Dahlan Iskan Gugat Jawa Pos: Berebut Hak atas Dokumen yang Tersimpan di Kantor Sendiri
Dahlan Iskan
D'On, Surabaya - Sebuah kabar mengejutkan datang dari jantung salah satu raksasa media terbesar di Indonesia, Jawa Pos Group. Tokoh penting yang pernah menjadi sosok sentral di balik kejayaan grup media ini, Dahlan Iskan, resmi melayangkan gugatan hukum terhadap PT Jawa Pos. Gugatan ini bukan soal saham, uang, atau posisi. Tapi soal sesuatu yang jauh lebih prinsipil: hak atas dokumen-dokumen perusahaan yang menurut Dahlan selama ini ia simpan di kantor pusat perusahaan, dan yang kini ia butuhkan namun tidak bisa ia akses.
Gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Surabaya pada 10 Juni 2025 dengan nomor perkara 621/Pdt.G/2025/PN Sby. Tak pelak, langkah hukum ini mengundang perhatian besar, tak hanya karena melibatkan nama besar Dahlan Iskan, tetapi juga karena memperlihatkan ketegangan internal yang tak pernah terendus publik sebelumnya.
"Saya Tidak Pernah Simpan Dokumen Perusahaan di Rumah"
Kepada media, Dahlan menjelaskan bahwa motivasi di balik gugatannya murni soal hak yang semestinya ia miliki sebagai pemegang saham. "Saya itu tidak pernah menyimpan dokumen perusahaan di rumah saya. Semua saya tinggal di kantor saat itu. Saya sekarang perlu dokumen-dokumen itu," ujar Dahlan dalam pernyataan yang dikutip dari Tirto, Jumat (13/6/2025).
Dahlan menegaskan, ia telah lebih dulu mencoba menempuh jalan damai. Beberapa kali ia, melalui kuasa hukumnya, mengajukan permintaan secara informal untuk mengakses dokumen-dokumen tertentu yang menurutnya krusial. Namun, semua permintaan tersebut tak kunjung mendapat respons yang diharapkan.
"Sudah minta baik-baik beberapa dokumen perusahaan, tapi tidak diberi. Akhirnya pengacara saya ajukan gugatan untuk mendapat dokumen-dokumen tersebut," lanjutnya.
Masih Punya Saham, Masih Punya Hak
Meskipun Dahlan sudah lama tidak lagi menjabat sebagai Direktur Utama maupun menjadi bagian dari struktur manajerial, ia menegaskan bahwa dirinya masih sah secara hukum sebagai pemegang saham minoritas di PT Jawa Pos. Dan dari posisinya itulah, ia merasa punya hak legal untuk mengakses dokumen-dokumen yang terkait dengan perusahaan.
“Karena sebagai salah satu pemegang saham, saya punya hak untuk meminta. Begitu kan?” ujarnya retoris, seolah mengajak publik merenung bersama: apakah wajar seorang pemegang saham harus menggugat hanya untuk mendapatkan kembali dokumen yang ia titipkan di kantornya sendiri?
Peta Kepemilikan Jawa Pos yang Jarang Diungkap
Kasus ini juga membuka tirai tentang komposisi kepemilikan saham di Jawa Pos sesuatu yang selama ini tidak banyak diketahui publik. Berdasarkan informasi yang dihimpun, Dahlan Iskan masih menguasai 10,2% saham perusahaan. Sementara pengendali utama Jawa Pos adalah entitas bernama Graffiti, dengan porsi saham sebesar 49,04%. Tokoh-tokoh lain yang ikut memiliki bagian antara lain Eric Samola (8,9%) dan Goenawan Mohammad (7,2%).
Komposisi ini menunjukkan bahwa meskipun bukan pengendali mayoritas, Dahlan tetap merupakan bagian penting dari sejarah dan struktur kepemilikan Jawa Pos — seseorang yang semestinya tak bisa dengan mudah disingkirkan, apalagi jika menyangkut hak legal atas dokumen yang bisa saja berkaitan dengan pertanggungjawaban atau sejarah perusahaannya.
Perseteruan yang Menguak Luka Lama?
Bagi sebagian orang yang mengikuti perjalanan panjang media di Indonesia, langkah Dahlan ini tak sekadar soal dokumen. Ini bisa saja menjadi cerminan dari keretakan hubungan yang sudah lama terpendam antara para pemegang kekuasaan di tubuh Jawa Pos. Ada nuansa emosional dalam pernyataan Dahlan, seperti seorang yang merasa diabaikan oleh rumah yang dulu ia besarkan.
Apakah gugatan ini akan menyulut konflik terbuka di antara para pemilik saham? Ataukah ini hanyalah langkah hukum sementara untuk menyelesaikan sengketa administrasi?
Yang pasti, gugatan ini menambah babak baru dalam sejarah panjang Jawa Pos. Sebuah kisah yang dulunya dibangun dengan idealisme, inovasi, dan kejayaan media cetak, kini memasuki fase baru fase di mana hak, kepemilikan, dan memori institusi saling bersinggungan di ruang sidang pengadilan.
Antara Hak dan Kenangan
Dahlan Iskan adalah sosok yang tak terpisahkan dari sejarah Jawa Pos. Ia bukan hanya mantan direktur utama, tetapi arsitek dari transformasi besar media ini sejak era 1980-an. Bahwa kini ia harus menggugat perusahaan yang pernah ia besarkan demi mendapatkan kembali dokumen yang dahulu ia tinggal di kantor, adalah ironi yang tak bisa diabaikan.
Apakah ini pertanda bahwa memori tak lagi punya tempat di korporasi? Ataukah ini justru teguran bahwa dalam dunia bisnis, sekalipun berbasis media dan idealisme, aturan tetap harus ditegakkan?
Jawabannya akan bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya, dalam perkara bernomor 621/Pdt.G/2025/PN Sby yang mungkin, lebih dari sekadar gugatan hukum, adalah bagian dari sejarah besar yang belum selesai.
(Tirto)
#JawaPosGrup #DahlanIskan #Hukum