Breaking News

Kemenangan Masyarakat Sipil, ’Tes Keperawanan untuk Angkatan Bersenjata Resmi Dihapus: Komitmen Pelaksanaan Ditunggu!

D'On, Bogor (Jabar),- Setelah TNI Angkatan Darat (TNI AD) resmi meniadakan ‘tes keperawanan,’ kini, masyarakat sipil pun menunggu komitmen TNI dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers Change.org bertajuk ‘Penghapusan ‘Tes Keperawanan’ Angkatan Bersenjata: Kemenangan Bagi Perempuan?’, yang diadakan bertepatan dengan Hari Polwan yang jatuh pada tepat hari ini, Rabu (1/9/2021).

Adapun, beberapa panelis dalam acara tersebut, diantaranya Mayjen TNI dr. Budiman, Sp.BP-RE(K), M.A.R.S. (Kepala Pusat Kesehatan Angkatan Darat), Latisha Rosabelle (pembuat petisi #StopVirginityTestsID), Brigjen (Purn.) Sri Rumiati, Faye Simanjuntak (pendiri Rumah Faye), dr. Putri Widi Saraswati (dokter dan penggerak isu kesetaraan gender), serta Andreas Harsono (peneliti Human Rights Watch). Praktik ‘tes keperawanan’ telah memicu polemik selama bertahun-tahun, karena dianggap melanggar hak-hak perempuan, dan tidak terbukti secara medis. 

Dalam konferensi pers ini, Mayjen dr. Budiman, menyatakan bahwa pemeriksaan hymen (selaput dara) telah ditiadakan dalam proses seleksi anggota TNI. Keputusan ini tertera dalam Petunjuk Teknis B/13/72/VI/2021 tanggal 14 Juni 2021 tentang Penyempurnaan Juknis Pemeriksaan Uji Badan.

Lewat petunjuk teknis ini, Mayjen dr. Budiman mengatakan bahwa hymen tidak lagi dimasukkan dalam proses pemeriksaan uji badan, yang berarti ‘tes keperawanan’ bagi calon anggota TNI sudah tidak lagi diadakan. 

Kampanye untuk penghentian praktik ‘tes keperawanan’ ini telah dilakukan banyak pihak, salah satunya oleh Latisha Rosabelle melalui petisi di platform Change.org Indonesia. 

Petisi bertajuk #StopVirginityTestsID ini dimulai oleh Latisha Rosabelle, seorang siswa SMA pada tahun 2017, dan sampai hari ini telah mendapatkan lebih dari 60 ribu tanda tangan. Dengan penjelasan yang disampaikan oleh Mayjen dr. Budiman, Latisha pun menyatakan bahwa kampanye yang ia galang melalui petisi sudah menang.

Bagi Andreas Harsono, kemenangan ini bukan hanya bagi perempuan, tetapi juga untuk para laki-laki, dan juga untuk TNI. Apalagi, ia menyampaikan bahwa selama ia bertugas sebagai peneliti HRW mengenai isu ini, ia bertemu dengan banyak sekali prajurit yang merasa trauma dengan dilakukannya ‘tes keperawanan’ ini.

“Ada yang sampai bercerita trauma untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya, karena trauma dengan pengalaman ‘tes keperawanan’ ini,” ceritanya. 

Jauh sebelum Latisha memulai petisinya, Brigjen (Purn.) Sri Rumiati juga sudah sempat mengkampanyekan penghentian tes ini di Polri sejak tahun 2006. Menurutnya, praktik pengetesan untuk mengukur ‘moral’ seseorang ini tidak adil, karena hanya dilakukan pada perempuan. 

“Ketika saya melihat tes ini, bayangan saya adalah anak-anak korban perdagangan, perkosaan. Apakah tidak bisa lagi mengabdi kepada negara sebagai TNI dan polisi? Tidak ada penelitian yang menunjukkan kalau sudah rusak hymen nya sudah tidak perawan, berarti sudah rusak moralnya. Karena itulah kita harus memberikan seluas-luasnya kesempatan kepada anak bangsa untuk ikut mengabdi kepada negara,” kata Brigjen (Purn.) Sri. 

Pandangan mengenai tak adanya fungsi tes hymen pada perempuan juga disampaikan oleh dr. Putri Widi Saraswati.

“Hymen adalah organ yang belum diketahui fungsinya apa, dan sangat variatif bentuknya. Variasi ini akan menyebabkan ketika dilakukan inspeksi, sulit diidentifikasi penyebab robeknya apa. Ada orang yang hanya karena terjatuh, dan ada orang yang sudah berhubungan seksual, hymen-nya masih utuh.”

Pendiri Rumah Faye dan penggerak isu kekerasan seksual anak-anak perempuan, Faye Simanjuntak, mengatakan bahwa sebagai anggota dari keluarga militer, ia merasa sebelum peniadaaan ‘tes keperawanan’ ini, TNI belum membela hak dasar perempuan. 

Faye juga bercerita bahwa ia menyaksikan sendiri bagaimana anggota keluarganya sendiri ada yang harus melewati ‘tes keperawanan’ tersebut. 

“Korps Wanita TNI AD dan istri yang mengalami ‘tes keperawanan’ adalah penyintas. Jadi mereka harus disediakan layanan konseling; dan penghapusan tes ini dan penghapusan tes keperawanan harus disahkan dalam bentuk kebijakan,” tutur Faye.

(*)