Heboh Aqua Pakai Air Sumur Bor, Menteri Lingkungan Hidup Bongkar Fakta Mengejutkan
D'On, Jakarta - Gelombang kehebohan melanda publik setelah beredar video Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi alias Kang Dedi Mulyadi (KDM), saat melakukan kunjungan ke sebuah pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) di Subang, Jawa Barat.
Dalam video yang viral itu, ekspresi terkejut KDM seolah mewakili banyak orang: sumber air baku yang digunakan untuk memproduksi air minum ternyata bukan dari mata air pegunungan seperti yang selama ini dipercaya, melainkan air sumur bor alias air tanah.
Namun sebelum video itu ramai di media sosial, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq sudah lebih dulu menyampaikan temuan penting yang kini kembali jadi sorotan.
Dalam forum diskusi publik bertajuk Mindialogue CNBC Indonesia, Hanif dengan tegas mengatakan bahwa sebagian besar air minum dalam kemasan yang beredar di Indonesia sesungguhnya berasal dari air tanah, bukan air pegunungan sebagaimana yang kerap ditulis di label botol.
“Jangan Terpedaya Label Air Pegunungan”
Hanif menyampaikan peringatannya dengan nada serius. Ia meminta masyarakat lebih kritis dan tidak begitu saja mempercayai label “air pegunungan” yang menghiasi botol air kemasan.
Menurutnya, hingga kini belum ada satu pun perusahaan air minum yang benar-benar menggunakan air permukaan atau air pegunungan secara berkelanjutan (sustainable).
“Bapak jangan terpedaya oleh minuman-minuman yang ada di atas meja itu. Belum ada satupun minuman kemasan yang menggunakan air permukaan secara sustainable untuk produknya. Hanya untuk pricing-nya, iya,” ujar Hanif lugas, dikutip Minggu (25/10/2025).
Hanif mengakui, strategi branding yang mengangkat citra “alami” dan “pegunungan” memang ampuh menarik konsumen. Namun, di balik label yang menenangkan itu, terdapat persoalan serius: eksploitasi air tanah secara masif yang berpotensi mengancam keseimbangan lingkungan.
Ancaman Krisis Air Tanah
Dalam penjelasannya, Hanif menyebutkan bahwa praktik pengambilan air tanah berlebihan oleh perusahaan air minum dapat menimbulkan dampak ekologis jangka panjang. Air tanah, kata dia, bukanlah sumber daya yang bisa pulih dengan cepat.
“Semisal kita perusahaan air minum, tanpa memperhatikan konservasi jangka panjang, suatu ketika suplai air akan terbatas. Saya tidak usah sebut mereknya. Namanya air minum pegunungan, tetapi yang digunakan air tanah,” kata Hanif menekankan.
Ia menambahkan, air tanah memiliki tingkat pemulihan yang sangat lambat. Laju rembesannya hanya sekitar 100 sentimeter per hari, sehingga bila terus dieksploitasi tanpa perhitungan, cadangannya bisa menyusut drastis dan memicu kekeringan.
“Konsep konservasi sebagai investasi jangka panjang ini masih sebatas drama. Baru sebatas mantra yang sering diucapkan perusahaan, belum benar-benar diimplementasikan,” tambahnya menohok.
Klarifikasi dari Danone Aqua: “Kami Gunakan Air Aquifer Pegunungan”
Menanggapi isu yang bergulir liar di publik, pihak Danone Aqua akhirnya buka suara.
Melalui Corporate Communication Director Danone Aqua, Arif Mujahidin, perusahaan menjelaskan bahwa sumber air di pabrik Subang memang berasal dari lapisan air tanah (aquifer) namun aquifer tersebut berada di kawasan pegunungan, bukan di dataran rendah seperti yang diasumsikan sebagian pihak.
“Sumber airnya ada di aquifer tanah area pegunungan. Pengambilannya di pabrik Subang menggunakan pipa untuk memastikan air sumber tetap terjaga dari potensi cemaran selama dialirkan ke proses produksi,” ujar Arif kepada CNBC Indonesia, Kamis (23/10/2025).
Arif menjelaskan, air dari aquifer pegunungan memiliki karakteristik yang berbeda dibanding air tanah di dataran rendah.
Menurutnya, lapisan aquifer di daerah pegunungan memiliki sistem penyaringan alami dari batuan dan vegetasi yang menjadikan airnya tetap jernih dan layak konsumsi.
“Yang membedakan karakter hidrologinya adalah lokasi pengambilan. Air dari aquifer di wilayah pegunungan berbeda dengan di wilayah dataran rendah,” katanya.
Perdebatan Publik: Antara Fakta Ilmiah dan Citra Komersial
Isu ini memunculkan perdebatan hangat di kalangan masyarakat.
Sebagian pihak menilai publik selama ini tertipu oleh strategi pemasaran yang menampilkan citra pegunungan hijau dan air murni alami.
Sementara pihak lain berpendapat bahwa penggunaan air tanah dari aquifer pegunungan masih dapat dibenarkan selama dilakukan secara berkelanjutan dan diawasi ketat oleh otoritas lingkungan.
Para pemerhati lingkungan menegaskan bahwa transparansi asal-usul air baku menjadi hal yang penting agar konsumen bisa memilih produk dengan kesadaran penuh.
Apalagi, di tengah ancaman krisis air global, praktik pengelolaan sumber daya air seharusnya tidak hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi, tapi juga kelestarian alam dan hak masyarakat atas air bersih.
Saatnya Industri Air Minum Lebih Jujur dan Bertanggung Jawab
Kasus viral ini membuka kembali perdebatan klasik: apakah air minum dalam kemasan benar-benar “alami”, atau hanya dikemas dalam narasi alam yang dikomersialisasi?
Temuan Menteri Hanif Faisol dan klarifikasi Danone Aqua menjadi pengingat penting bahwa label di botol tidak selalu seindah kenyataan di lapangan.
Jika praktik eksploitasi air tanah terus dilakukan tanpa konservasi berkelanjutan, maka yang tersisa bukan lagi air pegunungan yang menyegarkan melainkan bumi yang perlahan kehausan.
(CNBC)
#Bisnis #Viral #Aqua #Nasional #MenteriLingkunganHidup
