Breaking News

AsSDM Kapolri Bongkar Masalah Internal Polri: Dari Radikalisme, Intoleransi, hingga Fenomena LGBT di Tubuh Kepolisian

Ilustrasi Polri. Foto: Herwin Bahar/Shutterstock

D'On, Jakarta
— Di balik barikade seragam cokelat dan barisan disiplin yang sering terlihat tegak di lapangan, Polri ternyata tengah menghadapi persoalan serius yang mengguncang sendi-sendi internalnya. Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (AsSDM), Irjen Pol Anwar, dengan blak-blakan mengakui adanya tiga penyakit laten yang kini merasuki tubuh kepolisian: intoleransi, radikalisme, dan LGBT.

Pernyataan mengejutkan itu disampaikan Anwar dalam seminar bertajuk “Rekonstruksi Jati Diri Bangsa Merajut Nusantara untuk Mewujudkan Polri Sadar Berkarakter” yang digelar pada Rabu (15/10). Tidak seperti biasanya, perwira tinggi bintang dua itu berbicara tanpa tedeng aling-aling bahkan menyinggung kondisi internal Polri secara terbuka di depan publik.

“Apakah ada masalah di Polri? Ada. Jadi saya harus jujur mengatakan, berkaitan dengan SSDM Polri, masalah apa yang kita hadapi? Satu, masalah intoleransi, masalah radikal. Apakah Polri sudah terpapar? Iya. Kita harus akui,” ujar Anwar, sebagaimana terlihat dalam tayangan YouTube Divisi Humas Polri, Senin (27/10/2025).

Radikalisme di Tubuh Polisi: Dari Polwan Terpapar hingga Kelompok “Polisi Cinta Sunnah”

Anwar kemudian menyingkap salah satu kasus yang sempat mengguncang internal Polri beberapa tahun silam: seorang polisi wanita di Maluku Utara yang terpapar paham radikal. Tanpa perlu pertemuan langsung atau ceramah fisik, media sosial menjadi pintu masuk ideologi ekstrem ke dalam benak sang anggota.

“Hanya lewat media sosial, dia dihasut, lalu keluar dari Polri dan bergabung dengan kelompok radikal,” ujar Anwar.

Kisah itu, kata dia, hanyalah puncak gunung es. Ia juga menyinggung fenomena Polisi Cinta Sunnah (PCS) sebuah kelompok di internal kepolisian yang awalnya menampilkan diri sebagai wadah dakwah dan pembinaan spiritual, namun belakangan diketahui menjadi saluran penyebaran paham Wahabi.

“Doktrinnya adalah melaksanakan Sunnah Nabi Muhammad SAW, tapi dipelencengkan. Karena untuk masuk ke kegiatan itu, harus menunjukkan yang benar, tapi ujungnya adalah Wahabi. Wahabi itu apa? Teroris. Dan itu ada di kepolisian,” tegas Anwar.

Pernyataan itu seolah menjadi alarm keras: Polri, lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan melawan radikalisme, justru tak luput dari infiltrasi paham ekstrem yang mereka lawan sendiri.

Perang Melawan Ideologi: Polri Gunakan Medsos untuk “Cuci Otak” Anggota

Menghadapi ancaman laten itu, Anwar menegaskan bahwa Polri kini mulai melakukan perlawanan ideologis melalui jalur digital. Jika media sosial bisa menjadi senjata bagi kelompok radikal, maka Polri pun bertekad menjadikan media yang sama sebagai sarana “pencucian otak” ke arah yang benar.

“Mereka bisa mencuci otak dengan medsos, maka kita juga gunakan medsos untuk mencuci otak anggota kita yang benar. Untuk mengimbangi,” jelasnya.

Sebagai langkah nyata, Polri kini menggelar kajian agama rutin melalui Zoom setiap Kamis. Kegiatan ini disebut sebagai bagian dari strategi “penyadaran digital”, agar anggota bisa mendapatkan pembinaan moral dan spiritual yang terarah di tengah gempuran ideologi liar di dunia maya.

Fenomena LGBT di Polri: “Kami Sulit Mendeteksi, Belum Ada Alatnya”

Namun masalah Polri tidak berhenti di ranah ideologi. Anwar juga mengungkap persoalan lain yang jarang dibicarakan di ruang publik: fenomena LGBT di lingkungan kepolisian.

Menurutnya, isu ini menjadi salah satu tantangan besar karena hingga kini Polri belum memiliki mekanisme yang jelas untuk mendeteksi kecenderungan orientasi seksual anggotanya.

“Saya masih mencari, di mana sih alat untuk bisa mendeteksi itu. Rupanya kita belum punya. Mungkin nanti kita mencari ke situ (teknologi),” ungkap Anwar.

Ia menyebut, banyak kasus terkait LGBT baru terungkap setelah menimbulkan masalah atau pelanggaran disiplin di lapangan. Begitu kasus mencuat, anggota terkait biasanya langsung diproses dan dikenai sanksi tegas, bahkan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

“Polisi sekarang tidak mentoleran hal seperti itu. Akhirnya begitu terjadi, ketahuan, ya sudah diproses, lalu PTDH. Tapi tidak ada alat yang bisa mendeteksi apakah anak ini akan terpapar baik intoleransi, radikal, maupun yang lain sebagainya,” tambahnya.

Mencari Akar Masalah: Ketika Polri Berhadapan dengan Cermin Sendiri

Pernyataan Irjen Anwar menjadi refleksi tajam bagi tubuh kepolisian. Di satu sisi, Polri berperan sebagai penjaga ideologi Pancasila dan pelindung masyarakat dari radikalisme maupun perpecahan sosial. Namun di sisi lain, ancaman itu justru kini datang dari dalam.

Masalah intoleransi, radikalisme, hingga perilaku yang dianggap menyimpang seperti LGBT di lingkungan Polri bukan sekadar isu personal, tetapi persoalan struktural dan kultural. Sebagai lembaga besar dengan ratusan ribu anggota, Polri kini dihadapkan pada pekerjaan rumah besar: bagaimana menjaga moral, integritas, dan ideologi anggotanya di tengah perubahan sosial dan arus digital yang semakin deras.

Pertanyaan yang kemudian muncul:
Apakah Polri siap berbenah menghadapi ancaman dari dalam dirinya sendiri?
Atau justru akan terus terseret oleh gelombang ideologi dan perilaku yang perlahan menggerus jati dirinya sebagai penjaga bangsa?

(K)

#Polri #Nasional