Tragedi Bulan Madu di Glamping Tak Berizin: “Lakeside” di Alahan Panjang yang Belum Seharusnya Beroperasi
Polisi memeriksa di tempat kejadian terkait pengantin baru yang tewas saat menginap di glamping di Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar), Kamis (9/10). Foto: Dok. Polsek Lembah Gumanti
D'On, Kabupaten Solok, Sumatera Barat — Bulan madu yang seharusnya menjadi momen paling indah bagi pasangan muda Gilang Kurniawan (28) dan istrinya, Cindy Desta Nanda (28), berakhir dengan tragedi memilukan. Di sebuah glamping bernama Lakeside di Nagari Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, kebahagiaan itu berubah menjadi duka mendalam. Cindy tewas, sementara sang suami kini masih terbaring lemah di rumah sakit akibat dugaan keracunan gas karbon monoksida.
Namun di balik kisah tragis itu, tersingkap fakta mengejutkan: tempat wisata glamor yang disebut “glamping maut” tersebut ternyata belum mengantongi izin resmi untuk beroperasi.
Glamping dengan Pemandangan Indah, Tapi Tanpa Izin
Dari luar, Lakeside Glamping tampak menawan deretan tenda modern di tepi danau yang memantulkan bayangan pegunungan, menjanjikan pengalaman “berkemah mewah” bagi para wisatawan. Namun di balik keindahan alam itu, tersembunyi kelengahan administratif yang berujung maut.
Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja (DPMPTSP Naker) Kabupaten Solok, Aliber Mulyadi, mengungkap bahwa Lakeside hanya terdaftar secara formal di sistem OSS (Online Single Submission) dengan memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).
Namun, izin-izin krusial lain yang menjadi dasar operasional belum dimiliki sama sekali.
“Untuk izin-izin lainnya, Lakeside tidak memiliki. Harusnya, dengan kondisi seperti ini, mereka belum bisa beroperasi,” tegas Aliber saat dikonfirmasi, Sabtu (11/10).
Izin yang dimaksud meliputi izin mendirikan bangunan (IMB), izin operasional, dan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dokumen penting yang menjamin bahwa sebuah usaha wisata memenuhi standar keselamatan dan tata ruang.
Kamar Mandi Tanpa Ventilasi, Tabung Gas di Dalam Ruangan
Tragedi ini terjadi ketika pasangan Gilang dan Cindy tengah menikmati masa bulan madu mereka. Menurut keterangan keluarga, mereka baru tiga hari menikah sebelum memutuskan untuk berlibur di glamping dengan pemandangan danau dan pegunungan itu.
Namun, keindahan yang dijanjikan berubah jadi malapetaka. Di kamar mandi tempat mereka menginap, ditemukan tabung gas elpiji 12 kilogram yang digunakan untuk water heater diletakkan di bawah, dekat kloset, tanpa ventilasi udara sama sekali.
Saat ditemukan, keduanya tak sadarkan diri di dalam kamar mandi. Cindy dinyatakan meninggal dunia setelah dilarikan ke Puskesmas terdekat. Sementara Gilang, meski selamat, masih dirawat intensif di Semen Padang Hospital (SPH).
“Diagnosanya keracunan karbon monoksida. Hasil tim medis dari RSUD Arosoka dan SPH menunjukkan hal yang sama,” ujar kakak Gilang, yang enggan disebutkan namanya, saat dihubungi kumparan pada Jumat (10/10) malam.
Gas karbon monoksida bagian dari hasil pembakaran gas elpiji dikenal sebagai “silent killer”. Tidak berbau, tidak berwarna, namun mematikan. Dalam ruang tertutup tanpa ventilasi, zat ini bisa dengan cepat menggantikan oksigen di paru-paru, membuat korban kehilangan kesadaran hanya dalam hitungan menit.
Pemerintah Daerah Masih Bungkam Soal Tindakan Lanjutan
Ketika ditanya mengenai langkah yang akan diambil terhadap pengelola glamping tak berizin itu, Aliber mengaku belum bisa memberikan keputusan.
Menurutnya, hal ini akan dibahas terlebih dahulu bersama pimpinan daerah.
“Nanti dibicarakan kepada pimpinan kepada Pak Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda. Senin pastinya,” ujarnya singkat.
Pernyataan tersebut menandakan bahwa pemerintah daerah baru akan mengambil sikap setelah tragedi ini mencuat ke publik.
Padahal, dengan fakta bahwa tempat tersebut belum memenuhi syarat legalitas dan kelayakan bangunan, seharusnya aktivitas operasional tidak pernah diizinkan sejak awal.
Duka di Balik Keindahan Pariwisata
Kasus “glamping maut” ini menjadi tamparan keras bagi dunia pariwisata di Sumatera Barat. Di tengah semangat daerah untuk mengembangkan wisata berbasis alam dan pengalaman unik, keselamatan pengunjung kerap terabaikan.
Fenomena glamping gabungan dari glamour dan camping tengah naik daun di berbagai daerah. Namun, tanpa pengawasan ketat dan standar keamanan yang jelas, potensi bahaya bisa mengintai di balik setiap tenda mewah.
Kini, keluarga Gilang dan Cindy menanggung duka yang seharusnya tak perlu terjadi. Di satu sisi, publik menuntut kejelasan: bagaimana mungkin sebuah glamping bisa beroperasi tanpa izin, tanpa pengawasan, dan tanpa keselamatan dasar bagi pengunjungnya?
Sementara itu, masyarakat menanti langkah tegas dari Pemerintah Kabupaten Solok. Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, tapi peringatan keras tentang betapa mahalnya harga kelalaian dalam urusan izin dan keselamatan publik.