Breaking News

Takut Dikalahkan China, Alasan AS Sulut Api Perang Dagang?

D'On, Jakarta,- Amerika Serikat (AS) dan China telah terlibat perang dagang sejak awal tahun 2018 lalu. Kedua ekonomi terbesar di dunia itu juga telah saling menerapkan tarif hingga ratusan miliar dolar terhadap barang satu sama lain.

Berbagai faktor penyebab perang dagang mereka di antaranya adalah karena AS menganggap China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil. Seperti melakukan pencurian kekayaan intelektual termasuk akibat lebarnya defisit perdagangan antara kedua negara.

Namun, dampak dari perang dagang tidak hanya berimbas pada kedua negara. Perang dagang juga telah menyebabkan perlambatan ekonomi global.

Bahkan menyebabkan perlambatan di negara-negara lainnya. Alasannya adalah karena negara-negara itu juga menjalin bisnis dan perdagangan dengan AS dan China.

Tapi, hingga saat ini masih banyak yang meragukan bahwa penyebab utama perang dagang kedua negara adalah praktik perdagangan China dan juga defisit. Sebab jika memang defisit, AS nyatanya tidak hanya mencatatkan defisit perdagangan yang lebar dari transaksinya dengan China.

Pemerintahan Presiden Donald Trump ini juga memiliki defisit perdagangan yang lumayan lebar dengan sekutunya, Jepang. Hal ini diungkapkan Michael Ivanovitch, seorang analis independen yang berfokus pada ekonomi dunia, geopolitik dan strategi investasi dalam tulisannya di CNBC International.

"Dengan Jepang, AS memiliki defisit sebesar US$ 48,6 miliar dalam delapan bulan pertama tahun ini, meningkat 6,3% dari tahun sebelumnya," kata ekonom senior OECD di Paris ini yang juga ekonom internasional di Federal Reserve Bank New York dan pengajar ekonomi di Columbia Business School itu.

"Sementara itu dengan Uni Eropa, pada periode Januari hingga Agustus, surplus perdagangannya dengan AS mencapai 102,7 miliar euro, dan defisit perdagangan 127,4 miliar euro dengan China."

"Jerman menyumbang hampir sepertiga dari surplus dengan AS dan mengalami defisit yang sangat kecil dengan China, yaitu 7,5 miliar euro."

Ivanovitch juga mengatakan Jepang dan Jerman cukup banyak terdampak oleh perang dagang AS-China. Ia mengatakan, Kementerian keuangan Jepang mengumumkan pekan lalu bahwa rata-rata pertumbuhan tahunan Jepang adalah 0,6% pada tahun ini hingga Juni.

Namun begitu, Jepang tidak berencana untuk menyuntikkan stimulus untuk menopang perekonomiannya yang lesu.

Sama seperti Jepang, ekonomi Jerman juga terus melambat dalam beberapa bulan terakhir. Namun, negara ini mengatakan belum perlu membuat kebijakan untuk mendorong ekonominya, yang juga diperkirakan akan mandek di bulan-bulan mendatang.

"Jepang ternyata melakukan bisnis yang cepat dengan AS dan China. Dalam delapan bulan pertama tahun ini, ekspor Jepang ke China mencapai US$ 86,4 miliar, hampir menyamai ekspor ke AS yang sebesar US$ 94,6 miliar. Kedua negara saat ini menyumbang hampir 40% dari total penjualan Jepang di luar negeri," jelasnya.

Berdasarkan hal itu, Ivanovitch pun beranggapan bahwa China kemungkinan akan bisa menyamai AS dalam hal perdagangan, yang mungkin menjadi kekhawatiran AS. Namun, ia mengatakan perang dagang bukanlah jalan yang tepat bagi kedua negara untuk bersaing.

"AS akan disarankan untuk membuat kesepakatan perdagangan yang cepat dengan China dan untuk mengurangi retorika anti-China yang serampangan dan kontraproduktif," ujarnya lagi.

"China, pada bagiannya, harus memahami bahwa neraca perdagangannya yang seimbang dengan AS adalah titik tolak untuk hubungan konstruktif yang bisa dijalani oleh kedua negara dan itu bisa sangat bermanfaat bagi negara-negara lain di dunia." jelasnya.

CNBC