Breaking News

Sertifikat Komunal: Jalan Baru Kepastian Hukum Tanah Adat, tapi Benarkah Harus Dimanfaatkan agar Tetap Bernilai?

Ilustrasi sertifikat tanah. (Istimewa/Istimewa)

D'On, Jakarta
— Setelah bertahun-tahun masyarakat adat berjuang mempertahankan wilayah ulayat dari ancaman penguasaan pihak luar, kini pemerintah membuka babak baru: penerbitan sertifikat hak komunal. Sertifikat ini digadang-gadang menjadi jawaban atas kebutuhan kepastian hukum atas tanah adat, yang selama ini lebih banyak diatur berdasarkan norma adat tanpa perlindungan kuat dari negara.

Namun, di balik kabar baik tersebut, muncul wacana baru yang menimbulkan pertanyaan: apakah penerima sertifikat komunal wajib memanfaatkan tanahnya agar hak itu tidak kehilangan nilai?
Wacana ini memunculkan perdebatan antara semangat pelestarian tanah adat dan kekhawatiran akan intervensi baru terhadap otonomi masyarakat adat.

Sertifikat Komunal: Pengakuan Hukum atas Wilayah Adat

Sertifikat komunal, atau sering disebut sertifikat tanah adat kolektif, adalah bentuk pengakuan hukum negara terhadap tanah yang dikuasai bersama oleh masyarakat adat.
Tidak seperti sertifikat hak milik pribadi, sertifikat ini tidak memberikan hak perorangan, melainkan menegaskan hak kolektif bahwa tanah tersebut dimiliki, dikelola, dan dimanfaatkan bersama berdasarkan kesepakatan dan hukum adat yang berlaku di wilayah itu.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membuka jalur khusus bagi masyarakat adat untuk mengajukan sertifikat komunal. Prosesnya melibatkan pengakuan wilayah adat, bukti penguasaan turun-temurun, serta dukungan administrasi dari pemerintah daerah.

“Ini bukan sekadar legalitas, tetapi pengakuan negara atas eksistensi masyarakat adat dan wilayah ulayat mereka,” ujar salah satu pejabat ATR/BPN dalam sebuah diskusi publik tentang reforma agraria.

Wacana Kewajiban Pemanfaatan: Antara Dorongan Produktivitas dan Kekhawatiran Baru

Seiring dengan meningkatnya jumlah wilayah adat yang disertifikasi, muncul wacana bahwa penerima sertifikat komunal harus memanfaatkan tanahnya secara aktif.
Alasannya, pemerintah ingin memastikan agar tanah yang sudah disertifikasi tidak ditelantarkan, tidak diserobot kembali, dan tetap memiliki nilai sosial, ekonomi, serta budaya.

Pemanfaatan yang dimaksud bisa berupa kegiatan pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat secara lestari, ruang publik adat, hingga pemukiman atau kegiatan kolektif komunitas.

Namun hingga kini, tidak ada satu pun regulasi nasional—baik dalam Peraturan Menteri ATR/BPN maupun undang-undang agraria yang secara tegas mewajibkan penerima sertifikat komunal untuk mengelola tanahnya dalam jangka waktu tertentu.

Klausul tentang pemanfaatan biasanya diatur melalui kesepakatan adat lokal, bukan melalui aturan seragam dari pemerintah pusat.

Artinya, kewajiban pemanfaatan bersifat moral dan sosial, bukan yuridis. Namun, wacana ini tetap menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian masyarakat adat yang menganggapnya sebagai bentuk tekanan halus terhadap cara hidup mereka yang tidak selalu berbasis produktivitas ekonomi.

Manfaat dan Risiko dari Kewajiban Pemanfaatan Tanah Komunal

Manfaat yang Diharapkan

  1. Mencegah penelantaran tanah adat
    Dengan adanya dorongan pemanfaatan, masyarakat adat akan terus menggunakan dan menjaga wilayahnya agar tidak dianggap kosong atau tidak produktif.

