Dua Guru di Luwu Utara Dipecat Setelah Bantu Honorer Tak Gajian 10 Bulan

Abdul Muis (kiri) dan Rasnal (kanan), dua guru SMA di Kabupaten Luwu Utara (Lutra), Sulawesi Selatan, yang dipecat. Dok Istimewa
D'On, Luwu Utara - Di balik dinginnya meja birokrasi, dua nama guru dari pelosok Sulawesi Selatan kini menjadi simbol getirnya perjuangan seorang pendidik yang dihukum karena menolong sesamanya.
Mereka adalah Rasnal dan Abdul Muis, dua guru dari Kabupaten Luwu Utara (Lutra) yang kini harus menerima nasib pahit: dipecat tidak dengan hormat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan divonis satu tahun penjara.
Padahal, niat awal keduanya sederhana menolong rekan-rekan guru honorer yang tidak menerima gaji selama 10 bulan.
Namun, niat baik itu justru berubah menjadi bumerang, menyeret mereka ke kursi pesakitan hingga akhirnya dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA).
Berawal dari Rasa Kepedulian, Berujung di Jeruji Besi
Kisah ini dimulai pada tahun 2018, ketika Rasnal baru saja menjabat sebagai Kepala SMAN 1 Luwu Utara. Di masa awal kepemimpinannya, ia menemukan kenyataan getir: ada lebih dari sepuluh guru honorer yang tidak kunjung menerima gaji selama berbulan-bulan.
Sebagai seorang pendidik dan pemimpin sekolah, hati Rasnal tak tega melihat para guru honorer yang setiap hari mengajar dengan penuh dedikasi hidup tanpa kepastian upah. Ia kemudian berdiskusi dengan bendahara komite sekolah, Abdul Muis, untuk mencari solusi.
Mereka pun berinisiatif menggelar rapat dengan Komite Sekolah dan orang tua murid. Dari pertemuan itu, disepakati adanya pungutan sukarela sebesar Rp20 ribu per siswa, yang hasilnya akan digunakan untuk membantu membayar guru-guru honorer yang belum gajian.
Keputusan itu, menurut Supri Balantja, salah satu mantan anggota Komite Sekolah, dilakukan secara terbuka dan disetujui bersama.
“Tidak ada paksaan. Bahkan wali murid sendiri yang mengusulkan agar iurannya dinaikkan dari Rp17 ribu menjadi Rp20 ribu,” ujarnya.
Namun, langkah yang lahir dari kepedulian itu ternyata dianggap melanggar hukum. Bertahun-tahun kemudian, sebuah LSM melaporkan Rasnal dan Abdul Muis ke Polres Luwu Utara atas dugaan tindak pidana korupsi.
Kasus itu terus bergulir hingga akhirnya sampai ke Mahkamah Agung. Di sana, kedua guru tersebut dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara satu tahun.
Vonis itu pun menjadi dasar bagi Gubernur Sulawesi Selatan untuk mengeluarkan surat keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
“Berdasarkan surat keputusan gubernur, Pak Rasnal dipecat pada 21 Agustus 2025, dan Pak Abdul Muis pada 4 Oktober 2025,” ungkap Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara, Rabu (12/11).
“Ini Bukan Korupsi, Ini Kemanusiaan”
Bagi Ismaruddin dan para guru di Luwu Utara, keputusan tersebut terasa seperti tamparan keras terhadap rasa keadilan.
Ia menyebut apa yang dilakukan kedua guru itu bukanlah kejahatan, melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap rekan sejawat dan dunia pendidikan.
“Ada something wrong di sini. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal hati nurani. Harusnya Gubernur bisa melihat dari sisi kemanusiaan. Guru-guru ini tidak memperkaya diri, mereka justru membantu,” tegas Ismaruddin.
Ia menilai, negara seharusnya tidak membiarkan sistem pendidikan gagal membiayai para pendidik, lalu justru menghukum mereka yang mencoba menutup celah kegagalan itu dengan cara manusiawi.
“Kasarnya, ini seperti negara menganiaya kehormatan seorang guru dan melegalkannya lewat putusan pengadilan,” ujar Supri Balantja penuh emosi.
PGRI Siapkan Langkah Hukum: Mohon Grasi ke Presiden
Sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “ketidakadilan yang dilegalkan”, PGRI Luwu Utara bersama Rasnal dan Abdul Muis kini bersiap mengajukan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Kami mohon kepada Bapak Presiden agar berkenan memberikan grasi kepada Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis. Mereka bukan koruptor, mereka hanya ingin memastikan rekan-rekannya bisa makan,” ujar Ismaruddin penuh harap.
Pemerintah Bertahan pada Jalur Hukum
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, Iqbal Nadjamuddin, menegaskan bahwa keputusan pemecatan keduanya bukanlah bentuk ketidakpekaan pemerintah, melainkan konsekuensi dari putusan hukum yang sudah inkrah.
“PTDH dilakukan murni karena putusan hukum pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap. Kami hanya menjalankan aturan. Undang-undang ASN jelas mengatur bahwa jika seorang ASN terlibat kasus pidana dan sudah inkrah, maka pemberhentian tidak hormat harus dilakukan,” kata Iqbal.
Menurutnya, sebelum keputusan itu keluar, pihak pemerintah telah menyurati Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk memastikan seluruh prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ironi di Negeri Pendidikan
Kasus Rasnal dan Abdul Muis kini menjadi cermin ironis dunia pendidikan Indonesia di mana guru yang mengulurkan tangan demi rekan sejawat justru dianggap bersalah.
Di tengah narasi besar tentang peningkatan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru, kisah dua pendidik dari pelosok Luwu Utara ini seolah menampar kesadaran bangsa.
Apakah benar hukum telah ditegakkan, atau justru keadilan yang dilanggar atas nama hukum?
Di mata banyak guru, Rasnal dan Abdul Muis bukanlah pelaku korupsi, melainkan korban dari sistem yang kering empati. Mereka bukan mencuri uang rakyat, tetapi berjuang agar rekan mereka tidak kelaparan.
Dan kini, mereka harus kehilangan bukan hanya kebebasan, tapi juga status, martabat, dan profesi yang telah mereka abdikan selama puluhan tahun untuk mencerdaskan anak bangsa.
“Guru Tidak Pernah Mati”
Meski dipecat dan divonis bersalah, nama Rasnal dan Abdul Muis akan tetap hidup di hati banyak orang.
Karena di mata mereka yang tahu cerita sebenarnya, dua guru itu bukanlah pelaku kejahatan mereka adalah pahlawan pendidikan yang dihukum karena kebaikan.
Mungkin benar, di negeri ini, menjadi guru berarti siap menanggung luka bukan karena murid, tapi karena sistem yang kadang buta terhadap niat baik.
(K)
#Viral #Peristiwa #SMAN1LuwuUtara