Breaking News

Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat Rayakan Idul Adha pada 8 Juni, Ini Alasannya

Tarekat Syattariyah di Sumbar Tetapkan Idul Adha 8 Juni (Foto Ilustrasi

D'On, Padang Pariaman, Sumatera Barat
— Di tengah gema takbir yang akan mengudara pada Jumat, 6 Juni 2025 sesuai penetapan pemerintah, sekelompok umat Muslim di Sumatera Barat justru masih menanti datangnya Hari Raya Idul Adha. Mereka adalah para pengikut Tarekat Syattariyah sebuah tarekat sufi yang telah mengakar kuat selama berabad-abad di wilayah Minangkabau.

Tarekat yang berpusat di Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman ini akan melaksanakan salat Idul Adha pada Minggu, 8 Juni 2025. Keputusan ini disampaikan oleh Tuanku Imam Sidi, salah satu ulama kharismatik dari tarekat tersebut, dalam pernyataan resminya pada Sabtu, 7 Juni.

"Besok, Ahad, kita akan melaksanakan salat Idul Adha. Menurut perhitungan kami, 10 Zulhijah 1446 H jatuh pada tanggal 8 Juni 2025," ujar Tuanku Imam Sidi saat dihubungi dari kediamannya di Kayu Tanam.

Tradisi yang Menjaga Warisan Leluhur

Perbedaan penetapan hari besar Islam bukanlah hal baru bagi Tarekat Syattariyah. Meski pada tahun ini Hari Raya Idulfitri dirayakan bersamaan dengan kalender pemerintah, Idul Adha tetap ditentukan berdasarkan perhitungan khas tarekat ini — metode yang telah diwariskan secara turun-temurun dari para pendiri tarekat.

Metode yang digunakan disebut hisab takwim khamsiah, suatu sistem penghitungan kalender berdasarkan penambahan lima hari dari penanggalan Ramadan yang sebelumnya ditetapkan melalui rukyatul hilal atau pengamatan bulan secara kasatmata.

"Rukyatul hilal kami lakukan di Pantai Ulakan pada awal Ramadan dan Idulfitri. Dari sana, perhitungan penanggalan Islam kami ditetapkan. Namun untuk Idul Adha, kami tidak lagi melihat hilal, tetapi menggunakan hisab berdasarkan rumus turunan dari hasil pengamatan sebelumnya," jelas Tuanku Imam Sidi.

Pendekatan ini mencerminkan pandangan Syattariyah tentang kesinambungan waktu yang sakral dan terhubung langsung dengan ritus-ritus keagamaan yang mereka yakini sebagai bagian dari jalan spiritual mendekat kepada Allah.

Ulakan Tapakis: Pusat Spiritualitas Syattariyah

Tarekat Syattariyah memiliki akar sejarah yang mendalam di Ulakan Tapakis — tanah keramat yang menjadi pusat penyebaran ajaran Syekh Burhanuddin, ulama besar abad ke-17 yang menjadi tokoh sentral penyebaran Islam di tanah Minang. Hingga hari ini, ribuan pengikut tarekat masih berziarah ke makam beliau setiap tahun pada tradisi Basurek, sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan spiritual yang ditinggalkan.

Bagi para pengikut Syattariyah, menjaga metode perhitungan waktu ibadah seperti Idul Adha bukan sekadar urusan administratif. Ini adalah bagian dari upaya menjaga kontinuitas ajaran leluhur, nilai-nilai tasawuf, dan relasi ruhani dengan Sang Ilahi.

“Bukan kami bermaksud berbeda, tapi kami menjaga warisan yang sudah terjaga sejak ratusan tahun. Ini bukan sekadar hitungan angka, tetapi keyakinan dan kesetiaan terhadap jalan yang kami pilih,” tambah Tuanku Imam Sidi.

Keberagaman dalam Kesatuan

Keputusan Tarekat Syattariyah untuk merayakan Idul Adha pada tanggal yang berbeda kerap menjadi perbincangan publik. Namun, di tengah keberagaman cara umat Muslim menentukan waktu-waktu penting dalam Islam, langkah tarekat ini memperlihatkan bahwa Indonesia memang kaya akan praktik-praktik keagamaan yang unik  semua tetap berada dalam satu payung keimanan yang sama.

Idul Adha bukan hanya tentang kapan salat dilakukan atau kapan hewan kurban disembelih, tetapi juga tentang semangat pengorbanan, kepatuhan, dan spiritualitas. Dan dalam konteks itu, para pengikut Syattariyah tetap teguh berjalan di jalur keyakinan mereka, dengan penuh rasa hormat kepada perbedaan yang ada.

(Mond)

#IdulAdha #TarekatSyattariyah #Padangpariaman