Breaking News

KPK Bongkar Peta Korupsi Bank Pembangunan Daerah: Kredit Fiktif, Moral Hazard DPRD, hingga Intervensi Kepala Daerah

Foto; akun Instagram KPK

D'On, JAKARTA
— Peran Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai agent of development kembali dipertanyakan. Alih-alih menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi daerah dan penopang pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sejumlah BPD justru terjerembab dalam praktik penyimpangan serius yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Hal ini terungkap dalam Kajian Pemetaan Potensi Korupsi pada Bank Pembangunan Daerah yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Monitoring pada tahun 2024. Kajian tersebut memotret secara gamblang berbagai celah korupsi, kelemahan tata kelola, serta praktik moral hazard yang telah berlangsung lama dan terstruktur.

Fraud Kredit Rp 451 Miliar: Debitur Fiktif hingga Rekayasa Dokumen

Salah satu temuan paling mencolok adalah indikasi fraud dalam penyaluran kredit dan pembiayaan bermasalah dengan nilai fantastis, mencapai sekitar Rp 451,19 miliar.

KPK mengungkapkan, kredit bermasalah tersebut terjadi melalui berbagai modus, antara lain:

  • Penggunaan kredit di luar peruntukan yang disepakati
  • Debitur fiktif yang sengaja diciptakan untuk menguras dana bank
  • Rekayasa dokumen kredit, mulai dari agunan hingga kelayakan usaha

Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil penelusuran KPK menunjukkan bahwa praktik-praktik ini bukan fenomena baru, melainkan telah berlangsung selama bertahun-tahun dan seolah menjadi “rahasia umum” di lingkungan perbankan daerah tertentu.

“Ini bukan sekadar kegagalan administrasi, melainkan indikasi kuat adanya kejahatan sistemik dalam penyaluran kredit,” demikian garis besar kesimpulan KPK dalam kajiannya.

Kredit Macet Anggota DPRD: Konflik Kepentingan dan Moral Hazard

Kajian KPK juga menyoroti secara khusus kredit macet yang melibatkan anggota DPRD provinsi, baik yang menjabat pada periode 2015–2019 maupun 2019–2024. Total nilai kredit bermasalah dalam kategori ini mencapai Rp 20,867 miliar.

Yang menjadi sorotan tajam adalah adanya indikasi moral hazard, di mana anggota legislatif yang memiliki pengaruh politik justru mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan, terhadap anggota DPRD yang telah diberhentikan melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW), BPD diduga tidak melakukan penagihan secara maksimal dan agresif sebagaimana terhadap debitur biasa.

Praktik ini dinilai mencederai prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking) sekaligus menciptakan ketidakadilan di tengah masyarakat, terutama pelaku UMKM yang sering kali kesulitan mengakses kredit dan menghadapi penagihan ketat.

Regulasi Lemah dan Tata Kelola Rapuh

Di luar persoalan kredit bermasalah, KPK juga menemukan kelemahan serius pada regulasi internal dan tata kelola BPD. Celah regulasi ini membuka ruang lebar bagi penyimpangan, mulai dari tahap persetujuan kredit hingga penanganan kredit macet.

Ketiadaan sistem pengendalian internal yang kuat, lemahnya pengawasan berlapis, serta tidak optimalnya fungsi manajemen risiko dinilai menjadi faktor utama mengapa praktik fraud dapat terus berulang tanpa deteksi dini.

Intervensi Politik dan Tekanan Kekuasaan

Temuan lain yang tak kalah krusial adalah adanya indikasi intervensi kepentingan eksternal, termasuk tekanan dari kepala daerah atau elite politik lokal. KPK secara tegas mengingatkan agar BPD tidak menjadi “bank titipan kekuasaan” yang disetir untuk melayani kepentingan politik jangka pendek.

“Intervensi semacam ini tidak hanya merusak independensi bank, tetapi juga menggerus kepercayaan publik dan menghambat fungsi BPD sebagai instrumen pembangunan daerah,” tegas KPK dalam kajiannya.

SPI Disorot: Garda Terdepan yang Kerap Tumpul

Sebagai langkah evaluasi dan pencegahan, KPK menekankan pentingnya Satuan Pengawas Intern (SPI) sebagai garda terdepan dalam menjaga integritas BPD. Namun dalam praktiknya, SPI di sejumlah BPD dinilai belum berfungsi optimal, bahkan terkesan tumpul ketika berhadapan dengan kepentingan kuat di internal maupun eksternal bank.

KPK mendorong penguatan independensi SPI, peningkatan kapasitas auditor internal, serta perlindungan terhadap pelapor pelanggaran (whistleblower).

Koordinasi dengan OJK dan Langkah Pencegahan Nasional

Menindaklanjuti temuan tersebut, KPK telah melakukan audiensi dan koordinasi intensif dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Langkah ini bertujuan untuk mendorong perbaikan sistemik dan pencegahan korupsi di seluruh BPD di Indonesia.

Selain itu, KPK juga aktif memberikan bimbingan teknis, rekomendasi perbaikan, serta peringatan keras kepada jajaran direksi dan komisaris BPD agar segera melakukan pembenahan tata kelola.

Ujian Serius bagi BPD dan Pemerintah Daerah

Kajian ini menjadi peringatan keras bahwa BPD sedang menghadapi ujian serius. Tanpa reformasi menyeluruh, BPD berisiko kehilangan legitimasi sebagai bank milik daerah yang seharusnya hadir untuk kesejahteraan rakyat, bukan menjadi ladang empuk bagi praktik korupsi berjamaah.

Di tengah kebutuhan UMKM akan akses pembiayaan yang adil dan transparan, publik kini menanti: apakah rekomendasi KPK akan benar-benar dijalankan, atau kembali tenggelam dalam pusaran kepentingan politik dan pembiaran sistemik?

(Hms/*)

Sumber: KPK

#BankPembangunanDaerah #KPK #Perbankan