Simulasi Akbar atau Seremoni? "Padang Belum Siap Hadapi Gempa Besar”
By, Endang Pribadi Penulis dan Pengamat Sosial
Dirgantaraonline - Rencana Pemerintah Kota Padang menggelar simulasi gempa dan tsunami berskala besar pada 5 November 2025 patut diapresiasi sebagai upaya meningkatkan kesadaran publik. Namun, di balik gegap gempita persiapan dan partisipasi ratusan ribu warga, tersimpan ironi yang tak bisa diabaikan: seberapa siap sebenarnya Padang menghadapi bencana nyata?
Kota ini seolah terjebak dalam euforia simbolik sibuk berlatih menyelamatkan diri, tetapi abai memastikan tempat berlindungnya aman. Apa gunanya simulasi megah jika shelter evakuasi justru tidak layak huni, aksesnya terkunci, sanitasi rusak, dan listrik tak berfungsi. Hal ini berdasarkan pemberitaan terbaru yang penulis baca.
Dalam keadaan darurat, setiap detik menentukan hidup dan mati; namun ketika tempat perlindungan justru membahayakan pengungsi, latihan sebesar apa pun kehilangan maknanya.
Lebih jauh, absennya data akurat tentang jumlah bangunan tahan gempa menunjukkan bahwa pemerintah berjalan dalam gelap. Padahal, pengalaman pahit gempa 2009 sudah membuktikan. Bukan gelombang tsunami yang paling mematikan, tetapi bangunan yang runtuh karena rapuh. Ironisnya, 16 tahun berselang, Padang masih belum mampu menjawab pertanyaan sederhana ini. Berapa rumah warganya yang benar-benar aman ketika bumi berguncang?
Kondisi ini semakin kontras ketika Kepala BNPB Suharyanto menegaskan saat kunjungannya ke Unand beberapa waktu yang lalu, yang menyatakan hunian tahan gempa adalah kunci utama kesiapsiagaan, bukan sekadar simulasi di lapangan. Jika fondasi fisiknya lemah, sebaik apa pun skenario penyelamatan, hasilnya tetap nihil.
Persoalan jalur evakuasi yang rawan macet juga memperlihatkan lemahnya perencanaan tata kota. Jalur Alai–By Pass, yang bahkan di hari biasa sulit dilalui, akan menjadi jebakan maut ketika ribuan warga panik menyelamatkan diri. Tanpa pembenahan infrastruktur, “evakuasi” hanya akan berubah menjadi kekacauan massal.
Masalah utama Padang bukan pada niat melakukan simulasi, melainkan pada keberanian mengambil langkah konkret setelahnya. Simulasi seharusnya menjadi batu loncatan menuju perbaikan sistemik — memperkuat bangunan, memperluas jalur evakuasi, memfungsikan shelter, dan menegakkan aturan bangunan tahan gempa. Tanpa itu semua, latihan tahunan hanya menjadi panggung formalitas yang diabadikan di media, bukan cermin kesiapsiagaan sejati.
Ingat, Padang hidup di atas ancaman nyata. Para ahli telah berkali-kali mengingatkan potensi gempa besar di zona cincin api Sumatera, namun pemerintah seolah menanggapinya dengan rutinitas simbolik. Jika tak ada perubahan mendasar, maka simulasi megah 5 November nanti hanyalah teatrikal kesiapsiagaan indah di permukaan, rapuh di kenyataan.
Karena bencana tak bisa dilawan dengan seremonial, tetapi dengan kebijakan yang berani dan tindakan nyata. Semoga setelah simulasi gempa dan tsunami, Pemko Padang melakukan aksi nyata. Semoga.
Penulis: Endang Pribadi
#Opini
