Direktur Tertipu Rp6,3 M, Wanita Ngaku Bisa Chat dengan Dewa via WhatsApp
wanita surabaya ngaku bisa komunikasi dengan dewa (istimewa)
D'On, Surabaya - Di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (14/10), seorang wanita bernama Arfita, Direktur CV Sentosa Abadi Steel, duduk tenang di kursi pesakitan. Di balik wajahnya yang tampak datar, tersimpan kisah manipulasi luar biasa kisah tentang bagaimana ia berhasil membungkus penipuan dengan bungkus keimanan dan teknologi, membuat atasannya sendiri menyerahkan uang miliaran rupiah tanpa curiga.
Arfita bukan sekadar pelaku penggelapan uang biasa. Ia membangun ilusi spiritual yang sistematis, memposisikan dirinya sebagai “perantara langit,” mengaku memiliki indera keenam dan kemampuan berkomunikasi langsung dengan para dewa melalui WhatsApp.
Ya, WhatsApp. Aplikasi pesan instan yang sehari-hari digunakan untuk urusan bisnis dan keluarga, kini menjadi “panggung spiritual” bagi Arfita menjalankan tipu daya yang begitu rapi hingga menyeret uang Rp 6,3 miliar dari rekening perusahaan ke kantong pribadinya.
Awal Jerat: Antara Keyakinan dan Kepolosan
Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hajita Cahyo Nugroho dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, kisah ini berawal dari hubungan profesional antara Arfita dan Alfian Lexi, Direktur Utama CV Sentosa Abadi Steel. Alfian dikenal religius, percaya bahwa rezeki dan kesuksesan erat dengan sedekah dan restu spiritual.
Celah keyakinan inilah yang dimanfaatkan Arfita.
Ia mengaku mampu berkomunikasi dengan empat dewa:
- Dewa Ko Iwan, sang dewa kehidupan,
- Dewa Ko Jo, penjaga jodoh dan hubungan,
- Dewa Ko Bram, pelindung kekayaan,
- dan Dewa Ko Billy, sumber pengetahuan dan kebijaksanaan.
Kepada Alfian, Arfita meyakinkan bahwa para dewa itu bisa menurunkan berkah bagi usahanya asal ia mau memberi “derma” sesuai petunjuk ilahi yang disampaikan lewat dirinya.
Untuk memperkuat tipu dayanya, Arfita meminta empat ponsel berbeda, masing-masing diklaim digunakan untuk “berkomunikasi” dengan satu dewa tertentu. Dari empat ponsel itu, ia mengirim pesan WhatsApp ke Alfian, berpura-pura sebagai para dewa yang sedang “berbicara langsung dari langit.”
Pesan-pesan itu berisi permintaan derma, sedekah, atau donasi untuk panti asuhan, panti jompo, hingga pembelian hewan kurban. Formatnya dibuat formal dan penuh “bahasa spiritual,” lengkap dengan salam dan nasihat, agar terkesan suci dan sakral.
Keyakinan yang Membutakan
Alfian, yang percaya penuh pada “mukjizat komunikasi langit” itu, mentransfer uang secara rutin. Awalnya hanya 10 persen dari pendapatan usaha, namun karena “pesan para dewa” makin sering datang, jumlahnya meningkat menjadi 25 persen.
Setiap transfer dilakukan ke rekening pribadi Arfita, dengan alasan “penyaluran langsung ke panti asuhan yang direkomendasikan para dewa.”
Dari hasil penyelidikan, tercatat total Rp 6.318.656.908 mengalir ke rekening Arfita di beberapa bank besar seperti BCA dan BNI. Tapi bukan ke panti asuhan uang itu pergi melainkan ke toko perhiasan, dealer mobil, dan tempat hiburan.
“Sebagian besar dana digunakan untuk keperluan pribadi, mulai dari pembelian perhiasan, pembayaran cicilan kendaraan, hingga pengeluaran harian,” ujar JPU Hajita dalam sidang.
Donasi Palsu dan Tanda Terima Rekayasa
Jaksa juga membeberkan bagaimana Arfita menyamarkan jejak uang itu agar tetap tampak “suci.” Ia menyalurkan sebagian kecil uang ke panti-panti asuhan sungguhan, tapi nilainya sangat kecil dibanding total dana yang diterima.
- Rp 500 ribu ke Panti Asuhan Bhakti Luhur, Sidoarjo.
- Donasi barang sekitar Rp 1 juta ke Panti Asuhan Yatim Piatu Sumber Kasih, Surabaya.
- Rp 500 ribu ke Perhimpunan Ora Et Labora, tahun 2025.
Lebih licik lagi, Arfita meminta pihak panti menandatangani surat ucapan terima kasih seolah-olah donasi itu telah rutin diberikan sejak beberapa tahun sebelumnya. Dokumen itu kemudian ia tunjukkan ke Alfian sebagai “bukti keabsahan derma.”
Dengan bukti palsu itu, keyakinan Alfian semakin menguat hingga kebenaran akhirnya terungkap dengan cara yang paling ironis.
Tersadar Setelah Curhat di Bali
Awal 2025, Alfian yang sudah bertahun-tahun rutin “berderma atas perintah para dewa,” tanpa sengaja menceritakan pengalamannya kepada seorang teman bernama Benny di Bali. Mendengar kisah itu, Benny hanya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menepuk bahu Alfian dan berkata:
“Bro, dewa nggak pakai WhatsApp.”
Ucapan itu menjadi tamparan keras. Benny lalu menjelaskan, tak ada lembaga keagamaan atau amal resmi yang menerima donasi tanpa tanda terima sah, apalagi lewat nomor pribadi. Barulah Alfian sadar: selama ini ia bukan berkomunikasi dengan para dewa, tapi dengan manusia yang memanfaatkan imannya.
Alfian pun bersama keluarganya dan rekan bisnis mendatangi rumah Arfita di Surabaya, meminta penjelasan dan bukti penyaluran dana. Namun Arfita tak bisa menunjukkan apa pun, selain dalih dan alasan yang berputar-putar.
Dakwaan Berat: Penipuan dan Penggelapan
Kasus ini akhirnya bergulir ke meja hijau. Jaksa menjerat Arfita dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
“Perbuatan terdakwa dilakukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan,” tegas JPU Hajita.
Dalam sidang perdana, kuasa hukum Arfita mencoba mengulur waktu dengan mengajukan eksepsi.
“Kami ajukan eksepsi, Yang Mulia,” ucapnya singkat.
Namun di hadapan publik, cerita ini telah menjadi pelajaran mahal: bahwa di era digital, penipuan tak lagi butuh dukun atau roh halus cukup ponsel pintar dan kreativitas untuk memainkan psikologi manusia.
Antara Mistisisme dan Manipulasi
Kasus Arfita menunjukkan sisi gelap dari kepercayaan yang buta. Di tangan orang licik, spiritualitas bisa jadi alat manipulasi, dan teknologi jadi senjata penipuan.
Kini, nasib Arfita berada di tangan majelis hakim. Sementara Alfian harus menatap kenyataan pahit: kepercayaannya yang tulus kepada langit justru dirampas oleh seseorang yang berpura-pura menjadi perantara surga melalui pesan singkat yang seharusnya hanya berisi “Selamat pagi.”
(L6)
#Hukum #Kriminal #Penipuan