Benarkah Dunia Semakin Menjauh dari Ajaran Islam?
Dirgantaraonline - Dalam hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat, manusia kini hidup di tengah arus perubahan sosial dan budaya yang luar biasa dahsyat. Di era globalisasi dan digitalisasi, nilai-nilai yang dahulu dianggap sakral dan luhur kini mulai memudar, tergantikan oleh semangat kebebasan tanpa batas, budaya konsumtif, dan obsesi terhadap popularitas duniawi.
Umat Islam pun tak luput dari pusaran besar ini. Gaya hidup modern yang menonjolkan individualisme, materialisme, serta kesenangan sesaat sering kali berbenturan dengan ajaran Islam yang menuntut ketundukan kepada Allah, kesederhanaan dalam hidup, dan keikhlasan dalam beramal.
Pertanyaannya kemudian: Benarkah dunia hari ini semakin menjauh dari ajaran Islam?
Jejak Modernitas yang Mengikis Spirit Islam
Jika kita mau menatap realitas dengan jujur, banyak tanda-tanda yang menunjukkan kemerosotan nilai-nilai Islam dalam kehidupan umat manusia. Media sosial, misalnya, yang sejatinya bisa menjadi sarana dakwah, justru sering berubah menjadi panggung riya’ dan ajang mencari pengakuan.
Banyak orang kini lebih sibuk mengejar “like” dan “followers” daripada mengejar ridha Allah. Fenomena pamer harta, membuka aurat, serta menjadikan hiburan tanpa batas sebagai gaya hidup telah menjadi hal yang lumrah bahkan sering kali dibanggakan.
Padahal Rasulullah ﷺ telah memperingatkan dalam sebuah hadits:
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi aku khawatir dunia akan dibukakan untuk kalian sebagaimana ia dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba seperti mereka, dan dunia membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah juga pernah menasihati dengan kalimat yang sangat menyentuh:
“Jika kamu melihat seseorang bersandar pada dunia, maka ketahuilah bahwa kekuatan agamanya sedang melemah.”
Kata-kata itu seolah menggambarkan kondisi umat Islam saat ini — banyak yang kehilangan jati dirinya, larut dalam gaya hidup sekuler ala Barat, dan tanpa sadar menjauh dari nilai-nilai Islam yang sebenarnya.
Modernitas Tak Selalu Bertentangan, Tapi Perlu Disaring
Islam bukan agama yang menolak kemajuan. Sejarah mencatat, pada masa keemasan Islam, peradaban Muslim justru menjadi pelopor sains, teknologi, dan filsafat yang mencerahkan dunia.
Islam mendorong umatnya untuk berinovasi, bekerja keras, dan memanfaatkan dunia untuk kemaslahatan umat. Namun, Islam juga mengingatkan agar kemajuan itu tetap berada di bawah kendali nilai-nilai tauhid dan akhlak.
Masalah muncul ketika modernitas membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan syariat: individualisme ekstrem, hedonisme, kebebasan tanpa batas, dan kerusakan moral.
Contohnya jelas terlihat dalam sistem ekonomi kapitalistik modern, di mana riba menjadi tulang punggung sistem keuangan global. Padahal Allah dengan tegas mengharamkannya dalam Al-Qur’an:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 278)
Begitu pula dalam kehidupan keluarga, nilai-nilai Islam seperti peran ayah sebagai pemimpin, pentingnya hijab, atau konsep kesucian pernikahan, kini sering dipertanyakan bahkan dilecehkan oleh ideologi modern yang menjunjung relativisme moral.
Tantangan Umat Islam: Bukan Hanya dari Luar, Tapi dari Dalam
Tantangan terbesar umat Islam hari ini bukan hanya datang dari sistem atau ideologi luar, tetapi juga dari kelemahan internal. Banyak Muslim yang merasa cukup hanya dengan identitas memakai nama Islam, namun jauh dari ruh Islam itu sendiri.
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata:
“Iman itu bukan dengan angan-angan atau sekadar hiasan, tetapi iman adalah apa yang menetap dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.”
Kita mungkin masih salat, berpuasa, dan berhaji, namun dalam keseharian, banyak yang kehilangan rasa takut kepada Allah dan rasa malu kepada dosa. Dunia telah menjadi pusat perhatian, sementara akhirat hanya menjadi renungan sesekali.
Harapan dan Jalan Kembali: Menjadikan Islam Sebagai Kompas Hidup
Walau dunia terus berubah, ajaran Islam tak akan pernah usang. Islam adalah petunjuk bagi seluruh zaman fleksibel dalam aplikasi, tapi kokoh dalam prinsip.
Kita tidak perlu menolak modernitas, tetapi menilai modernitas dengan kaca mata Islam, bukan sebaliknya.
Kemajuan teknologi harus diarahkan untuk memperkuat dakwah, bukan melahirkan generasi yang lalai. Pendidikan harus membentuk insan yang berilmu sekaligus bertaqwa.
Inilah saatnya umat Islam bangkit, membangun kembali kebangkitan spiritual dan intelektual melahirkan generasi Muslim yang:
- cerdas secara sains dan teknologi,
- kokoh dalam akidah,
- bersih dalam akhlak,
- dan istiqamah dalam ibadah.
Allah ﷻ berfirman:
﴿وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا﴾
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melewati batas.”
(QS. Al-Kahfi: 28)
Kembalilah Sebelum Terlambat
Mungkin benar dunia semakin menjauh dari ajaran Islam. Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah:
Apakah kita ikut menjauh bersama dunia itu, atau berjuang untuk tetap dekat dengan Allah?
Islam bukan sekadar identitas, melainkan jalan hidup. Jika dunia berjalan ke arah yang salah, maka tugas kita bukan mengikuti arus, tetapi menjadi arus kebenaran yang menuntun kembali manusia kepada cahaya iman.
“Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sungguh ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
(QS. Ali Imran: 101)
(***)
#Islami #Religi
