Breaking News

Hamas Nyatakan Perang Gaza Resmi Berakhir: Babak Baru Perdamaian Dimulai di Tengah Bayang Luka dan Ketidakpastian

Pejabat tinggi Hamas Khalil al Hayya (foto: AP News)

D'On, Gaza
- Setelah lebih dari dua tahun pertumpahan darah, penderitaan, dan kehancuran tanpa henti, sebuah pernyataan mengejutkan datang dari jantung konflik Timur Tengah.

Seorang pejabat tinggi Hamas, Khalil al-Hayya, mengumumkan secara resmi bahwa perang di Gaza telah berakhir. Pengumuman ini, yang disampaikan pada Jumat (10/10/2025), menandai momen paling menentukan sejak pecahnya perang pada Oktober 2023 perang yang telah mengubah wajah Jalur Gaza menjadi reruntuhan dan meninggalkan luka mendalam di hati rakyat Palestina.

Janji Perdamaian dari Sharm el-Sheikh

Menurut al-Hayya, keputusan bersejarah itu muncul setelah adanya jaminan kuat dari Amerika Serikat dan para mediator internasional, termasuk Mesir dan Qatar, bahwa permusuhan tidak akan dilanjutkan.
Pernyataan itu disampaikan setelah berakhirnya serangkaian pembicaraan intensif di Sharm el-Sheikh, Mesir, yang menghasilkan kesepakatan berisi langkah-langkah konkret menuju penghentian perang dan pembukaan jalur kemanusiaan bagi penduduk Gaza.

Dalam pernyataannya, al-Hayya menegaskan bahwa Hamas menerima rencana perdamaian yang diajukan Presiden AS Donald Trump, dan menyebutnya sebagai “awal dari gencatan senjata permanen” antara Israel dan Hamas.

“Semua pihak telah mengonfirmasi bahwa perang sepenuhnya berakhir,” ujar al-Hayya, dikutip dari RT News. “Kami akan bekerja sama dengan seluruh kekuatan nasional dan kelompok Islam di Palestina untuk melaksanakan langkah-langkah lanjutan demi mewujudkan perdamaian yang berkeadilan.”

Isi Kesepakatan Perdamaian: Dari Rafah hingga Pertukaran Tahanan

Dalam kesepakatan yang dicapai, beberapa poin utama menjadi tonggak penting:

  1. Pembukaan kembali perbatasan Rafah – jalur utama yang menghubungkan Gaza dengan Mesir, yang selama dua tahun terakhir ditutup rapat, memutus akses bantuan dan pergerakan warga.
  2. Penyaluran bantuan kemanusiaan – ribuan ton bahan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar akan segera memasuki Gaza di bawah pengawasan internasional.
  3. Pertukaran tahanan – Israel dan Hamas sepakat melakukan pertukaran besar-besaran, yang disebut sebagai “langkah kemanusiaan terbesar sejak 2011”.

Menurut al-Hayya, Hamas akan membebaskan seluruh sandera yang masih hidup dalam waktu 72 jam, sementara Israel akan membebaskan sekitar 1.950 tahanan Palestina, termasuk 250 terpidana seumur hidup serta seluruh perempuan dan anak-anak yang ditahan sejak 2023.

Namun, kesepakatan ini mengandung mekanisme ketat. Berdasarkan laporan Channel 12 Israel, pembebasan tahanan Palestina baru akan dilakukan setelah Hamas menuntaskan pembebasan seluruh sandera Israel. Saat ini, masih ada sekitar 48 sandera yang ditahan di Gaza, dengan perkiraan 20 di antaranya masih hidup.

Israel Masih Berhitung: Ben-Gvir Ancam Mundur

Sementara di pihak Israel, suasana politik masih bergejolak. Kabinet Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hingga kini belum sepenuhnya meratifikasi kesepakatan tersebut.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, dengan tegas menolak rencana perdamaian itu. Ia menilai, jika Hamas tetap diizinkan memegang kendali atas Gaza, hal itu adalah “penghinaan terhadap pengorbanan rakyat Israel”.

“Pertukaran tahanan dengan Hamas adalah harga yang tak tertahankan,” ujarnya. Ia bahkan mengancam akan menarik partainya keluar dari pemerintahan bila kesepakatan ini disahkan.

Meski begitu, sumber-sumber di Tel Aviv mengonfirmasi bahwa pasukan Israel akan ditarik mundur ke garis demarkasi baru dalam 24 jam setelah ratifikasi. Dalam skema itu, Israel akan tetap menguasai sekitar 53 persen wilayah Gaza, termasuk zona keamanan dan beberapa area strategis di utara.

Luka yang Belum Sembuh

Perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023 telah meninggalkan luka yang nyaris tak terukur. Serangan mendadak militan Hamas ke wilayah Israel ketika itu menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 warga sipil.
Balasan Israel datang dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut data otoritas Gaza. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal, rumah sakit hancur, dan infrastruktur kota luluh lantak.

Kini, ketika kata “perdamaian” kembali diucapkan di meja diplomasi, banyak yang menyambutnya dengan harapan bercampur skeptisisme. Gaza, yang kini hampir tak lagi memiliki listrik, air bersih, dan sistem kesehatan yang berfungsi, menghadapi tantangan besar untuk bangkit.

Harapan Baru di Tengah Puing

Meski keraguan masih menyelimuti, pengumuman ini membawa secercah harapan bagi 2,2 juta penduduk Gaza yang telah hidup di bawah blokade dan serangan udara selama dua tahun terakhir.
Di jalanan Gaza City, sejumlah warga dilaporkan turun ke jalan dengan membawa bendera Palestina dan meneriakkan takbir, sementara sebagian lainnya masih menunggu bukti nyata di lapangan: penarikan pasukan, masuknya bantuan, dan kebebasan dari rasa takut.

“Kami telah kehilangan segalanya—rumah, keluarga, masa depan. Tapi jika ini benar-benar akhir perang, maka kami siap memulai lagi dari awal,” ujar seorang warga Gaza bernama Hanan al-Masri, seperti dikutip Al Jazeera Arabic.

Apakah ini benar-benar akhir dari perang terpanjang dan paling mematikan dalam sejarah konflik Israel–Palestina, atau hanya jeda sebelum badai baru datang itu masih menjadi pertanyaan besar.
Namun untuk saat ini, satu hal pasti: dunia menahan napas, menyaksikan apakah perdamaian yang dijanjikan di Sharm el-Sheikh akan bertahan lebih lama daripada gencatan-gencatan senjata yang gagal sebelumnya.

(*)

#Hamas #Internasional