Breaking News

Kota Padang Belum Tangguh Bencana: Unand Desak Warga dan Pemerintah Tingkatkan Latihan dan Koordinasi

Tim Pusat Studi Bencana Universitas Andalas (Unand) berfoto bersama di sela-sela kegiatan edukasi kesiapsiagaan bencana.

D'On, Padang
– Kota Padang, yang terhampar di pesisir barat Sumatera, bukan sekadar kota tepian laut. Ia berdiri di atas garis patahan besar yang setiap saat bisa mengguncang kehidupan warganya. Di balik keseharian yang tampak tenang, para ahli mengingatkan bahwa ancaman gempa besar dan tsunami raksasa dari zona megathrust Mentawai–Siberut bukan lagi soal “jika”, melainkan “kapan”.

Dalam konteks itulah Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Andalas (Unand) memberi apresiasi atas langkah Pemerintah Kota (Pemko) Padang yang akan menggelar Simulasi Gempa dan Tsunami pada 5 November 2025 mendatang. Kegiatan ini dinilai sebagai upaya penting untuk mengasah kesiapsiagaan warga di kota yang pernah diguncang gempa besar pada 2009 itu.

Namun, di balik apresiasi tersebut, hasil kajian terbaru PSB Unand justru menyingkap kenyataan pahit: Padang belum tangguh bencana.

Warga Masih Minim Pengetahuan dan Keterampilan

Hasil penelitian PSB Unand menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan kesiapsiagaan warga terhadap bencana masih tergolong rendah. Rendahnya intensitas latihan, kurangnya simulasi, serta minimnya kemampuan teknis masyarakat untuk bertindak cepat dalam situasi darurat menjadi penyebab utama.

“Rendahnya frekuensi latihan menyebabkan masyarakat tidak siap secara praktis ketika bencana benar-benar datang,”
ujar Prof. Dr. Ir. Abdul Hakam, MT, PhD, Pengurus PSB Unand Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, saat ditemui di Padang, Senin (4/11).

Menurut Hakam, hampir seluruh kelurahan di Kota Padang berada dalam kategori rendah untuk aspek mitigasi bencana. Ia menyebut beberapa kawasan seperti Sungai Sapih, Jati, Sawahan, Anak Air, Belimbing, Ulu Gadut, dan Lubuk Begalung masih memiliki kesiapan yang sangat terbatas.

“Sebagian besar warga di daerah-daerah tersebut bahkan belum tahu apa yang harus dilakukan ketika sirene peringatan tsunami berbunyi,” ungkapnya prihatin.

Infrastruktur Fisik dan Jalur Evakuasi Masih Lemah

Selain faktor manusia, keterbatasan fisik juga menjadi tantangan besar. Jalur evakuasi, shelter, serta peralatan darurat di banyak wilayah belum memadai. Akses menuju lokasi aman pun sering terhalang bangunan padat atau jalan sempit.

“Kelurahan seperti Sungai Sapih, Sawahan, Belimbing, dan Limau Manis memiliki keterbatasan fasilitas penyelamatan. Hanya beberapa kelurahan seperti Kantos BWSS V Khatib Sulaiman/Ulak Karang Selatan dan Lolong Belanti yang memiliki kesiapan fisik dengan kategori sedang,” jelas Hakam.

Kondisi ini berisiko tinggi jika bencana datang tiba-tiba di tengah malam atau saat aktivitas warga sedang padat. Dengan waktu evakuasi hanya 20–30 menit pascagempa besar sebelum tsunami menghantam pantai, kesiapan semacam ini menjadi soal hidup dan mati.

Ancaman Megathrust Belum Dipahami Secara Luas

Abdul Hakam juga menyoroti minimnya pemahaman warga tentang ancaman Megathrust, yaitu gempa besar akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang berpotensi menimbulkan tsunami dahsyat.

