Peringatan Kudatuli ke-29: PDIP Refleksi Luka Lama, Singgung Vonis Hasto dan Sindiran Pedas untuk “Tukang Kayu”
DPP PDIP melakukan prosesi tabur bunga untuk memperingati peristiwa Kudatuli, Minggu (27/7/2025).
D'On, Jakarta — Tiga dekade hampir berlalu, namun luka peristiwa Kudatuli masih membekas di benak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hari Minggu (27/7), DPP PDIP kembali menggelar peringatan tahunan atas tragedi yang menjadi titik balik perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Bunga-bunga ditaburkan di halaman Kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat—tempat berdarahnya sejarah itu bermula.
Tabur bunga ini bukan sekadar ritual. Ia adalah pengingat keras bahwa demokrasi di negeri ini tidak datang dari ruang hampa, melainkan dipahat dengan darah, air mata, dan nyawa rakyat kecil yang berani melawan penindasan.
Jejak Luka di Jalan Diponegoro
Peristiwa Kudatuli, singkatan dari Kerusuhan Dua Tujuh Juli, merujuk pada penyerangan brutal terhadap kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996. Kala itu, konflik internal antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi yang didukung penuh oleh kekuasaan Orde Baru, meletus menjadi bentrokan fisik. Hasilnya, setidaknya lima orang tewas, ratusan lainnya luka-luka, dan Jakarta dilanda kerusuhan.
Namun bagi PDIP, tragedi itu bukan sekadar kerusuhan. Kudatuli adalah simbol. Simbol keberanian, simbol keteguhan, dan simbol lahirnya perlawanan terorganisir yang kelak berkontribusi pada tumbangnya rezim otoriter dua tahun kemudian.
Peringatan Dihadiri Tokoh Senior dan Generasi Muda
Kegiatan yang sarat makna ini dihadiri berbagai tokoh lintas generasi partai. Di antara yang hadir tampak wajah-wajah lama dan baru: Ribka Tjiptaning, Bonnie Triyana, Sadarestuwati, Wiryanti Sukamdani, Ronny Talapessy, dan Deddy Sitorus. Wasekjen DPP PDIP Yoseph Aryo Adhi Darmo dan Wakil Bendahara Umum PDIP Yuke Yurike pun turut hadir. Mereka semua bersatu dalam keheningan, menabur bunga di titik-titik bekas bentrokan yang dulu menjadi saksi bisu kebrutalan kekuasaan terhadap oposisi.
Namun bukan PDIP namanya jika peringatan hanya diisi duka. Orasi politik tetap menjadi bagian penting. Dan tahun ini, mikrofon dipegang oleh sosok yang dikenal vokal: Ribka Tjiptaning.
Orasi Ribka: Vonis Hasto hingga Kritik pada Rezim Kini
Dalam orasinya yang berapi-api, Ribka Tjiptaning menyorot tajam kondisi politik dan hukum Indonesia saat ini. Ia menyebut, meski reformasi sudah berlangsung lebih dari dua dekade, aroma Orde Baru masih pekat terasa. Bahkan, menurutnya, situasi hari ini bisa dibilang lebih memprihatinkan.
Ia menyinggung kasus yang menimpa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, yang divonis dalam perkara korupsi terkait Harun Masiku. Bagi Ribka, vonis itu bukan semata proses hukum, tapi bagian dari tekanan sistemik terhadap partai yang kini berada di luar lingkaran kekuasaan.
“Sekjen kita masih mendapat ketidakadilan dari sisi hukum. Reformasi ini masih angan-angan. Hukum masih menzalimi PDI Perjuangan,” kata Ribka lantang di hadapan para kader.
Ia bahkan menyebut intimidasi terhadap Hasto hanyalah sasaran antara. Target utamanya, menurut Ribka, adalah Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, dan PDIP itu sendiri.
“Kita tahu, sasarannya itu Ibu Mega. Hasto itu sasaran antara. Partai ini yang sedang diincar,” lanjutnya.
Sindiran Pedas: ‘Tak Akan Ada Tukang Kayu Jadi Presiden Tanpa Kudatuli’
Dalam salah satu bagian paling menyengat dari orasinya, Ribka melontarkan sindiran tajam ke arah kekuasaan hari ini. Ia mengatakan bahwa tanpa peristiwa 27 Juli 1996, tak akan ada ruang bagi rakyat kecil untuk naik ke tampuk kekuasaan. Ia menyebut bahwa Kudatuli membuka jalan bagi anak-anak buruh, petani, bahkan anak tukang kayu menjadi pejabat tinggi di republik ini.
“Tidak ada 27 Juli, tidak ada anak buruh jadi anggota DPR. Tidak ada 27 Juli, tidak ada anak petani jadi gubernur. Tidak ada 27 Juli, tidak ada anak tukang kayu jadi presiden. Walaupun sekarang sudah error. Ya, itu nasib namanya,” ucapnya sinis, disambut tawa getir para kader.
Sindiran ini diyakini mengarah pada Presiden Joko Widodo mantan kader PDIP yang belakangan dinilai menjauh dari garis perjuangan partai.
Ancaman 7 Persen dan Seruan Perlawanan
Di ujung orasinya, Ribka melemparkan peringatan keras kepada pihak-pihak yang mencoba menyingkirkan PDIP dari peta politik nasional. Ia menyebut telah mendengar adanya skenario untuk menjatuhkan suara PDIP hanya hingga 7 persen pada Pemilu 2029.
“Saya dengar mereka menarget kita 7 persen di 2029. Salah hitung mereka. Semakin ditekan, PDI Perjuangan semakin mengkonsolidasi diri,” tegasnya.
Menurutnya, sejarah telah membuktikan bahwa PDIP justru bersinar dalam tekanan. Ia menyerukan agar seluruh kader partai tetap solid dan tidak patah semangat menghadapi berbagai tekanan.
“Banteng tidak boleh ngambek, banteng tidak boleh cengeng. Kalau kita diintimidasi, dicurangi, kita justru akan bangkit. Itu sudah terbukti,” pungkas Ribka dengan penuh semangat.
Refleksi atau Sinyal Politik?
Peringatan Kudatuli kali ini tak hanya menjadi refleksi sejarah, tapi juga panggung perlawanan simbolik terhadap kekuasaan yang dinilai sudah melenceng dari cita-cita reformasi. Di tengah ketidakpastian politik dan tekanan hukum yang kian menguat, PDIP tampaknya sedang menguatkan barisan untuk menghadapi pemilu 2029 dengan narasi “kembali ke akar perjuangan”.
Tragedi 27 Juli mungkin telah lama berlalu. Tapi bagi PDIP, semangat perlawanan terhadap ketidakadilan tetap hidup—dan hari ini, mereka menegaskan bahwa sejarah belum selesai ditulis.
(Mond)
#Nasional #Kudatuli #PDIP