Menkeu Purbaya Sebut Tuntutan 17+8 Hanya Suara Sebagian Kecil

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa disambut jajaran Wakil Menkeu di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat pada Senin (8/9/2025).
D'On, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa akhirnya buka suara soal tuntutan 17+8 yang belakangan ini ramai diperbincangkan publik dan digaungkan dalam aksi demonstrasi. Menurutnya, tuntutan tersebut memang sah-sah saja disuarakan, namun ia menilai itu hanyalah suara sebagian kecil rakyat Indonesia.
Purbaya menyampaikan pandangan itu usai menghadiri kegiatan di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (8/9). Ia mengaku belum sempat mempelajari secara mendetail isi tuntutan, tetapi menegaskan bahwa yang paling penting saat ini adalah bagaimana pemerintah menjawab keresahan publik lewat pembangunan ekonomi.
“Saya belum belajar itu. Tapi basically begini, itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa? Mungkin sebagian merasa terganggu hidupnya masih kurang ya,” kata Purbaya.
Menurutnya, cara paling efektif meredam keresahan adalah dengan menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Ia berjanji akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level 6–7 persen agar masyarakat lebih sibuk bekerja dan tidak perlu turun ke jalan untuk berdemo.
“One, saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6 persen, 7 persen, itu akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo,” lanjutnya.
Namun, ketika ditanya soal kemungkinan mengejar target pertumbuhan 8 persen seperti yang juga menjadi salah satu aspirasi publik, Purbaya memilih realistis. Ia menyebut pemerintah hanya akan berfokus pada pertumbuhan optimal yang bisa dicapai tanpa menipu rakyat dengan janji berlebihan.
“Bukan bakal dikejar 8 persen. Kita akan kejar pertumbuhan yang paling cepat, seoptimal mungkin. Kalau Anda bilang bisa nggak besok 8? Kalau saya bilang bisa, kan saya nipu. Tapi kita bergerak ke arah sana,” tegasnya.
Apa Itu Tuntutan 17+8?
Tuntutan yang dikenal dengan sebutan “17+8” ini lahir dari keresahan berbagai kelompok masyarakat, termasuk mahasiswa, buruh, aktivis sipil, hingga influencer yang ikut menyuarakannya. Gerakan ini terbagi menjadi dua bagian besar:
- 17 tuntutan jangka pendek dengan tenggat waktu satu minggu (5 September 2025).
- 8 tuntutan jangka panjang dengan tenggat satu tahun (31 Agustus 2026).
Isinya menyasar berbagai isu mendesak, mulai dari penegakan hukum terhadap kasus kekerasan aparat, reformasi DPR dan partai politik, hingga perlindungan pekerja.
Beberapa poin yang paling menonjol antara lain:
- Bentuk Tim Investigasi Independen untuk kasus meninggalnya Affan Kurniawan dan korban luka Umar Amarudin pada aksi 28–30 Agustus.
- Hentikan keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, kembalikan TNI ke barak.
- Bebaskan demonstran yang ditahan serta hentikan kriminalisasi aksi.
- Tangkap dan adili aparat yang terbukti melakukan kekerasan.
- Bekukan kenaikan gaji/tunjangan DPR serta publikasikan transparansi anggaran secara berkala.
- Pastikan upah layak bagi seluruh tenaga kerja, termasuk guru, tenaga kesehatan, buruh, dan mitra ojek online.
- Ambil langkah darurat cegah PHK massal serta buka dialog dengan serikat buruh.
Sementara untuk jangka panjang, tuntutan publik mencakup:
- Reformasi DPR dan partai politik.
- Penyusunan rencana reformasi perpajakan yang lebih adil.
- Pengesahan UU Perampasan Aset Koruptor dan penguatan independensi KPK.
- Reformasi Polri agar lebih profesional dan humanis.
- Penarikan total TNI dari ruang sipil tanpa pengecualian.
- Penguatan Komnas HAM serta lembaga pengawas independen.
- Peninjauan ulang kebijakan sektor ekonomi dan ketenagakerjaan.
Latar Belakang Gelombang Protes
Tuntutan 17+8 tak muncul tiba-tiba. Aksi besar yang terjadi pada 28–30 Agustus menjadi titik balik. Saat itu, demonstrasi yang awalnya digerakkan mahasiswa dan buruh berujung ricuh.
Dua nama kemudian mencuat ke permukaan: Affan Kurniawan, seorang mitra ojek online yang meninggal dunia usai tertabrak kendaraan taktis, serta Umar Amarudin, korban lain yang menderita luka berat. Tragedi ini menyulut kemarahan publik dan memicu lahirnya tuntutan yang lebih terstruktur.
Maka, 17+8 bukan sekadar daftar teknis, tetapi simbol kekecewaan atas praktik kekerasan aparat, lemahnya transparansi DPR, hingga minimnya keberpihakan kebijakan pada rakyat kecil.
Antara Janji Ekonomi dan Desakan Akuntabilitas
Pernyataan Purbaya yang menyebut tuntutan 17+8 hanya berasal dari “sebagian kecil rakyat” bisa jadi akan menuai perdebatan. Sebab, bagi para korban dan keluarga mereka, suara ini mewakili luka mendalam yang tak bisa direduksi hanya sebagai minoritas.
Meski begitu, fokus Purbaya pada pertumbuhan ekonomi juga mencerminkan arah kebijakan pemerintah: mengalihkan energi bangsa ke pembangunan dan kesejahteraan. Namun, tantangan nyata di lapangan adalah bagaimana menyeimbangkan strategi ekonomi jangka menengah dengan desakan akuntabilitas hukum dan reformasi institusional yang dituntut publik.
Pertanyaan besar pun menggantung: apakah janji pertumbuhan ekonomi 7 persen cukup untuk meredam gelombang tuntutan rakyat, atau justru pemerintah tetap harus menanggapi substansi 17+8 dengan langkah konkret, mulai dari investigasi independen hingga reformasi kelembagaan?
Tuntutan 17+8 telah menjadi simbol keresahan sosial-politik yang tak bisa diabaikan. Purbaya menawarkan jawaban berupa percepatan pertumbuhan ekonomi. Namun, publik tampaknya menunggu lebih dari sekadar angka: mereka menanti keadilan bagi korban, transparansi DPR, reformasi Polri dan TNI, serta kebijakan ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil.
(Mond)
#MenteriKeuangan #PurbayaYudhiSadewa #Nasional