Strategi?

Di tengah kontroversi ini, KPK justru tidak menghadiri sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (21/1/2025). Ketidakhadiran ini menimbulkan pertanyaan, apakah karena alasan administratif atau bagian dari strategi hukum lembaga antirasuah tersebut?

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menjelaskan bahwa Biro Hukum KPK meminta penundaan sidang karena masih harus menyiapkan materi, termasuk menghadirkan ahli dan menyelesaikan berbagai administrasi.

"Biro Hukum KPK telah mengajukan penundaan sidang karena masih harus menyiapkan materi sidang, mulai dari ahli hingga hal administratif lainnya. Proses ini membutuhkan waktu, sehingga kami meminta penundaan hingga tiga pekan," ujar Tessa dalam pernyataan tertulisnya.

Namun, permohonan penundaan tiga pekan tersebut ditolak oleh hakim tunggal Djuyamto. Hakim hanya memberikan kesempatan bagi KPK untuk menunda sidang maksimal dua pekan, dengan sidang berikutnya dijadwalkan pada 5 Februari 2025.

"Kami hanya memberikan penundaan maksimal dua minggu. Jika kami menunda tiga minggu, itu sudah melewati batas wajar. Oleh karena itu, sidang berikutnya dijadwalkan pada Rabu, 5 Februari 2025," tegas Djuyamto.

Analisis: Akankah Praperadilan Menggugurkan Status Tersangka Hasto?

Kasus ini semakin menarik perhatian publik, mengingat praperadilan sering kali menjadi ujian bagi validitas penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Jika hakim memutuskan bahwa penetapan tersangka terhadap Hasto tidak sah, maka ini akan menjadi pukulan telak bagi KPK dan menambah daftar kasus praperadilan yang dimenangkan oleh tersangka korupsi.

Namun, jika hakim memutuskan bahwa KPK memiliki dasar hukum yang cukup kuat dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka, maka kasus ini akan berlanjut ke tahap penyidikan lebih lanjut.

Banyak pihak menilai bahwa kasus ini akan menjadi preseden penting dalam hukum acara pidana di Indonesia. Keputusan dalam sidang praperadilan ini tidak hanya akan menentukan nasib hukum Hasto, tetapi juga menguji kredibilitas KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan aktor politik besar.

Seiring dengan semakin dekatnya jadwal sidang pada 5 Februari 2025, semua mata kini tertuju pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Apakah hakim akan memihak pada prinsip kepastian hukum dan keabsahan prosedur, atau akan membenarkan langkah yang diambil oleh KPK? Jawabannya akan segera terungkap.

(Mond)

#KPK #Hukum #KasusHastoKristiyanto