Breaking News

Misteri Kematian Johny Sembiring: “Preman Intelek” yang Dibungkam Secara Profesional

Pada Agustus 1994, Johny Sembiring ditemukan tewas di Bogor setelah sebelumnya dikabarkan diculik tujuh orang tak dikenal. Kriminolog menyebut pembunuhnya orang profesional (NOVA)

Dirgantaraonline
- Kamis, 18 Agustus 1994. Bagi Nia Murniati, pagi itu tak ada yang istimewa. Ia masih sempat menyiapkan sarapan untuk suaminya, Farrel Sembiring Kembaren lebih dikenal dengan nama Johny Sembiring sebelum pria 62 tahun itu berangkat bekerja. Johny, mantan “orang keras” yang kini hidup sebagai penagih utang (debt collector), tampak seperti biasa: rapi, tenang, dan percaya diri.

“Dia berangkat dengan sopirnya, Tumiran,” kenang Nia beberapa hari kemudian dengan suara nyaris tak terdengar.
Namun sore itu, Johny tak kunjung pulang. Malam pun datang, dan tak ada kabar.

Keesokan harinya, Jumat 19 Agustus, kecemasan mulai berubah jadi ketakutan. Salah satu adik Johny, M. Sembiring, menerima telepon dari Polres Bogor. “Tumiran ditemukan di Jonggol,” katanya. Tubuhnya masih hidup, tapi mata dan tangan bekas terikat kuat. Johny? Hilang tanpa jejak.

Laporan yang Berujung Duka

Begitu Tumiran dibawa ke Jakarta, M. Sembiring langsung menggiringnya ke Polda Metro Jaya. Di sana, mereka membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang berjalan hingga malam.
“Dia (Tumiran) cerita, mereka diculik tujuh orang. Semuanya laki-laki, bertubuh tegap. Johny dibawa, dia dibuang di jalan,” tutur M. Sembiring dengan nada getir.

Namun belum sempat rasa lelah hilang, kabar paling memilukan datang malam itu juga.
Telepon dari Bogor lagi  Johny ditemukan. Tapi bukan dalam keadaan hidup.

Pukul 22.00, M. Sembiring sampai di RS PMI Bogor. Di kamar jenazah, ia berdiri terpaku. Di depannya, terbujur tubuh kakaknya  masih memakai jas kotak-kotak, dengan tato mawar di dada kirinya.
“Saya langsung tahu itu Abang. Saya kabari Nia… dia langsung pingsan,” kenangnya.

Esok paginya, jenazah Johny dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Tak ada pernyataan panjang dari istrinya. “Saya mau bilang apa lagi… semua sudah terjadi,” katanya pelan.

Masa Lalu Kelam Sang “Otak Encer”

Johny Sembiring bukan sosok asing di dunia hitam Jakarta. Namun masa kecilnya ternyata menyimpan luka yang tak kalah kelam.
“Bapak mendidik kami dengan tangan besi. Kepala Abang sering dibenturkan ke tembok,” cerita M. Sembiring.

Mungkin dari situlah sifat keras Johny terbentuk. Ia sering kabur dari sekolahnya di Pematang Siantar, padahal otaknya cemerlang. “Gurunya bilang, kalau Johny masuk sekolah tiga kali seminggu saja sudah bagus. Tapi Abang malah menantang, ‘Gimana kalau sekali saja?’”

Akhirnya, sekolahnya hanya sampai kelas III SMP. Tahun 1952, ia merantau ke Jambi. Setahun kemudian ke Jakarta. Hidupnya berputar cepat: menikah dengan Tin Kartini, dikaruniai seorang putri bernama Dian, lalu bercerai pada 1966.

Johny kembali menikah dengan Nia Murniati pada 1979 dan punya anak perempuan, Jenny Nurul. Namun di antara dua pernikahan itu, Johny sudah menjelma menjadi legenda jalanan. “Dia pernah kabur dari Nusakambangan,” ujar sang adik. “LP Cipinang sudah kayak rumah kedua.”

Meski begitu, di balik cap kriminal, Johny dikenal berwawasan luas. Ia menguasai bahasa Inggris dan Belanda, bahkan sempat ikut sekolah setara SMA di penjara.

