Kejagung Ungkap Skandal Pembalakan Liar di Mentawai: Kayu Meranti Senilai Rp239 Miliar Disulap Jadi "Legal" oleh Korporasi dan Individu
Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, saat diwawancarai wartawan di Puspenkum Kejagung, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
D'On, Jakarta — Sebuah operasi besar-besaran yang digelar Tim Gabungan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) akhirnya membongkar praktik kejahatan kehutanan yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Dari balik rimbunnya hutan di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dua tersangka utama kasus pembalakan liar kayu meranti yang diduga dilakukan secara sistematis dan terorganisir.
Dua pihak yang kini resmi menjadi tersangka adalah IM, seorang individu yang berperan sebagai pelaksana lapangan, dan PT Berkah Rimba Nusantara (BRN), sebuah korporasi yang diduga menjadi otak dari operasi ilegal logging tersebut. Keduanya, menurut Kejagung, bekerja sama menebang ribuan meter kubik kayu meranti dari kawasan hutan negara, lalu mengaburkannya melalui dokumen palsu agar tampak seolah legal.
“Satu tersangka perorangan dan satu tersangka korporasi, masing-masing berinisial IM dan PT BRN,” ujar Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (14/10).
Dari Rimba Mentawai ke Pelabuhan Gresik: Jejak Kayu Ilegal yang Terendus Aparat
Operasi ini bermula dari kecurigaan Tim Satgas PKH terhadap pergerakan tongkang Kencana Sanjaya & B yang menarik tagboat Jenebora I menuju Pelabuhan Gresik, Jawa Timur. Setelah dilakukan pemeriksaan mendalam, tim menemukan muatan mencurigakan: 4.610 meter kubik kayu bulat meranti seluruhnya tanpa dokumen resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kayu-kayu tersebut ternyata berasal dari Hutan Sipora, kawasan hutan lindung yang seharusnya steril dari aktivitas penebangan. “Kayu itu berasal dari kawasan hutan negara di Pulau Sipora, Mentawai. Kami pastikan aktivitas itu tidak memiliki izin resmi,” ungkap Anang.
Barang bukti kemudian disita di Pelabuhan Gresik, menandai terbongkarnya rantai panjang perdagangan kayu ilegal yang selama ini lolos dari pantauan aparat.
Modus Canggih: Memalsukan Dokumen Legalitas Kayu
Menurut Kejagung, PT BRN menggunakan modus pemalsuan dokumen legalitas agar kayu hasil tebangannya tampak seperti berasal dari lahan berizin. Dalam dokumen tersebut, perusahaan ini mengklaim memiliki Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) seluas 140 hektare.
Namun, hasil penyelidikan membuktikan fakta sebaliknya: area yang ditebang meluas hingga lebih dari 730 hektare, jauh melebihi batas izin. Artinya, sebagian besar kayu berasal dari hutan kawasan negara—wilayah yang sama sekali tidak boleh digarap tanpa izin pemerintah.
“Mereka seolah-olah menggunakan dokumen legal yang menunjukkan kepemilikan sah atas lahan 140 hektare. Tapi hasil investigasi menunjukkan kayu-kayu itu ditebang dari kawasan hutan negara,” kata Anang.
Rantai Perdagangan: Dari Sipora ke Gresik dan Jepara
Kayu meranti hasil pembalakan liar itu, lanjut Anang, tidak berhenti di Gresik. Berdasarkan temuan Satgas, hasil tebangan tersebut juga dijual ke pengusaha mebel di Jepara, Jawa Tengah, sejak Juli hingga Oktober 2025.
Dalam rentang waktu hanya empat bulan, ribuan meter kubik kayu meranti—salah satu jenis kayu bernilai tinggi di pasar ekspor berhasil dipasarkan melalui jalur laut dan darat. Keuntungan menggiurkan diperoleh para pelaku, sementara hutan Mentawai kehilangan sebagian besar tutupan pohonnya.
Kerugian Negara: Ekosistem Rusak, Uang Rakyat Melayang
Dampak dari pembalakan liar ini bukan sekadar kerugian materi, melainkan juga kehancuran ekosistem yang sulit diperbaiki. Dari hasil perhitungan tim ahli, kerugian negara mencapai Rp239 miliar, terdiri dari:
- Kerugian ekosistem: Rp198 miliar
- Nilai ekonomi kayu: Rp41 miliar
Kerugian ekosistem ini mencakup hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon, pelindung sumber air, dan habitat satwa liar endemik Mentawai yang kini semakin terancam punah.
“Kerugian tidak hanya dihitung dari nilai kayu, tapi juga dari rusaknya ekosistem hutan yang seharusnya dilindungi,” tegas Anang.
Jerat Hukum: 15 Tahun Penjara dan Denda Rp15 Miliar
Kasus ini kini ditangani secara gabungan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK bersama Kejaksaan Agung. Para pelaku dijerat dengan Undang-Undang Kehutanan serta Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar.
“Ini bukan kejahatan biasa. Ini kejahatan lingkungan terorganisir yang merugikan negara dan generasi mendatang,” ujar Anang menegaskan.
Hutan yang Menangis di Mentawai
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa pembalakan liar bukan sekadar tindak pidana ekonomi, tetapi juga pengkhianatan terhadap masa depan lingkungan. Hutan Sipora yang dahulu menjadi paru-paru Kepulauan Mentawai kini menyisakan luka besar akibat kerakusan manusia dan korporasi.
Di balik angka-angka dan pasal hukum, tersisa pertanyaan yang lebih mendasar: berapa banyak lagi hutan yang harus hilang sebelum keadilan benar-benar ditegakkan di bumi pertiwi ini?
(Mond)
#IllegalLogging #HutanMentawai #KejaksaanAgung #PembalakanLiar