Breaking News

Sorong Mendidih Dini Hari: Amarah Pemuda Papua Meledak Gara-Gara Mahkota Cenderawasih Dibakar

Aksi protes sekelompok pemuda dan remaja di Kota Sorong, Papua Barat Daya pada Jumat (24/10/2025) dini hari berakhir ricuh. (Foto: Chanry).

D'On, Sorong, Papua Barat Daya
— Suasana dini hari di Kota Sorong yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi medan ketegangan. Jumat (24/10/2025) pukul 02.00 WIT, puluhan pemuda dan remaja turun ke jalan dengan wajah dipenuhi amarah. Mereka memblokade ruas utama Jalan Ahmad Yani, menyalakan api dari tumpukan ban bekas, dan berteriak lantang menuntut keadilan atas tindakan yang mereka anggap penghinaan terhadap simbol kebanggaan tanah Papua  pembakaran mahkota burung cenderawasih oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua.

Dari Protes Jadi Bentrok

Awalnya, aksi itu hanya berupa protes spontan. Namun, situasi cepat berubah menjadi chaos. Sekitar pukul 02.30 WIT, massa mulai merusak fasilitas umum dan menutup total jalur transportasi utama Sorong. Suara teriakan, benturan batu, dan dentuman ban terbakar menggema di udara malam.

Aparat dari Polsek Sorong Kota yang dipimpin AKP Disa Javier Suwarta Putra berupaya menenangkan massa dengan imbauan damai. Namun ajakan itu justru dibalas dengan lemparan batu, botol kaca, dan potongan kayu ke arah petugas.

“Kami belum tahu penyebab pasti aksi blokade jalan tersebut. Saat ini kami masih melakukan pengecekan dan pengumpulan keterangan,” ujar AKP Disa Javier kepada awak media di lokasi kejadian.

Polisi Lepas Gas Air Mata

Melihat situasi yang semakin tak terkendali, aparat terpaksa mengambil langkah tegas. Beberapa tembakan peringatan dilepaskan ke udara, sebelum akhirnya gas air mata ditembakkan untuk memukul mundur massa.

Tak berhenti di situ, satu regu Dalmas Polresta Sorong Kota diterjunkan sebagai penguatan. Namun bukannya surut, emosi massa justru makin membara. Mereka melempari kantor Polsek Sorong Kota, merusak sejumlah kendaraan dinas, dan menyasar properti di sekitar lokasi.

“Api besar membakar ban di tengah jalan, asapnya sampai menutupi pandangan. Kami yang tinggal di sekitar sini tidak bisa keluar rumah,” ujar Yohana, warga sekitar yang menyaksikan kejadian dari balik jendela rumahnya.

Simbol Suci yang Dibakar

Dari keterangan sejumlah saksi, aksi brutal itu diduga dipicu oleh kemarahan kolektif setelah beredar kabar pembakaran mahkota burung cenderawasih oleh pihak BKSDA Papua beberapa waktu lalu.

Bagi masyarakat Papua, burung cenderawasih bukan sekadar fauna endemik  ia adalah simbol kehormatan, kebanggaan, dan identitas budaya. Mahkotanya kerap digunakan dalam upacara adat dan tarian sakral. Karena itu, pembakaran benda tersebut dianggap sebagai tindakan penghinaan terhadap martabat orang asli Papua (OAP).

Seorang pemuda yang turut dalam aksi, namun enggan disebutkan namanya, menyebut tindakan itu “melukai harga diri masyarakat Papua.”

“Cenderawasih itu simbol tanah kami. Kalau mahkotanya dibakar, sama saja membakar jati diri kami,” ujarnya dengan nada geram.

Kondisi Berangsur Kondusif

Sekitar pukul 04.30 WIT, setelah hampir dua jam ketegangan, aparat berhasil mengendalikan situasi. Api berhasil dipadamkan, massa mulai mundur, dan arus lalu lintas perlahan dibuka kembali. Namun hingga pagi, aparat gabungan dari Polresta dan Brimob masih siaga penuh di lokasi untuk mengantisipasi kemungkinan aksi lanjutan.

Belum ada laporan korban jiwa, tetapi sejumlah fasilitas rusak dan sejumlah pemuda diamankan untuk dimintai keterangan.

Pihak kepolisian hingga siang hari belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait motif pasti aksi tersebut, namun sumber internal menyebut bahwa aksi ini murni ledakan emosi masyarakat atas simbol yang dianggap dilecehkan.

Peringatan dari Warga dan Tokoh Adat

Sejumlah tokoh masyarakat Sorong mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan simbol adat dan budaya Papua.

“BKSDA seharusnya bisa lebih bijak. Mahkota itu bukan sekadar benda mati. Ia punya makna spiritual bagi masyarakat kami. Jangan seenaknya membakar hanya karena alasan konservasi,” ujar salah satu tokoh adat yang menolak namanya dipublikasikan.

Kini, meski situasi dilaporkan mulai kondusif, bara amarah belum sepenuhnya padam. Warga masih berjaga, dan sebagian menilai permintaan maaf terbuka dari pihak BKSDA menjadi langkah penting untuk menenangkan situasi.

Catatan Redaksi

Kasus ini menjadi pengingat bahwa di tanah Papua, setiap simbol adat memiliki nyawa, harga diri, dan makna yang tak ternilai. Sebuah tindakan administratif yang tampak sepele di mata birokrasi bisa menjadi pemantik amarah besar di hati rakyat.

(IN)

#Peristiwa #Kerusuhan #Papua