Breaking News

Mahasiswi Diperkosa, Disuruh Nikah dengan Pelaku: Lapor Polisi Malah Disuruh Visum Sendiri

Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Shutterstock

D'On, Jember
 – Di sebuah kamar kecil di Kecamatan Balung, Jember, ketenangan malam berubah jadi mimpi buruk bagi seorang mahasiswi berinisial SF. Saat dini hari, sekitar pukul 02.00 WIB, Selasa (14/10/2025), tetangganya sendiri, SA (27), memaksa masuk melalui jendela dan memperkosanya.

Ketika SF berteriak, pelaku mencekik dan memukul wajah serta lengannya hingga lebam. Di bawah ancaman akan dibunuh jika melawan, SF tak berdaya. Setelah puas melampiaskan hasratnya, pelaku dengan dingin mengaku telah merencanakan aksinya dan bahkan menenggak minuman keras sebelum menyerang.

Dari Laporan Korban ke “Tawaran Nikah”

Begitu pagi datang, SF yang masih gemetar mendatangi rumah kepala desa untuk meminta perlindungan. Namun, bukannya dibantu, ia malah dihadapkan pada tawaran memalukan: dinikahkan dengan pelaku demi “menjaga nama baik keluarga.”

Ternyata, pelaku adalah kerabat kepala desa. Saran itu tentu ditolak mentah-mentah oleh korban. Dalam kondisi trauma, tanpa pendampingan dari pemerintah desa, SF akhirnya melapor sendiri ke Polsek Balung, ditemani beberapa kerabat.

Namun, ketika aparat mendatangi rumah SA, pelaku sudah kabur. Ia hilang tanpa jejak, sementara korban ditinggalkan dalam ketakutan.

Negara Absen, Korban Bayar Visum Sendiri

Laporan SF tidak serta-merta mendapat respons cepat. Ia bahkan harus membiayai sendiri visum di rumah sakit sebuah prosedur yang seharusnya difasilitasi oleh aparat atau pemerintah daerah sebagai bagian dari perlindungan korban kekerasan seksual.

“Pelaku bebas berkeliaran karena lambannya penanganan awal. Ini menciptakan trauma baru bagi korban,” ujar Nurul Hidayah, Ketua PC Fatayat NU Jember.

Kasus ini kini dikawal oleh LBH IKA PMII Jember, Kopri PMII Jember, dan PC Fatayat NU Jember. Ketiganya menilai, lambannya aparat memperlihatkan betapa UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih gagal diterapkan di tingkat lokal.

“Secara hukum, negara wajib hadir sejak hari pertama korban melapor. Tapi yang terjadi justru korban harus berjuang sendirian,” tegas Nurul.

Polisi Bergerak Setelah Sorotan Publik

Setelah berita kasus ini menyebar luas dan memicu kemarahan publik, Polres Jember akhirnya turun tangan dan mengambil alih penyidikan dari Polsek Balung pada Selasa (21/10/2025).

Kapolres Jember AKBP Bobby A. Candra Putra berjanji menangani perkara ini secara cepat dan transparan.
“Unit Resmob dan tim IT sudah bergerak di lapangan. Kami pastikan tidak ada ruang damai. Kasus ini harus diproses secara hukum sampai tuntas,” ujarnya tegas.

Bobby juga memastikan status perkara telah naik dari penyelidikan ke penyidikan, artinya penyidik telah menemukan bukti permulaan yang cukup. Korban kini mendapat perlindungan dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), meski terlambat beberapa hari setelah laporan dibuat.

Kepala Desa Diperiksa, Dituding Halangi Laporan

Sementara itu, Inspektorat Kabupaten Jember memeriksa kepala desa tempat korban tinggal. Pemeriksaan dilakukan setelah muncul aduan publik bahwa kepala desa melindungi pelaku dan menghalangi pelaporan korban ke polisi.

Menurut Inspektur Jember, Ratno Cahyadi Sembodo, hasil klarifikasi menunjukkan kepala desa memang menawarkan dua opsi kepada korban: menikah dengan pelaku atau melapor ke polisi.
“Ini bentuk kelalaian dalam pelayanan publik dan pelanggaran prinsip netralitas. Kepala desa seharusnya melindungi warganya, bukan malah menormalisasi kejahatan,” ujar Ratno.

Kepala desa mengaku pelaku masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Ia bahkan sempat mendatangi rumah pelaku, namun beralasan pelaku sudah pergi. Ironisnya, ia tidak melapor kepada camat atau aparat di atasnya, sehingga pengawasan baru berjalan setelah kasus ini viral di media sosial.

Inspektorat kini telah menyiapkan rekomendasi sanksi administratif dan menyerahkannya kepada Bupati Jember.

Potret Buram Penegakan UU TPKS

Kasus SF membuka kembali luka lama: betapa perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di akar rumput masih sangat rapuh. UU TPKS yang dijanjikan sebagai payung hukum perlindungan nyatanya belum sepenuhnya diimplementasikan.

Dari aparat desa yang abai, hingga penegak hukum yang lamban, korban dipaksa menanggung luka fisik dan psikis sendirian. Ia bukan hanya diperkosa oleh pelaku, tapi juga oleh sistem yang seharusnya melindunginya.

“Kalau negara sungguh menjalankan mandat UU TPKS, korban seperti SF tidak akan dibiarkan hidup dalam ketakutan,” kata Nurul Hidayah menutup keterangannya.

Kini, semua mata tertuju ke Jember. Apakah aparat benar-benar akan menuntaskan kasus ini atau membiarkannya jadi satu lagi kisah getir tentang perempuan yang diperkosa dua kali: oleh pelaku, dan oleh negara yang abai.

(K)

#Perkosaan #Kriminal