Breaking News

MK Soroti ‘Cawe-cawe’ Panglima TNI dalam Urusan Jabatan Sipil Prajurit: Ada Kontradiksi di UU TNI?

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo

D'On, Jakarta
— Suasana ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/10/2025) mendadak menghangat ketika Ketua MK, Suhartoyo, secara terbuka mempertanyakan alasan Panglima TNI masih ikut campur dalam karier prajurit yang sudah menduduki jabatan sipil. Pertanyaan ini mengemuka dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) aturan yang kini tengah menjadi sorotan karena dianggap menyisakan celah tumpang tindih antara ranah militer dan sipil.

Suhartoyo, dengan nada kritis, mencermati secara saksama Pasal 47 UU TNI yang menjadi pokok perkara. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa prajurit TNI diperbolehkan menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil, namun hanya setelah mengundurkan diri atau memasuki masa pensiun dari dinas aktif.

Namun, di sisi lain, ayat (5) Pasal 47 justru menyebut bahwa pembinaan karier anggota TNI yang menduduki jabatan sipil dilakukan oleh Panglima TNI. Di sinilah Suhartoyo menemukan kejanggalan yang ia sebut sebagai bentuk kontradiksi internal dalam undang-undang itu sendiri.

“Ini bagaimana ini Panglima (TNI) masih cawe-cawe kalau syarat untuk menduduki jabatan tertentu harus mengundurkan diri atau tidak aktif lagi? Ini ada semacam kontradiksi di antara beberapa ayat,” ujarnya dengan tegas di ruang sidang MK, Jakarta Pusat.

Pernyataan Suhartoyo seolah menyorot persoalan mendasar yang selama ini kerap muncul di publik: apakah supremasi sipil di Indonesia benar-benar berjalan, atau masih ada bayang-bayang dominasi militer dalam ruang-ruang pemerintahan sipil.

Ia menilai, keberadaan aturan yang tetap memberi ruang bagi Panglima TNI untuk membina karier prajurit di lembaga sipil bisa menimbulkan ambiguitas dan konflik kepentingan. Sebab, jika prajurit tersebut sudah berstatus sipil karena mengundurkan diri atau pensiun seharusnya segala urusan administrasi dan kariernya berada di bawah kementerian atau lembaga tempatnya bekerja, bukan lagi di bawah kendali militer.

“Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan di ruang publik: bagaimana supremasi sipil bisa ditegakkan kalau unsur-unsur TNI, atau bahkan Panglima, masih ikut mengendalikan?” tambah Suhartoyo.

Pertanyaan bernada tajam itu bukan sekadar formalitas hukum. Ia mencerminkan kegelisahan konstitusional terhadap potensi tumpang tindih kewenangan antara struktur militer dan birokrasi sipil, yang bisa berujung pada kaburnya batas otoritas di dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Suhartoyo pun meminta pemerintah dan DPR RI, selaku pembentuk undang-undang, untuk memberikan penjelasan tertulis mengenai maksud dan logika hukum di balik pengaturan tersebut. MK ingin memastikan bahwa setiap pasal di dalam UU TNI tidak hanya konsisten secara normatif, tetapi juga tidak membuka peluang bagi praktik campur tangan militer di sektor sipil yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Sidang uji materiil ini menjadi salah satu momen penting dalam meninjau ulang relasi antara militer dan sipil di Indonesia. Setelah dua dekade reformasi, isu “dwifungsi” TNI yang dulu sudah dinyatakan berakhir ternyata masih menyisakan jejak lewat ketentuan hukum yang abu-abu.

Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, publik kembali mencermati banyaknya perwira aktif maupun purnawirawan TNI yang menempati posisi strategis di lembaga sipil, mulai dari kementerian, BUMN, hingga lembaga negara independen.

Dengan munculnya pertanyaan dari Ketua MK ini, perdebatan soal batas peran militer di ranah sipil tampaknya akan kembali mengemuka. Putusan MK nantinya akan menjadi penentu  apakah Indonesia benar-benar menegakkan supremasi sipil dalam kerangka negara demokratis, atau justru membiarkan “cawe-cawe” militer tetap berlanjut dalam jubah hukum yang samar.

(T)

#RevisiUUTNI #TNI #Militer #Nasional #MahkamahKonstitusi