14 Anak Jadi Korban Salah Tangkap Usai Demo di Magelang: Dari Kekerasan, Paksaan, hingga Ancaman Diam
Suasana jumpa pers kasus salah tangkap di kantor LBH Yogyakarta, DIY pada Kamis, (9/10/2025).
D'On, Magelang - Suasana demonstrasi di Kota Magelang pada Jumat, 29 Agustus lalu, menyisakan luka mendalam bagi para keluarga. Bukan hanya karena aksi itu berakhir ricuh, tetapi karena di baliknya muncul dugaan pelanggaran serius oleh aparat penegak hukum: 14 anak di bawah umur diduga menjadi korban salah tangkap dan kekerasan oleh polisi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta kini turun tangan mendampingi mereka. Di balik dinding dingin kantor polisi, para remaja itu bercerita tentang penyiksaan, ancaman, dan ketakutan yang belum hilang hingga kini.
Dari 53 yang Ditangkap, Separuhnya Anak di Bawah Umur
Tim Advokasi LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya, mengungkapkan bahwa Polresta Magelang melakukan penangkapan besar-besaran usai demonstrasi akhir Agustus lalu.
“Total ada 53 orang yang ditangkap, dan 26 di antaranya adalah anak-anak di bawah umur,” ujar Royan dalam konferensi pers di kantor LBH Yogyakarta, Kamis (9/10/2025).
Dari jumlah itu, 14 anak berhasil ditemui dan didampingi oleh LBH Yogyakarta. Mereka adalah: DRP (16), MNM (17), IPO (15), SPR (16), MDP (17), AAP (17), AP (15), DLP (16), NH (15), KEA (14), GAD (17), QAJ (14), HRR (15), dan MFA (17).
Sebagian dari mereka kini masih mengalami trauma. Dari 14 anak tersebut, tujuh memutuskan untuk melanjutkan kasus ini ke jalur hukum.
“Ketika kami temui, beberapa anak masih ketakutan bahkan hanya mendengar suara motor polisi,” tutur Royan lirih. “Tapi mereka juga marah. Karena merasa diperlakukan seperti pelaku kriminal padahal mereka bahkan tidak ikut demo.”
Penangkapan Acak di Alun-Alun Magelang
Royan menjelaskan bahwa sebagian besar penangkapan terjadi di sekitar Alun-Alun Magelang, tempat massa aksi sebelumnya berkumpul.
Menurutnya, polisi bertindak tanpa dasar yang jelas, hanya karena melihat seseorang berada di lokasi yang dianggap “dekat” dengan kerusuhan.
“Polisi menangkap siapa pun yang ada di sekitar lokasi tanpa mampu membuktikan bahwa mereka pelaku,” ujarnya. “Tidak ada verifikasi, tidak ada prosedur yang benar. Mereka diseret begitu saja.”
LBH Yogyakarta menemukan pola serupa dari berbagai kesaksian korban. Anak-anak itu ditangkap ketika sedang beraktivitas biasa—ada yang hanya lewat, ada yang bekerja, dan ada pula yang bahkan tidak tahu ada aksi berlangsung.
Kekerasan dan Penyiksaan: Dari Pukulan, Injak Kepala, hingga Paksaan Mengunyah Kencur
Lebih dari sekadar salah tangkap, LBH Yogyakarta menuding telah terjadi kekerasan sistematis terhadap para anak ini.
Beberapa dari mereka mengalami luka fisik dan trauma psikologis akibat perlakuan brutal aparat.
“Mereka ditampar, ditendang, kepala diinjak dengan sepatu lars,” kata Royan.
“Ada yang diseret dengan leher dipiting, ada pula yang dipaksa push-up sampai puluhan kali. Bahkan ada anak yang dipaksa mengunyah kencur secara bergantian entah apa maksudnya, mungkin bentuk penghinaan atau hukuman.”
Tidak berhenti di situ, LBH juga mengungkap bahwa polisi menyebarkan data pribadi para anak itu ke publik, menuding mereka sebagai pelaku kerusuhan. Padahal, sebagian besar belum pernah diperiksa secara layak.
“Bayangkan, anak SMP dan SMA fotonya tersebar dengan label ‘perusuh’. Itu bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga pembunuhan karakter,” tegas Royan.
