Tangis dan Darah di Ruang Sidang: Kesaksian Pilu Penembakan 3 Polisi oleh Oknum TNI
Kuasa Hukum Keluarga Korban
D'On, Palembang — Suasana ruang sidang di Pengadilan Militer I-04 Palembang mendadak hening. Hening yang aneh, seolah waktu berhenti bergerak. Lalu, isak tangis pecah pilu dan memecah kesunyian ketika satu per satu barang pribadi milik tiga anggota Polri yang gugur dalam tugas, diperlihatkan di depan majelis hakim.
Pakaian dinas penuh lubang peluru, celana bercak darah, sepatu dinas yang sudah mengeras bekas darah kering, hingga tasbih dan seragam Kapolsek, dikeluarkan dari plastik bening. Semua itu menjadi saksi bisu dari tragedi yang mengoyak keadilan: penembakan tiga aparat negara oleh oknum TNI aktif, saat melakukan penggerebekan arena judi sabung ayam di Way Kanan, Lampung.
Tiga anggota Polri tersebut, AKP Anumerta Lusiyanto, Aipda Anumerta Petrus Apriyanto, dan Bripda Anumerta Ghalib, gugur dalam tugas pada hari yang seharusnya menjadi momen penegakan hukum. Namun justru menjadi titik nadir kepercayaan antar-institusi.
Salah satu keluarga korban, nyaris tak bisa berdiri. Dengan suara tertahan dan mata sembab, mereka menjawab pertanyaan hakim saat ditanya tentang nasib barang-barang itu:
“Iya, Yang Mulia… tolong kembalikan. Kami hanya ingin baju anak kami dikembalikan…”
Mereka tak meminta kompensasi. Tak juga menuntut balasan. Yang mereka inginkan hanyalah kenangan terakhir meski penuh darah agar bisa dipeluk, didoakan, dan dikenang. Karena bagi keluarga, seragam itulah wujud kehormatan terakhir dari anak, ayah, dan suami mereka yang gugur dalam tugas.
Detik-detik Pembantaian: “Saya Lihat Matanya Pecah Ditembak Bazarsah”
Kesaksian memilukan datang dari Aipda Wara Ardany Rambe, Kanit Reskrim Polsek Negara Batin. Ia adalah satu dari dua saksi hidup dalam operasi nahas itu. Suaranya bergetar saat menceritakan kembali kronologi kelam yang nyaris merenggut nyawanya.
“Kami berlima berangkat satu mobil. Kapolsek duduk di belakang bersama dua anggota. Saya duduk di depan. Bripka Petrus yang mengemudi,” kata Wara, yang berulang kali menarik napas untuk menahan emosi.
Ketika tiba di lokasi, Kapolsek AKP Lusiyanto turun terlebih dahulu dari mobil untuk menghadang satu kendaraan yang mencoba kabur dari lokasi sabung ayam. Tapi tiba-tiba, rentetan tembakan meletus dari dalam dan luar arena.
Sumbernya, ternyata, adalah senjata laras panjang SS1 modifikasi milik Kopda Bazarsah, salah satu pelaku yang merupakan anggota TNI aktif.
“Saya lihat sendiri Kopda Bazarsah mengenakan baju hitam. Dia mengangkat senjatanya, mengarahkannya ke Bripka Petrus dan langsung menembak. Saya lihat... bola matanya pecah...” ujar Wara, tercekat.
Wara langsung melompat ke arah kebun singkong di pinggir jalan, berlari menyelamatkan diri sambil tetap mendengar suara tembakan yang terus menyalak. Ia baru kembali ke lokasi setelah suara senyap, dan di sanalah ia mendapati ketiga rekannya telah tergeletak tak bernyawa, bersimbah darah, di atas tanah.
Kekejian Berseragam dan Luka yang Tak Terobati
Sidang kasus ini bukan sekadar menggugat individu, tapi menyingkap luka yang lebih besar: retaknya kepercayaan publik terhadap aparatur bersenjata yang seharusnya jadi penjaga hukum.
Kopda Bazarsah bukan hanya menembak aparat negara. Ia menembak rasa keadilan. Bersama rekannya Peltu Yun Heri Lubis, mereka menjalankan bisnis ilegal: judi sabung ayam, lengkap dengan perlindungan bersenjata.
Senjata yang digunakan pun bukan senjata biasa. Oditur Militer menghadirkan barang bukti berupa SS1 yang telah dimodifikasi dengan komponen FNC, senjata yang tergolong mematikan. Bahkan peluru yang ditembakkan menembus tubuh para korban tanpa ampun.
Tindakannya tak hanya menyebabkan kematian fisik. Tapi juga mencabik martabat institusi militer yang selama ini berdiri berdampingan dengan Polri dalam menjaga keamanan.
Permintaan Terakhir: Bukan Dendam, Hanya Kenangan
Tidak ada dendam dari keluarga korban yang hadir di persidangan. Yang mereka minta hanyalah sesuatu yang sederhana: agar pakaian dinas yang dikenakan saat gugur dikembalikan. Seragam itu, meski berlumur darah, adalah simbol pengabdian terakhir.
Pengadilan kini dihadapkan pada pertaruhan moral. Sebab kasus ini bukan hanya tentang prosedur, bukan hanya tentang hukum militer. Tapi tentang bagaimana negara merespons ketika tangan bersenjata yang seharusnya melindungi, justru menjadi pelaku kekerasan terhadap sesama aparat.
Keadilan, pada akhirnya, bukan soal vonis berapa tahun. Tapi bagaimana rasa kehilangan itu dipahami, bagaimana luka itu diberi ruang, dan bagaimana negara menyampaikan bahwa nyawa aparat tidak boleh diremehkan apalagi oleh sesama.
(Mond)
#OknumTNITembakPolisi #Penembakan #Hukum