Breaking News

85 Pegawai Kemnaker Terima Aliran Uang Pemerasan TKA, Tapi Tak Jadi Tersangka: Ini Penjelasan KPK

Asep Guntur, Direktur Penyidikan KPK.

D'On, Jakarta
— Sebuah praktik korupsi besar-besaran di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) kembali terbongkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus dugaan pemerasan terkait penerbitan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), delapan pejabat tinggi Kemnaker telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun yang mengejutkan, sebanyak 85 pegawai lainnya yang disebut turut menerima uang hasil korupsi ini tidak ikut dijerat pidana. Mengapa?

Uang Pemerasan Mengalir ke 85 Pegawai, Tapi Bukan Tersangka

Menurut KPK, aliran dana haram dari praktik pemerasan terhadap pemohon RPTKA selama tahun 2019–2024 tidak hanya dinikmati oleh para tersangka utama. Sebanyak Rp 8,94 miliar disebut ikut dibagikan ke 85 pegawai Kemnaker lainnya. Sementara nilai total uang yang dikumpulkan para tersangka selama lima tahun terakhir ditaksir mencapai Rp 53,7 miliar.

Namun meski menerima uang tersebut, ke-85 pegawai itu tidak otomatis dijerat sebagai tersangka. Alasannya pun dijelaskan secara mendalam oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (17/7).

"Pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang itu harus dilihat dari mens rea-nya, yaitu niat jahat dalam melakukan suatu tindakan pidana. Itu yang harus dibuktikan,” ujar Asep.

KPK menekankan bahwa tidak semua penerima dana bisa dikategorikan sebagai pelaku korupsi. Harus ada bukti bahwa mereka mengetahui dan menyadari asal-usul uang yang mereka terima, serta memiliki peran aktif dalam skema pemerasan tersebut.

“Apakah mereka tahu uang itu berasal dari pemerasan? Atau hanya kebagian uang atau makanan tanpa tahu-menahu sumbernya?” imbuh Asep.

KPK: Tidak Semua Penerima Uang Adalah Pelaku Korupsi

KPK mengklaim bersikap hati-hati dalam memilah antara pelaku utama dan pihak yang hanya “ikut menikmati” hasil kejahatan. Ada perbedaan hukum antara orang yang ikut serta merencanakan, memerintahkan, atau mengetahui kejahatan, dengan yang hanya menerima tanpa mengetahui sumbernya.

“Harus dipilah dengan tegas. Siapa pelaku utama yang punya niat jahat, siapa yang hanya menerima tanpa terlibat. Kalau tidak, kita bisa menjerat orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa,” jelas Asep lagi.

Ia juga menegaskan bahwa tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa 85 pegawai tersebut turut serta dalam pemerasan ataupun aktif dalam meminta uang kepada para pemohon RPTKA.

Delapan Tersangka dan Jaringan Pemerasan di Kemnaker

Sementara itu, KPK sudah menetapkan delapan tersangka utama dalam kasus ini. Empat di antaranya langsung ditahan pada Kamis (17/7), yaitu:

  1. Suhartono – Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker periode 2020–2023.
  2. Haryanto – Direktur Pengendalian Penggunaan TKA 2019–2024 dan Dirjen Binapenta dan PKK 2024–2025.
  3. Wisnu Pramono – Direktur PPTKA 2017–2019.
  4. Devi Angraeni – Direktur PPTKA 2024–2025.

Mereka akan ditahan selama 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK, mulai 17 Juli hingga 5 Agustus 2025.

Sementara empat tersangka lainnya belum ditahan, yakni:

  1. Gatot Widiartono – Koordinator Analisis dan PPTKA 2021–2025.
  2. Putri Citra Wahyoe – Petugas Hotline RPTKA 2019–2024 dan Verifikator Pengesahan RPTKA 2024–2025.
  3. Jamal Shodiqin – Analis TU Direktorat PPTKA 2019–2024 dan Pengantar Kerja Ahli Pertama 2024–2025.
  4. Alfa Eshad – Pengantar Kerja Ahli Muda Kemnaker 2018–2025.

Modus: Minta Uang untuk Terbitkan Izin TKA

Menurut KPK, para pejabat di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) diduga memeras para pemohon RPTKA dengan dalih “biaya kelancaran” agar dokumen izin penggunaan TKA bisa disetujui dan diterbitkan lebih cepat.

“Mereka memerintahkan verifikator untuk meminta sejumlah uang ke pemohon. Praktik ini berlangsung lama, sistematis, dan sudah seperti budaya di lingkungan Kemnaker,” ungkap penyidik KPK.

Uang hasil pemerasan tersebut kemudian digunakan untuk keperluan pribadi para pejabat serta didistribusikan ke pegawai lain di kementerian tersebut.

Dijerat Pasal Korupsi dan Gratifikasi

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 12B Undang-Undang Tipikor, junto Pasal 18, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana penjara dan denda berat.

Belum ada tanggapan resmi dari para tersangka mengenai kasus ini. Namun publik menunggu bagaimana KPK akan melanjutkan proses hukum terhadap jaringan yang diduga mengakar ini, serta transparansi dalam mengungkap siapa saja pihak yang turut terlibat secara aktif.

(Mond)

#KPK #PemerasanTKA #Kemenaker