Breaking News

Tragedi Prada Lucky: Dianiaya, Kabur, Lalu Kembali Disiksa Hingga Tewas di Markas Yonif 834 Nagekeo

Pengadilan Militer (Dilmil) III-15 Kupang menggelar sidang perdana kasus tewasnya Prada Lucky C.S. Namo, Senin (27/10/2025).

D'On, Kupang
- Suasana ruang sidang Pengadilan Militer (Dilmil) III-15 Kupang pada Senin (27/10/2025) mendadak tegang. Di hadapan majelis hakim, seorang perwira muda, Lettu Infanteri Ahmad Faisal, duduk tenang dengan seragam lengkap. Namun di balik ketenangan itu, ia tengah menghadapi dakwaan berat: penganiayaan yang berujung kematian seorang prajurit muda bernama Prada Lucky Chepril Saputra Namo.

Kasus ini bukan sekadar pelanggaran disiplin militer. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan menggambarkan rantai kekerasan yang sistematis, brutal, dan berlangsung di dalam lingkungan kesatuan militer sendiri, tepatnya di Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan (Yon TP) 834 Wakanga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Awal Mula: Dari Chat Pribadi ke Tuduhan Penyimpangan Seksual

Menurut pembacaan dakwaan oleh Oditur Militer, peristiwa bermula pada 27 Juli 2025 malam. Saat itu, terdakwa Lettu Ahmad Faisal, selaku Komandan Kompi A (Danki A), menerima laporan hasil pemeriksaan handphone prajurit di bawahnya. Dari laporan itu, muncul percakapan di WhatsApp dan Instagram yang dianggap menunjukkan “indikasi penyimpangan seksual”.

Malam itu sekitar pukul 20.00 WITA, Ahmad memanggil Prada Lucky, yang saat itu tidak hadir dalam apel karena sedang bertugas. Di lapangan kompi, sang perwira langsung mencambuk bawahannya itu dua kali menggunakan selang biru. Tak berhenti di situ, ia memerintahkan Lucky melakukan push up, sit up, dan berguling selama lima menit sebagai hukuman tambahan, sebelum kembali mencambuknya empat kali lagi.

Semua tindakan itu, menurut oditur, dilakukan atas nama pembinaan. Lucky yang dikenal sebagai Kabagpan II  prajurit bagian dapur yang bertugas memasak untuk anggota lainnya  hanya bisa menahan sakit dan diam.

Pemeriksaan Dini Hari dan Awal Derita

Setelah hukuman di lapangan, Lettu Ahmad menghubungi Basi Intel untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan yang dituduhkan kepada Prada Lucky. Malam itu juga, anggota provost dan intel memeriksa Lucky di ruang intelijen. Pemeriksaan berlangsung keras hingga pukul 03.30 WITA. Ahmad sendiri tidak mengikuti seluruh proses, namun ia mengetahui bawahannya tengah “diperiksa”.

Sejak saat itu, rantai kekerasan terhadap Lucky dimulai.

Melarikan Diri, Tapi Tak Bisa Selamat

Keesokan paginya, 28 Juli 2025, Lucky mencoba kabur dari markas. Ia berpura-pura meminta izin ke toilet, lalu meloloskan diri. Namun pelariannya tidak berlangsung lama. Terdakwa dan anak buahnya segera menghubungi keluarga Lucky  termasuk pacar, ayah kandung, dan ibu angkatnya  untuk mencari tahu keberadaan sang prajurit muda itu.

Sekitar pukul 09.00 WITA, keluarga mengirimkan panggilan video yang memperlihatkan luka-luka di tubuh Lucky. Punggung dan lengannya tampak penuh bekas cambukan. Namun alih-alih mendapatkan perlindungan, Lucky malah dijemput paksa kembali ke markas Yonif 834 oleh beberapa anggota satuannya.

Pukul 11.00 WITA, ia kembali dihadapkan ke Danyon 834 Wakanga Mere dan langsung diperiksa ulang.

Dianiaya Bergantian, Disaksikan Komandannya Sendiri

Menurut dakwaan, pada 29–30 Juli 2025, Lucky kembali disiksa di Ruang Intel dan juga di pos jaga. Ia dicambuk di punggung secara bergantian oleh beberapa anggota menggunakan selang air berwarna biru. Tubuhnya membiru dan lebam, namun Lettu Ahmad Faisal hanya berdiri menyaksikan, tanpa berusaha menghentikan aksi brutal itu.

“Tidak tahu berapa kali Prada Lucky dicambuk,” kata oditur membacakan berkas perkara. Namun jelas bahwa kekerasan itu dilakukan berulang kali dan terus dibiarkan.

Hari-hari berikutnya, kondisi Lucky semakin memburuk. Tangan kirinya membengkak, tubuhnya lemas, dan ia mulai muntah-muntah disertai demam tinggi. Meski begitu, ia tetap tidak dibawa ke rumah sakit militer yang layak, melainkan hanya diperiksa seadanya dan diberi obat nyeri.

Derita yang Berakhir di RSUD Aeramo

Pada 2 Agustus 2025, kondisi Lucky semakin kritis. Ia dibawa ke Puskesmas Aesesa, lalu dirujuk ke RSUD Aeramo karena kondisinya yang pucat dan tekanan darahnya tidak stabil. Di rumah sakit, dokter mencatat luka parah di dada, punggung, pinggang, dan paha, dengan warna kehitaman akibat hantaman benda tumpul.

Lima hari setelah dirawat intensif, Prada Lucky akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.

Kematian Lucky meninggalkan luka mendalam, tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga mengguncang internal TNI di NTT. Ia menjadi simbol tragis dari kekerasan dalam pembinaan militer yang kebablasan.

Perwira Kompi Jadi Terdakwa

Lettu Infanteri Ahmad Faisal kini duduk di kursi pesakitan. Ia sudah ditahan sejak 17 Agustus 2025. Masa penahanannya sempat diperpanjang dua kali karena kasus ini menyedot perhatian besar publik dan institusi militer sendiri.

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Mayor Chk Subiyatno, dengan Kapten Chk Dennis Carol Napitupulu dan Kapten Chk Zainal Arifin Anang Yulianto sebagai anggota majelis, terdakwa tidak membantah dakwaan. Saat hakim menanyakan sikapnya, Ahmad hanya menjawab tegas, “Siap, melanjutkan.

Jawaban itu menjadi penanda bahwa proses panjang mencari keadilan bagi Prada Lucky Chepril Saputra Namo baru saja dimulai.

Kekerasan dalam “Pembinaan” Militer

Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan dalam tubuh militer yang berlindung di balik istilah “pembinaan”. Prada Lucky adalah prajurit rendahan, tak berdaya menolak perintah atasan. Namun nasibnya kini menjadi cermin gelap sistem komando yang kerap tidak mengenal batas.

Sidang berikutnya akan menentukan apakah tindakan Lettu Ahmad Faisal dan bawahannya diakui sebagai bentuk disiplin  atau sebuah kejahatan kemanusiaan di dalam barak sendiri.

(K)

#Penganiayaan #TNI #Militer