  2. Menjaga fungsi sosial dan ekonomi komunitas
    Tanah adat dapat berfungsi sebagai sumber penghidupan—baik melalui hutan adat, lahan pertanian, maupun kegiatan ekonomi lokal berbasis kearifan tradisional.

  3. Memperkuat posisi hukum masyarakat adat
    Aktivitas nyata di lahan adat menjadi bukti penguasaan yang sah, memperkuat posisi hukum mereka bila sewaktu-waktu terjadi sengketa.

Risiko dan Tantangan yang Muncul

  1. Beban administratif dan keterbatasan modal
    Tidak semua komunitas adat memiliki sumber daya, akses teknologi, atau kemampuan modal untuk memanfaatkan tanah secara produktif.
    Dalam konteks ini, kewajiban pemanfaatan bisa menjadi beban tambahan yang justru menyulitkan.

  2. Potensi konflik internal
    Jika pemanfaatan tanah diatur terlalu kaku, bisa timbul perbedaan pendapat antaranggota mengenai cara pengelolaan, pembagian hasil, atau tanggung jawab modal.

  3. Penafsiran berlebihan oleh pihak luar
    Wacana ini bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menekan masyarakat adat agar menyerahkan atau menjual tanah mereka dengan dalih “tidak dimanfaatkan”.

  4. Kondisi geografis dan ekologis yang tidak mendukung
    Banyak wilayah adat berada di kawasan konservasi, lereng curam, atau hutan lindung. Pemaksaan pemanfaatan tanah di lokasi semacam ini justru berisiko merusak ekosistem adat dan mengabaikan nilai spiritual yang melekat pada tanah tersebut.

Sikap dan Langkah Masyarakat Adat

Berbagai organisasi masyarakat adat menegaskan bahwa aturan tentang pemanfaatan tanah seharusnya ditentukan oleh komunitas itu sendiri, bukan dipaksakan dari luar.

Beberapa solusi yang diusulkan antara lain:

  • Musyawarah adat sebagai dasar keputusan.
    Kewajiban pemanfaatan sebaiknya disepakati melalui mekanisme adat, dengan mempertimbangkan kondisi lahan, kebutuhan masyarakat, dan nilai budaya setempat.

  • Pendampingan dari pemerintah dan lembaga pendukung.
    Jika memang diharapkan ada pemanfaatan, maka perlu pendampingan teknis, pelatihan pertanian adaptif, dan bantuan modal agar tidak menjadi beban semata.

  • Fleksibilitas kebijakan.
    Tidak semua tanah adat harus “produktif” secara ekonomi. Ada yang berfungsi sebagai hutan larangan, kawasan suci, atau ruang sosial budaya. Nilai-nilai itu juga bentuk pemanfaatan, meski tidak dalam arti komersial.

  • Transparansi dan pengawasan kolektif.
    Agar tidak disalahgunakan, setiap kebijakan terkait pemanfaatan tanah adat perlu diawasi oleh lembaga adat bersama pemerintah secara terbuka.

Menjaga Tanah Adat, Menjaga Kehidupan Bersama

Sertifikat komunal merupakan langkah maju dalam upaya memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat atas wilayah mereka.
Namun, ketika muncul wacana kewajiban pemanfaatan, perlu kehati-hatian agar semangat hukum tidak justru menggerus kearifan lokal yang telah menjaga keseimbangan alam dan sosial selama berabad-abad.

Hingga kini, tidak ada kewajiban hukum nasional yang memaksa masyarakat adat memanfaatkan tanah komunalnya.
Yang ada hanyalah semangat agar tanah tidak terlantar, yang seharusnya diatur secara adatiah, partisipatif, dan kontekstual.

Jika pemerintah ingin mendorong pemanfaatan tanah adat, langkah itu harus disertai dukungan nyata bukan sekadar wacana: bantuan modal, pelatihan, teknologi adaptif, dan perlindungan hukum yang kuat.

Dengan cara itu, sertifikat komunal tidak hanya menjadi selembar dokumen hukum, tetapi juga simbol hidup dari keadilan agraria dan kedaulatan masyarakat adat atas tanah leluhurnya.

(Mond)

#TanahAdat #Nasional #SertifikatKomunal