“Sebagian besar masyarakat di Sungai Sapih, Jati, Sawahan, dan Belimbing belum memahami karakteristik gempa besar ini serta bagaimana cara menyelamatkan diri dengan benar,” ujarnya.
“Hanya sebagian kecil wilayah seperti Gunung Pangilun, Limau Manis, dan Parupuk Tabing yang mulai menunjukkan peningkatan kesadaran.”

Padahal, hasil riset para ahli seismologi menunjukkan bahwa potensi gempa megathrust di barat Sumatera bisa mencapai magnitudo 8,8–9,1 SR, cukup kuat untuk menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang belasan meter di pesisir Padang.

Koordinasi dan Komunikasi Masih Lemah

PSB Unand juga mencatat bahwa koordinasi antara warga, kelompok siaga bencana, dan pemerintah daerah belum berjalan optimal.
Beberapa wilayah seperti Belimbing/Kuranji dan Sungai Sapih dinilai masih memiliki koordinasi yang lemah antar lembaga.

Namun ada pula titik terang: di Limau Manis, Lolong Belanti, dan kawasan Kantos BWSS V Khatib Sulaiman, koordinasi antar kelompok masyarakat, kelurahan, dan instansi pemerintah mulai menunjukkan hasil positif.

“Contoh seperti di Lolong Belanti harus diperluas. Di sana masyarakat tahu siapa yang memegang megafon, siapa yang membuka jalur, siapa yang menolong anak-anak dan lansia,” ujar Hakam.

Butuh Literasi, Edukasi, dan Keteladanan

Sosiolog bencana Drs. Rinaldi Ekaputra, M.Si menambahkan bahwa akar persoalan rendahnya kesiapsiagaan bukan hanya pada fasilitas, tapi juga pada budaya literasi kebencanaan yang belum tertanam kuat.

“Masih banyak warga yang menganggap bencana itu takdir semata, bukan sesuatu yang bisa diminimalkan dampaknya,” ujarnya.
“Padahal mitigasi bukan melawan takdir, melainkan bagian dari ikhtiar melindungi nyawa.”

Rinaldi menekankan pentingnya edukasi kebencanaan yang dilakukan secara berkelanjutan melalui sekolah, masjid, dan kegiatan masyarakat. Komunikasi risiko bencana juga harus diperkuat agar pesan peringatan tidak berhenti di tataran slogan.

“Pemko Padang perlu memperkuat program literasi dan edukasi kebencanaan. Infrastruktur fisik seperti shelter, jalur evakuasi, dan alat komunikasi darurat juga harus terus dipelihara dan ditingkatkan,” tegasnya.

Simulasi Bukan Sekadar Seremoni

Kegiatan simulasi yang akan digelar pada 5 November mendatang diharapkan bukan hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi momentum untuk menyatukan kesadaran kolektif warga Padang.
Bagi PSB Unand, simulasi adalah “laboratorium sosial” yang menunjukkan sejauh mana kesiapan warga menghadapi kenyataan yang tak terelakkan: hidup di atas patahan bumi aktif.

“Gempa bumi tidak dapat diprediksi. Satu-satunya cara untuk mengurangi korban adalah latihan, latihan, dan latihan,” tutup Rinaldi.

Membangun Kota yang Sadar Risiko

Simulasi kali ini diharapkan menjadi titik balik untuk menjadikan Padang sebagai kota yang tangguh bencana, bukan sekadar “kota yang tahu risiko”.
Kesadaran masyarakat, ketangguhan infrastruktur, dan koordinasi lintas elemen menjadi tiga pilar utama yang harus diperkuat.

Karena di Padang, setiap detik adalah latihan hidup berdampingan dengan ancaman alam.

“Kita hidup di atas ancaman megathrust, tapi masih banyak yang belum tahu bagaimana cara menyelamatkan diri.” – Prof. Abdul Hakam, PSB Unand

(Edg)

#Padang #SimulasiBencana #UniversitasAndalas