Breaking News

Keterkaitan Karhutla dan Korupsi serta Komitmen Pemerintah dalam Mengatasinya


D'On,Padang (Sumbar),-  Fenomena kebakaran hutan dan lahan ( karhutla) yang menimbulkan kabut asap hampir setiap tahun di Indonesia tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus.
Kepala BNPB Doni Monardo menyatakan bahwa karhutla 99 persen ditimbulkan oleh faktor manusia, sedangkan 1 persen sisanya oleh faktor alam.

Pendapat tersebut diamini oleh ahli kebakaran hutan IPB, Prof Bambang Hero Saharjo, yang turut menyatakan kebakaran yang terjadi secara alami di alam memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pembakaran yang dilakukan manusia.

Klaim tersebut dapat dijelaskan melalui teori segitiga api. Menurut teori ini agar api dapat terbentuk, diperlukan reaksi kimia yang melibatkan (1) oksigen, (2) bahan bakar, dan (3) percikan api dengan panas yang tinggi.

Di alam, oksigen dan bahan bakar seperti kayu dan gambut tersedia melimpah. Tetapi sumber percikan api sulit muncul secara alami. Di sinilah faktor manusia berperan.
Kecil kemungkinan percikan api muncul secara alami. Patut dicurigai bahwa memang ada yang melakukan pembakaran, dengan berbagai motif dan tujuan tentunya. Salah satunya pembukaan lahan untuk perkebunan.

Kabut asap dan gambut di Sumatera dan Kalimantan

Jika kebakaran terjadi pada pepohonan di permukaan tanah (surface fire), maka asapnya akan berwarna putih dan apinya cenderung mudah dipadamkan.
Namun, jika kebakaran terjadi pada lahan gambut, maka asapnya akan berwarna kuning. Semakin tebal lapisan gambut yang terbakar di bawah tanah (ground fire), maka akan semakin sulit pula usaha untuk memadamkannya.

Gambut memiliki sifat asli berongga (porous), agak lunak, basah, dan bisa menyimpan air berkali-kali lipat dari volumenya. Tetapi sekalinya kering, maka sifatnya akan berubah menjadi hidrophobic dan mudah sekali terbakar.

Selain itu gambut juga memiliki sifat sangat asam, sehingga tidak cocok untuk pertanian. Namun, konon pembakaran dapat membuat gambut menjadi lebih subur karena abu yang dihasilkan dapat menurunkan sifat asamnya.

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki berbagai regulasi yang melarang pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun, pengawasannya masih dipertanyakan, karena karhutla tetap saja terjadi.

Menjadi masuk akal apabila Sumatera dan Kalimantan sering disambangi kabut asap. Keduanya memiliki lahan gambut yang sangat luas. Perkebuna sawit pun marak ditemui di kedua pulau ini.

Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi karhutla?

Sejak tahun 2012 pemerintah sudah sekuat tenaga melakukan penegakan hukum dengan menggugat perusahaan yang lahannya terbakar. Tapi sampai sekarang belum ada satu pun perusahaan yang membayar. Alhasil putusan pengadilan pun tidak dapat dieksekusi.

Ganti rugi yang dimenangkan pemerintah untuk litigasi karhutla sejak 2012 hingga sekarang mencapai angka Rp 2.72 triliun. Tapi angka sebesar itu pun bahkan belum memperhitungkan kerugian akibat kabut asap.

Litigasi pidana juga masih menyasar pelaku lapangan, yang berdasarkan penyidikan, seringkali hanyalah orang-orang suruhan yang “ditumbalkan” oleh korporasi.
Pidana kepada korporasi pun masih jauh panggang dari api. Padahal pedoman penanganan perkaran pidana untuk korporasi telah diterbitkan Kejaksaan dan Mahkamah Agung, melalui PERJA 28/2014 dan PERMA 13/2016.

Patut kita nantikan ketegasan dan keberanian pemerintah untuk menindak korporasi nakal.

Bagaimana komitmen pemerintah dalam mengatasi karhutla?

Tahun 2015 Presiden Jokowi menerbitkan Inpres 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla dengan Kemenkopolhukam sebagai koordinator utamanya.

