Breaking News

Ketika Padang Dilanda Bencana, Pemimpinnya Justru Sibuk Berpentas di Panggung Seremonial

Pohon tumbang menimpa kandang sapi di Korong Gadang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang pada Minggu (23/11/2025) siang akibat hujan deras dan angin kencang. (Dok. Pusdalops PB)

Dirgantaraonline
- Dalam beberapa hari terakhir, warga Kota Padang hidup dalam kecemasan. Cuaca ekstrem yang datang bertubi-tubi hujan lebat, genangan banjir, tanah amblas, hingga pohon tumbang telah mengganggu aktivitas dan rasa aman masyarakat. Namun, di tengah situasi yang seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah, publik justru disuguhi pemandangan yang kontras: para pemimpin Kota Padang terlihat lebih sering berada di panggung acara seremonial daripada di lokasi bencana.

Pertanyaan yang kini menggema di ruang publik sederhana namun penuh makna:
Di mana Wali Kota Padang Fadly Amran dan Wakil Wali Kota Maigus Nasir ketika warga mereka sedang kesulitan?

Absennya Kehadiran Pemimpin di Titik Krisis

Sementara sejumlah kawasan Padang diterjang banjir dan pergerakan tanah, agenda Pemerintah Kota tampak berjalan seolah kota ini sedang dalam kondisi normal. Dalam dua hari terakhir, Wali Kota dan Wakil Wali Kota justru aktif menghadiri berbagai kegiatan formal: pelepasan peserta lomba, pembukaan event budaya, seminar kepemudaan, hingga acara olahraga.
Semuanya berlangsung ketika sebagian warga menguras rumah dari lumpur, membersihkan puing pohon tumbang, dan menunggu bantuan darurat.

Di sinilah letak kekecewaan masyarakat. Bukan karena acara seremonial itu tidak penting, tetapi karena prioritas moral dan tanggung jawab pemimpin seharusnya lebih jelas ketika bencana melanda.

Pemimpin yang Hadir Secara Fisik Adalah Pemimpin yang Memberi Rasa Aman

Pengamat sosial dari Universitas Negeri Padang, Erian Joni, menyampaikan keresahan publik yang tak diucapkan banyak orang: keberadaan seorang pemimpin di lokasi bencana bukan sekadar formalitas, tetapi simbol kehadiran negara.
Ketika pemimpin turun langsung, masyarakat merasakan empati dan perlindungan.
Sebaliknya, ketika pemimpin sibuk di panggung seremoni, masyarakat merasa berjalan sendiri menghadapi bahaya, seperti dikutip dari Sumbardaily.com, Selasa (25/11/2025).

Menurut Erian, sekalipun Wali Kota telah memberi instruksi kepada pejabat di bawahnya, itu belum cukup. Warga ingin melihat pemimpinnya hadir, bertanya langsung, menyimak keluhan, dan memberi arahan nyata di lapangan. Kehadiran fisik pemimpin di tengah masyarakat kini menjadi ukuran kedekatan dan kepedulian, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh baliho atau pidato.

Bencana Tak Menunggu Agenda Seremonial

Dalam rentang 22–24 November 2025, Padang diguncang rangkaian kejadian yang jelas membutuhkan perhatian serius:

  • Angin kencang merusak rumah warga dan menumbangkan pohon di enam kecamatan.
  • Banjir genangan muncul di titik rawan seperti Gunung Pangilun dan Tabing Banda Gadang.
  • Dua lokasi di Padang Selatan mengalami tanah amblas yang meretakkan jalan dan teras rumah warga.

Tidak ada korban jiwa, tetapi kerusakan fisik dan kecemasan masyarakat adalah alasan kuat bagi seorang kepala daerah untuk berada di garis depan.

BPBD bekerja cepat gotong royong warga berjalan namun pertanyaannya tetap menggantung: mengapa pemimpin tertinggi daerah justru tidak terlihat di tengah masyarakat ketika mereka paling membutuhkan?

Saat Bencana Menjadi Ujian Kepemimpinan

Di tengah ancaman bencana hidrometeorologi, kehadiran Wali Kota dan Wakil Wali Kota di lapangan bukan sekadar soal prosedur. Ini adalah momentum pembuktian bahwa kepemimpinan tidak berhenti pada peresmian acara atau pemotongan pita.

Erian Joni bahkan menyebut, jika pemimpin saja tak muncul di lokasi bencana, wajar bila jajaran di bawahnya ikut tak peka terhadap penderitaan warga. Pada akhirnya, rantai koordinasi melemah dan yang tersisa hanya saling menyalahkan tanpa solusi nyata.

Padahal, mitigasi bencana adalah tugas fundamental pemerintah daerah setara urgensinya dengan pembangunan pasar, seminar, atau promosi event.

Masyarakat Tidak Lagi Terpukau oleh Baliho

Di era ketika jejak digital mudah diakses, masyarakat semakin kritis. Mereka bisa membedakan mana pemimpin yang bekerja nyata dan mana yang hanya tampil di panggung.
Ketiadaan Wali Kota di lokasi terdampak bencana hari ini akan terekam dalam ingatan publik, menjadi evaluasi yang panjang.

Warga tidak meminta banyak: cukup hadir, melihat langsung kondisi di lapangan, dan memastikan penanganan berjalan cepat. Itu saja sudah membuat masyarakat merasa memiliki pemimpin.

Belajar dari Masa Lalu, Menata Sikap di Masa Kini

Padang memiliki sejarah bencana yang panjang. Dari gempa besar hingga banjir bandang, masyarakat sudah terlalu sering diuji.
Pemimpin terdahulu seperti Fauzi Bahar dikenal karena selalu turun ke lapangan saat bencana terjadi—sebuah contoh yang kini kembali diingat publik.

Pasangan Fadly Amran–Maigus Nasir sebenarnya masih memiliki banyak waktu membangun citra kepemimpinan yang kuat. Namun untuk itu, mereka harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada keselamatan masyarakat, bukan sekadar menghadiri acara protokol.

Saatnya Menurunkan Frekuensi Seremonial dan Meningkatkan Kehadiran di Lapangan

Situasi bencana seperti saat ini memerlukan pemimpin yang hadir, bukan hanya memerintah dari jauh.
Mengurangi kegiatan seremonial di tengah cuaca ekstrem bukanlah kehilangan prestise justru itulah tindakan yang paling dihargai masyarakat.

Jika pemimpin tidak hadir hari ini ketika warga sedang kesulitan, jangan salahkan bila muncul kritik bahwa kota ini sedang berjalan tanpa yang memimpin.

(Red)

#Padang #Longsor #Banjir #Opini