Ancaman untuk Diam
Sebelum dibebaskan, para anak itu disebut diancam agar tidak menceritakan apa pun yang terjadi selama ditahan.
“Ada yang diminta tanda tangan surat tanpa tahu isinya. Ada yang dibilang, ‘kalau ngomong ke siapa-siapa, nanti kamu dijemput lagi’,” ungkap Royan.
LBH Yogyakarta menilai tindakan ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi sudah masuk ke ranah tindak pidana kekerasan terhadap anak dan penyalahgunaan wewenang aparat.
Mereka berencana melaporkan kasus ini ke Polda Jawa Tengah pada 15 Oktober 2025.
“Untuk korban DRP, laporan sudah kami buat sejak 16 September. Yang lain akan menyusul. Setiap kasus kami pisahkan karena kronologinya berbeda,” jelasnya.
Jerit Ibu: ‘Kepalanya Diinjak, Hidungnya Berdarah’
Cerita memilukan datang dari para orang tua. Salah satunya Mala, ibu dari salah satu korban, tak kuasa menahan tangis ketika mengingat malam anaknya ditangkap.
“Anak saya cuma keluar sebentar, mau antar temannya beli rokok karena warung dekat rumah sudah tutup,” kisahnya.
“Pas lewat arah Polres, dia ditangkap beberapa orang. Dipukul, diseret. Dua temannya sempat kabur, tapi anak saya nggak bisa.”
Mala menuturkan, anaknya kemudian dibawa ke kantor polisi dan dipaksa push-up sebanyak 50 kali.
“Kepalanya diinjak pakai sepatu polisi. Hidungnya ditonjok sampai keluar darah. Pelipisnya lebam. Saya cuma ingin nama anak saya dibersihkan. Data dia sudah tersebar di media sosial polisi,” ucapnya pilu.
Cerita serupa disampaikan Sumiyati, ibu dari remaja lain yang ikut ditangkap.
“Malam itu anak saya lagi jaga angkringan. Mau tutup, tiba-tiba dibawa polisi. Katanya ikut demo, padahal cuma kerja. Saya minta tolong nama anak saya dibersihkan,” ujarnya.
Polisi Membantah: “Bukan Salah Tangkap, Kami Hanya Mengamankan”
Kapolresta Magelang, AKBP Anita Indah Setyaningrum, membantah tudingan adanya salah tangkap maupun kekerasan.
“Jadi bukan salah tangkap ya, kami hanya mengamankan,” katanya melalui pesan WhatsApp, Kamis (9/10/2025).
Ia mengakui bahwa polisi memang mengamankan sejumlah remaja yang berada di sekitar lokasi kejadian, baik yang ikut aksi maupun tidak.
“Beberapa di antaranya memang remaja. Tapi tidak ada kekerasan. Kami perlakukan mereka dengan baik, bahkan diberi makan,” ujarnya.
Namun, ketika ditanya soal laporan LBH Yogyakarta, Anita menyatakan pihaknya siap menghadapi proses hukum.
“Kalau memang ada yang melapor, itu hak mereka. Kami siap menghadapi dan membuktikan di jalur hukum,” pungkasnya.
Bayangan Trauma dan Pertaruhan Keadilan
Bagi para orang tua, kasus ini bukan hanya soal kekerasan. Ini tentang nama baik, masa depan, dan kepercayaan terhadap hukum.
Mala, Sumiyati, dan para orang tua lainnya kini menggantungkan harapan pada LBH Yogyakarta. Mereka ingin satu hal: keadilan untuk anak-anak mereka.
Bagi Royan dan timnya, kasus ini bukan hanya perkara hukum, tetapi ujian moral bagi negara.
“Kalau anak-anak bisa ditangkap, dipukul, lalu dituduh seenaknya tanpa bukti apa bedanya hukum kita dengan kekuasaan tanpa kendali?” katanya tegas.
Kasus ini bukan sekadar tentang 14 anak di Magelang. Ini cermin rapuhnya sistem yang seharusnya melindungi, bukan menyakiti.
LBH Yogyakarta akan melanjutkan perjuangan mereka. Tapi satu hal pasti luka dan ketakutan itu akan sulit sembuh bagi mereka yang menjadi korban dari aparat yang seharusnya menjadi pelindung rakyat.
(T)
#Peristiwa #SalahTangkap #Polri