Sayangnya laporan pelaksanaan Inpres ini tidak pernah dibuka ke publik. Masyarakat sipil pun tidak tinggal diam dan mengajukan permohonan sengketa informasi publik untuk mendapatkan laporan tersebut.

Saat persidangan berlangsung barulah terungkap bahwa laporan tersebut tidak pernah dibuat. Komisi Informasi melalui Putusan No. 001/1/KIP-PS-A/2017 pun memenangkan pemohon dan memerintahkan Kemenkopolhukam untuk membuat laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 serta menyerahkannya ke Presiden dan membukanya ke publik.

Belum selesai sampai di situ, tahun 2016 yang lalu sekelompok masyarakat sipil di Kalimantan Tengah juga mengajukan gugatan warga negara (citizen law suit) atas kerugian akibat karhutla dan kabut asap dengan nomor register perkara 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk.

Tuntutannya sederhana, antara lain meminta Presiden Jokowi dan jajaran menteri terkait untuk menerbitkan peraturan turunan UU 32/2009 terkait pencegahan dan penanganan karhutla, membentuk tim khusus pencegahan karhutla, serta mengumumkan ke publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya.

Gugatan tersebut dimenangkan masyarakat sipil di tingkat pertama, banding, hingga kasasi di Mahkamah Agung.

Alih-alih mematuhi putusan pengadilan, pemerintah malah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan tersebut.
Diberitakan Kompas.com, Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, saat dimintai keterangan (22/7) menyatakan alasan pemerintah mengajukan PK adalah karena tidak ingin terlihat lemah menangani karhutla oleh dunia internasional.
Logika tersebut sepatutnya dipertanyakan. Bukankah dengan mematuhi perintah pengadilan justru membuat pemerintah terlihat memiliki komitmen kuat untuk mengatasi karhutla?

Bahkan di tengah maraknya kecaman terhadap karhutla, Kominfo justru memperkeruh suasana dengan kampanye #SawitBaik di media sosial Twitter.
Kominfo seolah-olah tutup mata dari fakta yang disampaikan BPNB bahwa 80 persen lahan yang terbakar selalui berubah menjadi perkebunan sawit.

Terkait sawit, pada bulan September 2018 yang lalu Presiden Jokowi juga sudah menerbitkan Inpres 8/2018 tentang Moratorium Sawit yang melarang pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan hingga 3 tahun mendatang.
Lagi-lagi, Inpres ini ditabrak sendiri oleh pemerintah. Pada tanggal 23 November 2018, hanya selang dua bulan setelah Inpres 8/2018 terbit, Menteri LHK menerbitkan SK MenLHK No. 517/2018 tentang Pelepasan Kawasan Hutan untuk PT HIP di Buol, Sulawesi Selatan.

KPK tentu saja geram. Pasalnya tahun 2012 yang lalu Hartati Murdaya, direktur utama PT HIP, memberikan suap kepada Amran Batalipu, Bupati Buol yang menjabat saat itu, untuk perizinan PT HIP.

Bahkan keduanya saat ini tengah berada di balik jeruji besi. Lantas, mengapa izin pelepasan tetap diberikan kepada PT HIP?

Keterkaitan korupsi di bidang sumber daya alam dengan karhutla

Herry Purnomo, et al, melalui makalah “Kabut Asap, Penggunaan Lahan, dan Politik Lokal” (2015) yang disampaikan dalam diskusi pakar kebakaran hutan dan lahan di provinsi Jambi oleh LIPI, menegaskan terdapat keterkaitan erat antara pilkada di suatu wilayah dan peningkatan jumlah titik panas karhutla.

Fenomena “tukar guling” ini juga seringkali disebut sebagai ijon politik, di mana pelaku usaha memberikan bantuan dana kepada calon kepala daerah yang maju dalam pilkada, dengan balasan mendapatkan izin saat calon tersebut terpilih dan menjabat.
KPK tentu saja sudah mengendus praktik ini, bahkan turut membentuk GNPSDA (Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam) yang khusus menindak korupsi di sektor SDA.

