Praperadilan Nadiem Makarim Ditolak, Status Tetap Menjadi Tersangka Kasus Korupsi Chromebook

Permohonan Praperadilan Nadiem Makarim Ditolak Status Tetap Menjadi Tersangka Korupsi Chromebook (Dok: Ist)
D'On, Jakarta - Di ruang sidang sempit Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, udara terasa berat. Kamera televisi berderet di belakang, lensa menatap tajam ke arah satu sosok di kursi pengunjung: Nadiem Anwar Makarim, mantan Mendikbudristek, penggerak digitalisasi pendidikan yang kini duduk di sisi yang berbeda sisi tertuduh.
Senin (13/10/2025) pukul 10.45 WIB, hakim tunggal I Ketut Darpawan mengetukkan palu. Suaranya datar tapi menggema di seluruh ruang.
“Menolak permohonan praperadilan pemohon.”
Kalimat pendek itu menghantam keras.
Artinya jelas: status tersangka Nadiem Makarim sah secara hukum.
Publik yang dulu mengenal Nadiem sebagai menteri muda inovatif, kini menyaksikannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek laptop Chromebook program yang pernah digadang sebagai tonggak era baru digitalisasi sekolah di Indonesia.
Sebuah Proyek Ambisius yang Menjadi Jerat
Di atas kertas, proyek Chromebook adalah mimpi besar: menyediakan perangkat digital untuk jutaan siswa di seluruh Indonesia, menjembatani kesenjangan teknologi antara kota dan desa.
Tapi di balik visi mulia itu, ada aroma masalah yang lama tercium.
Laporan internal menyebut adanya markup harga, spesifikasi yang tidak sesuai, hingga distribusi perangkat yang tak pernah sampai ke sekolah penerima.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mencium kejanggalan sejak 2023, dan penyelidikan panjang akhirnya menyeret nama Nadiem ke pusaran.
4 September 2025, surat perintah penyidikan dan penetapan tersangka diterbitkan di hari yang sama.
Bagi kubu Nadiem, ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip due process of law.
“Bagaimana seseorang bisa jadi tersangka tanpa diperiksa lebih dulu? Ini cacat hukum,” tegas Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum Nadiem, di awal sidang praperadilan (3/10/2025).
Tim Hotman juga menunjukkan hasil audit BPKP tahun 2020–2022 yang menyebut tidak ada indikasi kerugian negara terkait proyek tersebut.
Namun, Kejagung punya pandangan lain.
Kejagung Melawan: 90 Bukti, Satu Ahli, dan Keyakinan Kuat
Dalam sidang praperadilan yang digelar beberapa hari kemudian, Kejagung datang dengan 90 bukti surat dan satu saksi ahli hukum pidana: Suparji Ahmad dari Universitas Al-Azhar Indonesia.
Suparji menegaskan sesuatu yang menjadi kunci:
“Penetapan tersangka tidak harus menunggu laporan resmi kerugian negara dari BPKP. Selama sudah ada dokumen yang menunjukkan adanya potensi atau indikasi kerugian, unsur pidananya sudah terpenuhi.”
Keterangan itu seperti pagar hukum bagi Kejagung memperkuat legitimasi langkah mereka.
Menurut sumber internal yang diungkap di persidangan, dokumen-dokumen itu mencakup kontrak pengadaan, laporan distribusi, notula rapat panitia lelang, hingga hasil penyelidikan internal Kemendikbudristek.
Hakim menilai, prosedur penetapan tersangka sudah sesuai dengan hukum acara pidana.
Dan pada akhirnya, hakim Ketut Darpawan menolak seluruh dalil pembelaan Nadiem.
Antara Citra dan Fakta
Nadiem, 41 tahun, bukan sosok biasa. Sebelum menjadi menteri, ia dikenal sebagai pendiri Gojek simbol sukses generasi muda Indonesia di era digital.
Sebagai menteri, ia mengusung jargon “Merdeka Belajar”, yang sempat mengubah wajah pendidikan nasional.
Kini, citra itu terkoyak.
Dalam catatan publik, Nadiem adalah menteri pertama dari Kabinet Indonesia Maju yang menjadi tersangka kasus korupsi.
Sebuah ironi yang menggigit program yang ia sebut sebagai “investasi masa depan anak bangsa” justru menyeretnya ke pusaran hukum masa kini.
Pertarungan di Balik Panggung
Di luar ruang sidang, bisik-bisik politik pun mulai bergaung.
Beberapa pengamat menilai kasus ini bukan sekadar soal korupsi, melainkan juga pertarungan kekuasaan pasca-reshuffle kabinet 2025.
“Digitalisasi pendidikan menyangkut anggaran besar dan pengaruh yang luas. Siapa pun yang terlibat di dalamnya punya kepentingan politik,” ujar seorang pengamat hukum yang enggan disebut namanya.
Namun, Kejagung bersikukuh bahwa penegakan hukum berjalan murni berdasarkan fakta.
“Tidak ada kepentingan politik. Kami bekerja atas dasar bukti, bukan opini,” tegas juru bicara Kejagung dalam konferensi pers singkat usai putusan.
Langkah Selanjutnya: Dari Ruang Sidang ke Pengadilan Tipikor
Dengan ditolaknya praperadilan, status tersangka Nadiem kini berkekuatan hukum tetap.
Kejagung disebut tengah menyiapkan pelimpahan berkas ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Bagi publik, ini bukan sekadar soal hukum ini juga tentang jatuhnya simbol reformasi digital di tubuh birokrasi pendidikan.
Apakah Nadiem akan mampu membuktikan dirinya tidak bersalah? Ataukah sejarah akan mencatatnya sebagai tokoh yang tersandung oleh sistem yang dulu ia bangun sendiri?
Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti: babak baru kasus Chromebook baru saja dimulai.
Kasus ini menjadi ujian besar bagi integritas penegakan hukum di Indonesia. Jika prosesnya transparan, kasus Nadiem bisa menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola proyek digital pemerintah.
Namun jika tidak, publik akan kembali disuguhi drama klasik: korupsi yang berputar di antara meja sidang dan ruang kekuasaan.
(Mond)
#Hukum #Praperadilan #NadiemMakarim #Korupsi #KorupsiChromebook