Breaking News

MK Larang Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris BUMN: Ketegasan Konstitusi yang Masih Dilanggar

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi 

D'On, Jakarta
 — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan larangan tegas bagi para wakil menteri (wamen) untuk merangkap jabatan sebagai komisaris atau dewan pengawas di badan usaha milik negara (BUMN). Penegasan ini menjadi bagian dari pertimbangan hukum dalam putusan perkara nomor 21/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon. Uji materi tersebut menyoroti pelanggaran konstitusi terhadap ketentuan rangkap jabatan dalam struktur pemerintahan.

Putusan ini bukan hanya pengingat normatif, melainkan peringatan keras atas praktik rangkap jabatan yang selama ini masih berjalan meski secara hukum dilarang. Dalam pertimbangannya, MK menegaskan kembali bahwa wakil menteri, sebagaimana menteri, merupakan pejabat negara yang harus tunduk pada aturan perundang-undangan yang melarang rangkap jabatan.

Menggali Akar Masalah: UU Kementerian Negara Jadi Rujukan

Dalam perkara nomor 21, MK secara khusus mengacu pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyatakan dengan jelas bahwa menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai:

  • Pejabat negara lainnya;
  • Komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta;
  • Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Ketentuan tersebut berlaku juga bagi wakil menteri, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menguatkan interpretasi bahwa wamen, walau berada di bawah menteri, tetap memiliki status pejabat negara dengan batasan hukum yang sama.

Konstitusi Dilanggar di Tengah Pengawasan Lemah

Yang mencengangkan, MK secara terbuka mengakui bahwa dalam praktiknya, masih terdapat wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN, kendati telah ada larangan hukum yang jelas dan tegas. Dalam salinan putusan disebutkan:

“Namun pada pelaksanaannya, masih terdapat wakil menteri yang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan milik negara.”

Pernyataan tersebut seolah menyiratkan adanya pembiaran, atau paling tidak lemahnya pengawasan dan penegakan terhadap regulasi yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan dan diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi.

Kepentingan Ganda: Risiko Etika dan Konflik Kepentingan

Praktik rangkap jabatan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga membuka ruang besar bagi konflik kepentingan. Wakil menteri sebagai bagian dari pengambil kebijakan di kementerian, bila merangkap menjadi komisaris BUMN yang berada di bawah pengawasan kementerian tempat ia bertugas, berpotensi besar menyalahgunakan kewenangan dan menciptakan relasi kuasa yang timpang.

Di sisi lain, jabatan komisaris biasanya juga melekat dengan tunjangan, fasilitas, dan pengaruh bisnis yang besar, yang dapat menodai prinsip-prinsip akuntabilitas dan integritas dalam penyelenggaraan negara.

Dorongan Reformasi: Ujian bagi Pemerintahan dan Penegak Hukum

Putusan ini menjadi ujian moral dan politik bagi pemerintah yang tengah menjabat. Publik akan menanti, apakah Presiden dan jajaran kementerian akan segera menindaklanjuti putusan ini dengan melakukan evaluasi terhadap wamen yang terbukti merangkap jabatan? Apakah akan ada pembenahan struktural dalam sistem pengangkatan pejabat negara ke posisi strategis di BUMN?

Lebih dari itu, putusan ini adalah momen krusial bagi lembaga-lembaga pengawas seperti KPK, Ombudsman, dan DPR untuk ikut mengawasi dan memastikan tidak ada lagi celah hukum yang dimanipulasi demi kepentingan elite.

Catatan Akhir: Antara Hukum dan Kenyataan

Mahkamah Konstitusi telah bicara. Aturan telah ditegakkan. Tapi pertanyaannya sekarang: siapa yang berani menegakkan? Jika putusan MK hanya menjadi dokumen hukum yang tidak diikuti tindakan nyata, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan terus tergerus.

Publik layak tahu siapa saja wakil menteri yang hingga hari ini masih menjabat sebagai komisaris BUMN. Pemerintah wajib transparan, bukan sekadar retoris. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya soal pemilu dan jabatan, tapi juga soal konsistensi menegakkan hukum dan etika dalam setiap langkah kekuasaan.

(Mond)

#MahkamahKonstitusi #BUMN #Nasional #WamenRangkapJabatan