Kegagalan Timnas: Cermin Rapuhnya Fondasi Sepak Bola Kita
Timnas Indonesia
Dirgantaraonline - Kegagalan Tim Nasional Indonesia melaju ke babak berikutnya dalam ajang Piala Dunia bukan sekadar kegagalan di lapangan hijau. Ia adalah tamparan bagi nurani nasional, sebuah alarm yang menyadarkan kita bahwa selama ini kita terlalu sibuk mengejar hasil cepat, tapi lupa menanam pondasi yang kokoh.
Di setiap sudut negeri, dari warung kopi hingga ruang redaksi, rasa kecewa itu sama getir, tapi juga menyala-nyala. Sebab rakyat Indonesia bukan hanya ingin menang, mereka ingin melihat harga diri bangsa berdiri tegak di lapangan sepak bola dunia.
“Kita boleh kalah di lapangan, tapi jangan sampai kalah dalam harga diri.”
Kemenangan Tak Datang dari Jalan Pintas
Sepak bola tidak mengenal keajaiban instan. Ia tidak lahir dari pidato pejabat, tidak tumbuh dari proyek dadakan, dan tidak bisa disulap dengan kebijakan populis.
Keberhasilan hanya bisa lahir dari sistem yang terencana, proses yang disiplin, dan kesabaran kolektif.
Jepang, Korea Selatan, bahkan Irak membuktikan hal itu bahwa fondasi jauh lebih penting daripada nama besar.
Sayangnya, Indonesia justru terjebak dalam euforia hasil cepat.
Kebijakan naturalisasi massal menjadi pilihan utama, seolah-olah tiket menuju kejayaan bisa dibeli.
Padahal naturalisasi bukanlah solusi, melainkan alat pelengkap dari sistem yang seharusnya kuat.
Yang kita butuhkan bukan sekadar pemain impor, tapi sistem pembinaan yang menanamkan karakter, disiplin, dan nasionalisme.
Dana Besar, Hasil Kecil
Beberapa sumber menyebutkan bahwa program tim nasional yang didukung pemain naturalisasi menelan biaya hingga puluhan juta dolar AS.
Jumlah fantastis yang seharusnya cukup untuk membangun akademi muda di setiap provinsi, melatih ratusan pelatih lokal, menyediakan gizi dan fasilitas atlet usia dini, dan mencetak generasi baru yang lahir dari tanah sendiri.
Jika bangsa sebesar Indonesia dengan hampir 300 juta jiwa tidak mampu melahirkan 50 pemain berkelas dunia, persoalannya jelas bukan pada bakat, tapi pada manajemen dan prioritas.
Kita terlalu sering mencari cara mudah, padahal jalan panjang adalah satu-satunya jalan yang benar.
Belajar dari Mereka yang Membangun
Jepang butuh 25 tahun untuk menanam sistem sepak bola modernnya.
Mereka menanam filosofi bermain sejak anak usia sekolah, membangun kompetisi berlapis, dan menghormati pelatih lokal seperti ilmuwan.
Australia menerapkan pendekatan ilmiah dalam olahraga; Arab Saudi mengelola sepak bola sebagai kebanggaan nasional, bukan proyek pribadi.
Bahkan Irak negara yang porak-poranda oleh perang masih bisa tampil militan di lapangan.
Semua karena satu hal: mereka punya mimpi yang dijalankan dengan disiplin.
“Kita kalah bukan karena kurang talenta, tapi karena kurang percaya diri pada kemampuan sendiri.”
Apresiasi untuk Para Pejuang, Tapi Saatnya Berbenah
Kita tetap harus menghormati para pemain naturalisasi yang telah berjuang dengan sepenuh hati.
Mereka telah mengorbankan banyak hal untuk membela Merah Putih dan itu tidak bisa diremehkan.
Namun, rasa hormat itu justru menjadi alasan mengapa kita tidak boleh terus bergantung pada mereka.
Bangsa besar harus berdiri di atas kakinya sendiri.
Kita perlu membangun sistem pembinaan yang terstruktur dan berkelanjutan.
Bukan hanya demi medali, tapi demi kehormatan nasional.
Sepak bola bukan lagi sekadar hiburan rakyat, melainkan tolok ukur peradaban manajemen bangsa.
Sepak Bola Bukan Panggung Politik
Inilah kenyataan yang sering kita abaikan:
Sepak bola di negeri ini terlalu sering dijadikan alat politik.
Prestasi menjadi bahan promosi, kemenangan dijadikan komoditas citra.
Padahal, sepak bola adalah milik rakyat bukan milik partai, pejabat, atau federasi tertentu.
Ia lahir dari teriakan suporter di tribun, dari keringat bocah kampung yang berlatih di lapangan tanah, dari dedikasi pelatih yang tak pernah disorot kamera.
Menodai kesucian itu dengan ambisi politik hanyalah memperpanjang daftar kegagalan moral kita sendiri.
Waktunya Jujur dan Rendah Hati
Kita harus bertanya dengan berani:
Apakah kita benar-benar mencintai sepak bola, atau hanya mencintai popularitas yang mengiringinya?
Apakah kita ingin membangun bangsa yang tangguh, atau sekadar ingin terlihat gagah di layar kaca?
Kebanggaan sejati tidak dibeli. Ia lahir dari proses panjang, kerja keras, dan kesetiaan pada cita-cita.
Jika kita terus berlari di jalan pintas, maka setiap kemenangan hanya akan jadi kebetulan, bukan kebanggaan.
“Kita tidak butuh pahlawan dadakan. Kita butuh sistem yang jujur, disiplin, dan tahan lama.”
Penulis Mencatat
Kegagalan kali ini adalah momentum mawas diri nasional.
Sudah saatnya seluruh pemangku kepentingan sepak bola Indonesia pemerintah, federasi, pelatih, sponsor, dan suporter duduk satu meja dan menatap satu arah:
membangun dari akar, bukan dari atap.
Mari berhenti mengulang kesalahan yang sama.
Mari gunakan dana besar itu untuk akademi, pelatih lokal, dan riset pemain muda.
Mari kembalikan sepak bola ke pangkuan rakyat, tempat ia seharusnya tumbuh.
Karena kelak, ketika “Indonesia Raya” bergema di stadion dunia, kita ingin tahu bahwa pemain yang berdiri gagah di lapangan itu bukan hasil impor, melainkan anak-anak bangsa sendiri.
Dan pada hari itu, dunia akan menyadari
bahwa Indonesia akhirnya menang,
bukan karena uang,
tetapi karena harga diri.
“Menulis bukan sekadar menyuarakan, tapi mengingatkan bangsa untuk tidak lupa pada jati dirinya.”
Penulis: Osmond Abu Khalil
#Opini #Sepakbola #Olahraga