Breaking News

Anak Buah Gubernur Riau Sampai Gadai Sertifikat Demi Bayar 'Jatah Preman' Abdul Wahid

Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau M. Arief Setiawan (kanan) dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam (kiri)

D'On, Jakarta
– Fakta mencengangkan mencuat dari ruang penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau Tahun Anggaran 2025, para anak buah Gubernur Riau, Abdul Wahid, ternyata harus menanggung beban tak masuk akal.

Demi memenuhi permintaan “jatah preman” sang gubernur, sejumlah pejabat di Dinas PUPR-PKPP bahkan nekat menggadaikan sertifikat rumah dan meminjam uang ke bank.

‘Jatah Preman’ 5 Persen dari Uang Negara

Kisah korupsi ini bermula dari kebijakan gelap yang diselubungi ancaman. Menurut hasil penyidikan KPK, Abdul Wahid yang juga politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—mematok jatah 5 persen dari setiap proyek di Dinas PUPR-PKPP Riau.

Padahal, anggaran dinas tersebut baru saja melonjak tajam dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar. Dari lonjakan itulah, Wahid disebut mulai memungut “fee” yang dikamuflase sebagai bagian dari loyalitas terhadap pimpinan.

Yang lebih mengejutkan, ancaman evaluasi yang disampaikan Wahid dalam rapat bersama para kepala dinas ditafsirkan sebagai ancaman mutasi atau pencopotan jabatan. Artinya, siapa yang tak setor, siap-siap kehilangan kursi empuknya di pemerintahan.

“Dia sudah mengultimatum bawahannya sejak awal menjabat. Kalimatnya jelas: mataharinya hanya satu, dan semua harus tegak lurus kepadanya,” ungkap Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025).

Demi Setoran, Ada yang Gadai Sertifikat Rumah

Pernyataan Asep membuka fakta paling memilukan dalam kasus ini. Beberapa kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas PUPR-PKPP Riau terpaksa menggunakan uang pribadi untuk menutup permintaan setoran yang diminta melalui perantara.

Lebih parah lagi, ada yang meminjam ke bank, bahkan menggadaikan sertifikat tanah dan rumahnya.

“Karena kondisi APBD Riau defisit hingga Rp2,5 triliun, anggaran proyek belum cair. Tapi permintaan setoran tetap jalan,” kata Asep.
“Jadi, mereka pinjam uang ke bank, bahkan ada yang sampai menggadaikan sertifikat,” lanjutnya dengan nada prihatin.

Dengan APBD yang bocor di banyak sisi, tindakan tersebut menunjukkan betapa kuat tekanan struktural dari pucuk pimpinan. Para kepala UPT yang semestinya fokus menjalankan pembangunan justru berubah menjadi ‘mesin pengumpul uang’ bagi gubernur mereka.

Sudah Direncanakan Sejak Hari Pertama Menjabat

KPK mengungkap, kebiasaan “minta jatah” itu bukan spontanitas, melainkan direncanakan sejak awal Abdul Wahid dilantik sebagai gubernur.

Pada rapat pertamanya bersama jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Wahid sudah memerintahkan seluruh kepala dinas agar “tegak lurus kepada matahari”  istilah yang kemudian menjadi simbol kekuasaan tunggal dirinya.

Setelah itu, perintah demi perintah pun turun melalui Kepala Dinas PUPR-PKPP, M Arief Setiawan, yang bertindak sebagai tangan kanan sang gubernur. Dari sanalah, sistem “setoran wajib” mulai berjalan rapi.

Setoran Berulang: Uang Mengalir dari Bawahan ke Gubernur

Hasil penyelidikan KPK menemukan, sepanjang Juni hingga November 2025, setidaknya tiga kali terjadi setoran uang haram ke tangan Abdul Wahid.
Rinciannya sebagai berikut:

  • Juni 2025: Terkumpul Rp1,6 miliar. Dari jumlah itu, Rp1 miliar mengalir ke Wahid lewat Dani M Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur.
  • Agustus 2025: Dikumpulkan Rp1,2 miliar untuk kebutuhan internal dinas.
  • November 2025: Terkumpul Rp1,25 miliar. Sebesar Rp800 juta diduga diserahkan langsung kepada Wahid.

Total sementara yang diterima Wahid selama periode tersebut mencapai Rp4,05 miliar, dari target jatah Rp7 miliar yang telah disepakati bersama bawahannya.

Istilah ‘Jatah Preman’ di Lingkungan Dinas

Fakta menarik lainnya: di internal Dinas PUPR-PKPP Riau, praktik kotor ini bahkan punya istilah khusus: “jatah preman”.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menjelaskan bahwa istilah tersebut lahir dari percakapan antarpejabat yang resah namun tak berdaya.
Semuanya berawal dari sebuah pertemuan rahasia di salah satu kafe di Pekanbaru, antara Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda (FRY) dan enam kepala UPT Jalan dan Jembatan pada Mei 2025.

Dalam pertemuan itu, Ferry meminta kesanggupan bawahannya untuk menyetor “fee” sebesar 2,5 persen, tapi permintaan itu kemudian dinaikkan menjadi 5 persen oleh Arief Setiawan  atas perintah langsung Abdul Wahid.

“Siapa yang menolak, akan dimutasi atau dicopot,” ujar Tanak.
Sejak saat itu, istilah “jatah preman” menjadi sandi di antara pejabat dinas. Mereka tahu risikonya, tapi juga tahu bahwa menolak berarti karier mereka tamat.

Operasi Tangkap Tangan dan Uang Asing di Rumah Gubernur

Akhir kisah ini terjadi pada Senin (3/11/2025). Saat transaksi setoran ketiga berlangsung, tim KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Petugas mengamankan Arief Setiawan, Ferry Yunanda, dan lima kepala UPT wilayah I, III, IV, V, dan VI, beserta uang tunai Rp800 juta.
Namun, Abdul Wahid tak ada di lokasi. Ia sempat bersembunyi, sebelum akhirnya ditangkap di sebuah kafe di Pekanbaru bersama orang kepercayaannya, Tata Maulana (TM).

Dari hasil penggeledahan di rumah pribadinya di Jakarta Selatan, penyidik menemukan uang dalam pecahan asing:

  • 9.000 Poundsterling
  • USD 3.000,
    yang jika dikonversi total bernilai sekitar Rp800 juta.
    Sehingga total uang yang disita KPK dari operasi ini mencapai Rp1,6 miliar.

Tiga Tersangka, Satu Sistem Rusak

KPK akhirnya menetapkan tiga orang sebagai tersangka:

  1. Abdul Wahid, Gubernur Riau
  2. M Arief Setiawan, Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau
  3. Dani M Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur

Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 e dan f serta Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Kini, Abdul Wahid ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK, sementara dua bawahannya mendekam di Rutan Gedung Merah Putih.

Catatan Akhir: Sistem yang Tersandera oleh Ketakutan

Kasus Abdul Wahid bukan sekadar kisah tentang pejabat yang tamak. Ia menggambarkan bagaimana kekuasaan bisa melahirkan ketakutan sistemik.
Bawahan dipaksa loyal, meski harus menjual harta dan menggadaikan masa depan.

Sementara di balik semua itu, uang negara yang seharusnya membangun jalan dan jembatan justru mengalir untuk memuaskan keserakahan segelintir orang.

Dan yang paling tragis seperti yang diungkap KPK semuanya dilakukan saat keuangan daerah tengah defisit Rp2,5 triliun.

(TP)

#OTTKPK #KPK #GubernurRiauKenaOTT