GNPSDA sudah berjalan di sektor pertambangan dengan hasil evaluasi IUP CnC/Non-CnC selama kurun waktu 2015-2018. Perusahaan yang tidak lolos CnC lantas direkomendasikan untuk dicabut izinnya.

Tahun ini GNPSDA mulai menyasar sektor perkebunan dengan harapan dapat memberantas praktik ijon politik, mengurangi izin yang diterbitkan berdasarkan tindak pidana korupsi seperti suap, dan pada akhirnya turut menyelamatkan hutan dan lahan dari pengelolaan yang tidak bertanggung jawab.
Namun, kerusuhan yang timbul akibat pemilihan Komisioner KPK hingga revisi UU KPK belakangan tampaknya menghilangkan fokus publik dari isu keterkaitan karhutla dan korupsi.

Fokus pemerintah di bidang investasi, bukan lingkungan

Baru-baru ini Presiden Jokowi menyatakan melalui akun Twitternya bahwa pemeirntah akan mengajukan banyak revisi UU terkait perizinan dan investasi. Pasa-pasal yang dianggap menghambat investasi akan dirombak lewat satu UU baru (omnibus law).

Menteri Keuangan Sri Mulyani di kesempatan yang berbeda pun menyatakan hal senada. Tak kurang dari 72 UU akan direvisi, termasuk ketentuan Izin Lingkungan.

Kebijakan melonggarkan aturan demi investasi ini dikenal dengan pendekatan race to the bottom atau Delaware Effect. Memang pada praktiknya dapat mengundang investor masuk, tetapi dengan trade-off kerusakan lingkungan yang semakin masif.

Padahal pemerintah dapat belajar dari California Effect. California adalah negara bagian Amerika Serikat yang terkenal dengan regulasi lingkungan dan penegakan hukum yang sangat ketat.

Namun, investasi justru tumbuh pesat karena menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha dan sanksi tegas bagi pelanggaran yang terjadi.

Solusi yang diharapkan

Karhutla haruslah ditangani secara menyeluruh, tidak hanya melalui penanggulangan, tetapi sejak pencegahan, pengawasan, hingga penegakan hukum.
Pencegahan dimulai dari penghentian pemberian izin di lahan gambut. 

Pemerintah harus serius menjalankan kebijakan Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB).
Restorasi gambut juga perlu mendapat perhatian. Badan Restorasi Gambut (BRG) menjadi ujung tombak pemerintah di bidang ini.

Penegakan hukum yang telah berjalan baik administratif, perdata, dan pidana sudah selayaknya diapresiasi. Namun, masih perlu ditingkatkan terutama dalam melakukan eksekusi putusan dan melakukan terobosan dalam pidana korporasi.

Komitmen dan political will pemerintah juga dinantikan dalam menjalankan instrumen yang sudah ada.

Dimulai dari membuat laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 tentang peningkatan pengendalian karhutla, menjalankan mandat Inpres 8/2018 untuk moratorium sawit dan evaluasi perizinan perkebunan sawit, hingga menjalankan putusan CLS Kalteng yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pemerintah daerah juga memiliki andil besar dalam pencegahan dan pengawasan. Dimulai dari pengetatan pemberian Izin Lingkungan, menolak praktik ijon politik, dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin yang ada di wilayahnya untuk memastikan setiap pelaku usaha perkebunan memiliki sarana prasarana yang memadai untuk pencegahan karhutla.
Peran Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) semestinya mendapat perhatian lebih. Pemerintah Daerah semestinya membuka formasi dan memberikan anggaran yang memadai agar PPLH dapat melaksanakna tugasnya dengan optimal.

Sinergi dari berbagai pihak tentunya sangat diperlukan, tidak hanya oleh pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, tetapi juga kepatuhan korporasi dalam menjalankan regulasi, hingga partisipasi masyarakat sipil sebagai watchdog.

Apabila langkah-langkah tersebut diabaikan, ditambah dengan adanya pelemahan di berbagai regulasi terkait pemberantasan korupsi, hingga komitmen yang setengah hati dalam penanggulangan kerusakan lingkungan, tampaknya impian mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat di Indonesia masih tertutup oleh kabut asap pekat. 

(Adrianus Eryan, Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law)