"Itu Bukan Karena Utang!" Jeritan Keluarga Septia Adinda Membantah Alibi Pelaku Mutilasi Sadis di Batang Anai
Ayah Kandung Septia Adinda, Dasrizal (Dok: SumbarKita)
D'On, Padang Pariaman — Tangis duka belum kering di rumah keluarga Septia Adinda ketika kabar baru dari ruang penyidikan mengguncang mereka lebih dalam. Satria Johanda alias Wanda, pria yang kini ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan disertai mutilasi terhadap Septia, mengklaim bahwa alasan ia menghabisi nyawa korban hanyalah karena persoalan utang sebesar Rp3,5 juta.
Namun bagi keluarga, pernyataan itu tak lebih dari sandiwara murahan, sebuah dalih yang dibuat-buat untuk mengaburkan kekejaman yang telah dilakukan.
“Itu bohong besar. Kalau benar ada utang, kami yang akan bayarkan. Tapi ini jelas hanya alasan supaya hukumannya lebih ringan. Kami tidak bisa terima!” ujar Dasrizal, ayah kandung Septia, dengan suara parau menahan amarah dan kesedihan, Jumat (20/6/2025), di rumah duka.
Di tengah aroma dupa dan lantunan doa tahlil yang terus bergema di rumah sederhana itu, Dasrizal menggambarkan sosok putri bungsunya sebagai pribadi penyayang, mandiri, dan tidak pernah menyembunyikan apapun dari keluarga.
“Dia anak terakhir kami, tidak pernah ada cerita tentang utang. Kalau soal uang, anak saya selalu terbuka. Dan kami bukan orang kaya, tapi alhamdulillah, tidak pernah kekurangan,” ujarnya sambil menatap foto Septia yang kini hanya bisa dikenang dalam bingkai.
Lebih lanjut, Dasrizal mempertanyakan logika yang diajukan pelaku. Jika benar motifnya semata uang, mengapa benda-benda berharga yang dibawa korban tidak diambil saja?
“Dia bawa motor, handphone, semua itu nilainya lebih dari Rp3,5 juta. Kenapa tidak diambil? Kenapa malah dibunuh? Ini jelas bukan soal utang,” ujarnya dengan mata memerah, suaranya meninggi.
Mutilasi: Lebih dari Sekadar Pembunuhan
Kepolisian Padang Pariaman menyebut bahwa Septia Adinda dibunuh di rumah pelaku pada Minggu (15/6), lalu tubuhnya dimutilasi menjadi sepuluh bagian. Potongan tubuh itu kemudian dibuang ke aliran Sungai Batang Anai, di dua lokasi berbeda. Beberapa bagian ditemukan warga dua hari kemudian, pada Selasa (17/6), yang langsung memicu kepanikan dan penyelidikan masif dari aparat.
“Pelaku mengaku dendam karena korban menunda pembayaran utang. Tapi kami masih terus menyelidiki motif lain,” kata Kapolres Padang Pariaman, AKBP Ahmad Faisol Amir.
Hanya berselang dua hari setelah penemuan potongan tubuh korban, polisi berhasil menangkap pelaku pada Kamis (19/6) dini hari. Saat ini, ia ditahan untuk proses pemeriksaan lanjutan, sementara penyidik mendalami kemungkinan ada faktor-faktor lain yang melatarbelakangi tindakan keji tersebut dari relasi personal, tekanan psikologis, hingga potensi adanya pelaku lain.
Namun, keluarga korban tetap meyakini satu hal: apa pun alasannya, tindakan Wanda tidak bisa dimaafkan.
Desakan Keadilan: Hukuman Mati untuk Sang Algojo
Suasana rumah duka kini berubah dari isak tangis menjadi teriakan menuntut keadilan. Warga sekitar dan keluarga besar Septia satu suara: pelaku pantas dihukum seberat-beratnya.
“Kami tidak ingin pelaku sekadar dipenjara. Ini bukan pembunuhan biasa. Ini pembantaian. Ini mutilasi. Kami minta hukuman mati, karena dia sudah tidak punya rasa kemanusiaan,” tegas Dasrizal dengan mata yang tak lagi bisa menahan air mata.
Pernyataan itu diamini oleh warga sekitar yang sejak awal mengikuti perkembangan kasus ini. Banyak yang menilai bahwa klaim soal utang hanyalah taktik klasik pelaku kejahatan untuk mereduksi bobot moral dari perbuatannya.
Tragedi yang Mengoyak Nurani
Kasus ini menjadi perbincangan luas di Sumatera Barat, bahkan secara nasional. Di media sosial, tagar seperti #KeadilanUntukSeptia dan #HukumMatiWanda mulai menggema, menandakan kemarahan publik yang menumpuk terhadap pelaku kekerasan ekstrem terhadap perempuan.
Lebih dari sekadar angka statistik kriminal, kasus ini membuka luka dalam tentang bagaimana perempuan bisa menjadi korban kekejaman yang tak berperikemanusiaan, dan bagaimana sistem hukum harus bertindak tegas dalam memastikan keadilan ditegakkan secara maksimal.
Septia Adinda (23) kini hanya tinggal kenangan bagi keluarganya potret manis yang terpajang di ruang tamu, senyum yang tak akan kembali, dan mimpi-mimpi yang direnggut secara brutal. Tapi suara keluarganya, dan suara publik, kini menyatu dalam satu harapan: keadilan tak boleh gagal menjemput kebenaran.
(Mond)
#Pembunuhan #Mutilasi #Kriminal #PembunuhanBerantai