Dari Preman ke Profesional

Setelah bebas dari segala urusan hukum pada awal 1980-an, Johny mencoba hidup bersih. Ia bekerja di kantor pengacara, menulis pengalamannya di Harian Prioritas, dan mendirikan firma bernama Saut Raja Johny Sembiring Associated  sebuah lembaga jasa penagihan utang yang berbasis negosiasi hukum, bukan kekerasan.

“Dia menagih dengan cara cerdas. Tidak pernah maksa, tidak pakai preman,” kata Bernard, salah satu rekan kerjanya. “Bahasanya diplomatis. Kalau pengutang benar-benar tak mampu, surat kuasanya dikembalikan.”

Namun profesi itulah yang akhirnya membawa Johny ke ujung hayat. Pada hari nahas itu, mobil BMW yang ditumpangi Johny dan Tumiran ditabrak dari belakang oleh sebuah Kijang di kawasan Tanah Abang. Tujuh pria turun, mengikat keduanya, dan memaksa masuk ke mobil mereka.

Tumiran dibuang hidup-hidup di Jonggol. Johny ditemukan tak bernyawa di Desa Carui, Bogor.

Misteri Luka dan Kematian

Majalah Sinar edisi 5 September 1994 menulis, Johny tewas akibat kekerasan benda tumpul. Ada memar di dada, tulang rusuk patah, dan bercak darah di tengkuk. “Bisa jadi dadanya dihantam popor senjata,” tulis laporan itu.

Namun versi lain muncul dari Edmund Ronald Hutauruk, mantan preman yang mengenal Johny. Ia menolak teori luka dada. “Warna biru di dada bisa karena tinta pulpen yang pecah,” katanya. Tapi kemudian ia menambahkan sesuatu yang lebih mencengangkan:
“Lehernya patah. Itu bukan kebetulan. Cara membunuh seperti itu hanya dilakukan orang-orang profesional.”

Edmund bahkan menuduh pembunuhan itu berkaitan dengan kelompok simpatisan seorang jenderal, Tampubolon, yang tewas tak lama sebelumnya.

Drs. Mulyana W. Kusumah, kriminolog ternama kala itu, mengamini dugaan Edmund. “Pelaku bekerja dengan sangat rapi. Ada proses penekanan fisik dan mental sebelum korban dihabisi. Ini bukan pembunuhan biasa,” ujarnya.

Direktur RS PMI Bogor, Dr. Amir Islami, memperkuat dugaan itu. Menurutnya, bekas penganiayaan di leher Johny menunjukkan indikasi kuat kematian akibat patah tulang leher. “Namun bisa juga karena tulang rusuk yang patah dan menusuk jantung,” katanya.

Tanda-Tanda Sebelum Kematian

Tiga bulan sebelum kematiannya, Johny berubah. Ia lebih sering pulang, lebih perhatian, dan lebih lembut. “Dia pernah bilang, jangan bikin pagar rumah terlalu tinggi. Anak bisa terpenjara,” kenang M. Sembiring. “Saya baru sadar, mungkin itu semacam pesan perpisahan.”

Johny juga pernah menyesali masa lalunya.
“Saya sudah terlalu banyak menguras air mata orangtua. Bukan seember, tapi berdrum-drum,” katanya suatu hari. “Belum cukup banyak yang saya balas pada mereka.”

Akhir yang Masih Gelap

Lebih dari tiga dekade berlalu, misteri kematian Johny Sembiring belum pernah benar-benar terpecahkan. Polisi kala itu menyebut kasusnya sebagai “penculikan berujung pembunuhan”, tanpa titik terang siapa dalangnya.

Yang pasti, Johny pergi dengan cara yang tak biasa: diculik di siang bolong, dibunuh tanpa jejak, dan dibungkam dengan keahlian militer.

Apakah pembunuhnya benar seorang profesional seperti dugaan para kriminolog? Atau ada rahasia lain yang ikut terkubur bersama jasad “preman intelek” yang memilih hidup jujur di akhir hayatnya itu?

Hanya satu hal yang pasti  Johny Sembiring, sosok yang pernah ditakuti sekaligus dihormati, telah meninggalkan kisah yang menggantung di antara dunia hukum, kekuasaan, dan bayang-bayang masa lalunya sendiri.

(Mond)

#PenembakMisterius #DebtCollector #Premanisme