Ketika Langit Menangis, Seorang Pemimpin Turun ke Genangan: Kisah Mastilizal Aye di Tengah Derita Banjir Padang

Wakil Ketua DPRD Kota Padang Mastilizal Aye Turun Meninjau Lokasi Bencana Banjir di Padang (Dok: Novri)
D'On, Padang — Hujan itu seperti tak punya jeda. Selama berhari-hari, titik-titik air jatuh dari langit tanpa kompromi, mengubah Padang menjadi kota yang tenggelam dalam muram dan kepedihan. Setiap tetesnya seolah membawa cerita tentang rumah yang terendam, jalan yang terputus, dan hati warga yang kian gundah.
Bagi sebagian orang, hujan hanyalah cuaca. Tapi bagi warga Kubu Utama Tabiang Banda Gadang dan Kampung Lapai, hujan telah menjelma menjadi bencana banjir yang meninggi, longsor yang mengancam, dan rasa cemas yang sulit ditepis.
Di tengah tangis langit dan ratapan warga, muncul sosok yang langkahnya tak hanya terdengar dalam pernyataan atau kata-kata peringatan. Ia hadir secara nyata, hadir di lokasi, hadir di tengah derita: Mastilizal Aye, SH, Wakil Ketua DPRD Kota Padang.
Bermandikan Hujan, Menerobos Genangan
Hari itu, hujan tak sekadar membasahi. Ia mengguyur deras, tanpa kompromi. Namun, Mastilizal Aye memilih untuk tidak menunggu kabar dari laporan atau foto kiriman staf. Ia datang sendiri.
Tubuhnya basah oleh hujan yang tak berhenti jatuh, langkahnya berat menerobos genangan air yang semakin meninggi. Ketika sebagian memilih menonton dari kejauhan, ia justru menjemput derita itu dengan kedua tangannya.
Dengan perahu karet di depannya, di bawah langit kelabu, Mastilizal Aye turun ke air bukan untuk pencitraan, bukan untuk kamera, tetapi untuk warga yang saat itu hanya punya satu harapan: pertolongan.
Dayung yang Menghidupkan Harapan
Di titik paling kritis banjir, air sudah mencapai ketinggian yang menenggelamkan rumah. Beberapa warga terjebak di lantai dua, sebagian lain masih berusaha menyelamatkan barang seadanya.
Bersama aparat, Basarnas, dan relawan, Mastilizal Aye mendayung perahu karet. Air setinggi pinggang tak membuatnya mundur. Ia menghampiri rumah-rumah yang terkepung banjir, mengetuk pintu-pintu yang tak lagi terlihat batas dasarnya, menggendong warga lansia, membawa anak-anak yang ketakutan, dan menenangkan ibu-ibu yang kehilangan arah.
“Biar saya duluan, Bu. Kita pelan-pelan ya,” ucapnya berusaha menenangkan seorang ibu yang tubuhnya gemetar karena kedinginan.
Itu bukan dialog yang dibuat-buat. Itu adalah suara kemanusiaan.
Saat Pemimpin Memilih Turun, Bukan Bicara
Di saat sebagian pejabat hanya sanggup mengeluarkan imbauan dari balik meja, Mastilizal Aye justru memilih menginjak lumpur, menghadapi arus, dan membasahi diri tanpa keluh.
Baginya, derita warga adalah derita dirinya.
Kegelisahan warga adalah kegelisahan yang mengusik tidur malamnya.
Ia tidak hanya datang untuk memantau. Ia bekerja, memikul, mendorong, mengevakuasi. Hujan deras tak menjadi alasan untuk berhenti. Letih tak punya tempat di tengah perjuangan itu.
Pemimpin yang Hadir Saat Warga Butuh
Di lokasi bencana, warga tidak mencari janji. Mereka mencari tangan yang bisa membantu menarik perahu, memindahkan anak-anak, atau sekadar berdiri di samping mereka saat rasa takut memuncak.
Dan di situlah Mastilizal Aye hadir.
Tidak sendiri. Ia bergerak bersama tim, namun kehadirannya tidak seperti kunjungan singkat pejabat. Tidak ada pengawalan berlebihan, tidak ada jarak antara ia dan genangan air berlumpur.
Ia hadir sebagai manusia yang peduli dan itulah yang membuat kehadirannya bermakna.
Lebih dari Sekadar Jabatan
Sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Padang sekaligus Ketua Askot PSSI Kota Padang, rutinitasnya tidak pernah sepi. Namun saat banjir menghantam, ia tidak menempatkan jabatan sebagai alasan untuk menjaga jarak.
Dalam sorot mata warga yang diselamatkan, terlihat rasa syukur bercampur haru. Bagi mereka, sosok pemimpin seperti inilah yang mereka butuhkan pemimpin yang tidak hanya hadir ketika pesta demokrasi berlangsung, tetapi hadir saat bencana mengetuk pintu kehidupan mereka.
Banjir Mereda, Empati Tertinggal
Ketika air perlahan surut dan langit mulai mereda, derita memang belum sepenuhnya hilang. Namun apa yang dilakukan hari itu meninggalkan bekas kuat: bahwa masih ada pemimpin yang tahu bagaimana rasanya berada di tengah warga, bukan sekadar berdiri di atas podium.
Banjir mungkin datang lagi. Hujan mungkin turun tak terduga. Tetapi bagi warga yang pernah melihat Mastilizal Aye mendayung perahu karet untuk menjemput mereka, mereka tahu satu hal:
Ada sosok yang akan kembali turun, meski langit kembali menangis.
(Mond)
#Padang #Banjir