Breaking News

‘Tongkat Estafet’ Korupsi Gubernur Riau Sejak 2003: Warisan Gelap yang Tak Pernah Putus

Gubernur Riau Abdul Wahid digiring petugas saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025). (Antara)

D'On, Pekanbaru -
Bayang-bayang korupsi seakan menjadi kutukan turun-temurun bagi kursi Gubernur Riau.

Senin, 3 November 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyergap aroma busuk kekuasaan di bumi Lancang Kuning. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar sore hari itu, sepuluh orang diciduk, termasuk orang nomor satu di Provinsi Riau  Gubernur Abdul Wahid, yang baru delapan bulan menjabat sejak dilantik pada 20 Februari 2025 lalu.

Bagi KPK, ini bukan sekadar OTT keenam sepanjang tahun 2025. Ini adalah penangkapan simbolis potret kegagalan panjang pembenahan moral birokrasi di salah satu provinsi terkaya di Indonesia. Karena nama Abdul Wahid kini resmi bergabung dalam daftar panjang “empat gubernur Riau yang tumbang karena korupsi.”

Kutukan Bernama Kekuasaan: Dari Saleh Djasit hingga Abdul Wahid

Sejak 2003, tak ada provinsi lain di Indonesia yang mengalami ironi sedalam Riau. Empat dari enam gubernur terakhirnya dijerat kasus rasuah oleh lembaga antikorupsi.
Kursi Gubernur Riau seolah berubah menjadi tahta beracun  setiap pemimpin yang duduk di atasnya, cepat atau lambat, terseret dalam pusaran kekuasaan dan uang.

1. Saleh Djasit – Awal dari Rantai Gelap (1998–2003)

Nama Saleh Djasit tercatat sebagai Gubernur Riau pertama yang “mewarisi” noda korupsi. Pada 2003, proyek pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp 4,7 miliar menjadi awal petaka.

Empat tahun kemudian, pada 19 Maret 2008, ia resmi ditahan setelah KPK menemukan bukti kuat penyalahgunaan wewenang dan dugaan memperkaya pihak lain. Vonisnya: 4 tahun penjara.
Namun, ironisnya, ia bebas bersyarat setelah menjalani hanya 2,5 tahun.
Kasus Djasit menjadi pintu pertama yang membuka babak panjang sejarah korupsi kepala daerah di Riau.

2. Rusli Zainal – Raja Dua Periode yang Tumbang (2003–2013)

Setelah Djasit, giliran Rusli Zainal, gubernur dua periode, yang menambah daftar kelam.
KPK menahannya pada 14 Juni 2013, setelah ditetapkan sebagai tersangka empat bulan sebelumnya.
Ia terjerat dua kasus besar:

  • Suap pengesahan RAPBD Riau tahun 2012–2013, terkait pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau.
  • Penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin kehutanan.

Dalam sidang 12 Maret 2014, Rusli divonis 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Namun seperti banyak pejabat korup lainnya, ia berhasil mengurangi hukumannya menjadi 10 tahun lewat Peninjauan Kembali (PK).
Setelah sembilan tahun di balik jeruji, Rusli akhirnya menghirup udara bebas pada 21 Juli 2022.
Ketika keluar, ia berkata singkat kepada wartawan: “Saya sudah membayar kesalahan saya.”
Namun publik tahu, yang belum terbayar adalah kerusakan moral dan ekonomi daerah akibat kepemimpinannya.

3. Annas Maamun – Jebakan Uang dan Lahan (2014–2019)

Tak lama berselang, sejarah kembali berulang.
Gubernur berikutnya, Annas Maamun, ditangkap KPK dalam OTT pada 25 September 2014 — hanya delapan bulan setelah menjabat.
Ia kedapatan menerima suap Rp 2 miliar lebih, sebagian dalam bentuk dolar Singapura, dari pengusaha yang ingin mengubah status lahan kehutanan di Kuantan Singingi.

Vonisnya 6 tahun penjara, namun ia mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo pada 2020.
Bukannya tobat, pada 2022 KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka baru dalam kasus gratifikasi saat masih menjabat Gubernur.
Ia meninggalkan citra buruk: seorang pemimpin tua yang tamak dan tak belajar dari sejarah.

4. Abdul Wahid – Gubernur Baru, Skandal Lama (2025–2030)

Dua dekade berselang sejak Saleh Djasit, giliran Abdul Wahid yang harus berhadapan dengan KPK.
Padahal, ia sempat dielu-elukan sebagai “pemimpin muda Riau yang bersih” saat dilantik. Namun, anggapan itu runtuh cepat.

Dalam OTT Senin sore itu, KPK mengamankan sepuluh orang, termasuk Wahid, Kepala Dinas PUPR Arief Setiawan, Sekdis Ferry Yunanda, Kepala UPT I Khairil Anwar, staf ahli gubernur Dani M. Nursalam, serta seorang pengusaha bernama Tata Maulana, yang disebut sebagai “orang kepercayaan” Wahid.

Mereka ditangkap karena dugaan korupsi proyek di lingkungan Dinas PUPR Provinsi Riau — sektor yang selama ini dikenal paling rawan praktik “uang pelicin” untuk memenangkan tender.

KPK punya waktu 1x24 jam untuk menetapkan status hukum Wahid dan para pihak lainnya.
“Rabu, 5 November, akan kami umumkan siapa saja yang resmi jadi tersangka,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih, Jakarta.

KPK: “Kami Prihatin, Tapi Tak Akan Berhenti”

Menanggapi kasus terbaru ini, Budi Prasetyo menyampaikan nada getir yang mencerminkan kelelahan moral institusinya.
“Kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam,” ujarnya, Selasa (4/11/2025).
“Ini sudah Gubernur Riau keempat yang terjerat korupsi. Kami berharap pemerintah daerah serius membenahi tata kelola birokrasi dan mencegah pengulangan kesalahan yang sama.”

KPK mengaku telah lama memberi peringatan dan rekomendasi perbaikan lewat Survei Penilaian Integritas (SPI) di Riau.
Namun, hasilnya kerap hanya berhenti di meja rapat, tak menyentuh perilaku di lapangan.

“Estafet” Korupsi: Simbol Kegagalan Reformasi Daerah

Kasus Abdul Wahid bukan sekadar soal uang dan jabatan. Ini tentang budaya kekuasaan yang terus melahirkan generasi pemimpin dengan mental yang sama serakah, oportunis, dan abai terhadap moral.

Riau, provinsi kaya minyak, gas, dan perkebunan sawit, seolah tak pernah bebas dari penyakit lama: korupsi yang dilegalkan oleh kebiasaan.
Masyarakat sudah terlalu sering mendengar janji perubahan, tapi setiap pergantian pemimpin justru melahirkan drama serupa.

Kini, publik menanti langkah KPK berikutnya:
apakah Abdul Wahid akan menjadi “simpul terakhir” dalam rantai korupsi Riau,
atau sekadar penerus tongkat estafet yang tak kunjung terputus sejak dua dekade lalu.

(Mond)

#Korupsi #KPK #Hukum #GubernurRiauKorupsi