Dari Seragam Kehormatan ke Jeruji Besi: Eks Kapolres Ngada Dibui 19 Tahun karena Lecehkan 3 Anak

Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman saat sidang etik di Mabes Polri, Senin (17/3/2025). Foto: Dok. Polri
D'On, NTT - Nama AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja dulu disegani di lingkup kepolisian Nusa Tenggara Timur. Ia pernah berdiri tegak sebagai Kapolres Ngada, mengenakan seragam kebanggaan dengan tanda pangkat di pundak simbol kehormatan dan kepercayaan publik.
Namun kini, kehormatan itu luluh lantak. Di balik tembok dingin Lapas, Fajar menanggung akibat dari kejahatan yang mencoreng seragam yang dulu ia kenakan dengan bangga: kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur.
Terbongkar Lewat Operasi Propam
Fajar ditangkap pada 20 Februari 2025 oleh tim gabungan Divisi Propam Polri dan Bidang Propam Polda NTT, setelah muncul dugaan kuat bahwa ia melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun.
Kasus ini tak sekadar memalukan; ia menjadi luka bagi institusi kepolisian yang selama ini dituntut menjadi pelindung masyarakat, terutama anak-anak.
Yang lebih mengejutkan, Fajar tak bertindak sendirian. Ia dibantu seorang perempuan muda berusia 20 tahun, SHDR alias Stefani alias F, yang berperan sebagai “penyalur” anak-anak untuk dipuaskan nafsu sang perwira.
Fakta ini mengguncang publik dan aparat. Dalam hitungan minggu, reputasi Fajar runtuh.
Diberhentikan Tidak Hormat: Akhir Karier yang Kelam
Hanya sebulan setelah penangkapan, 17 Maret 2025, sidang etik internal Polri memutuskan sanksi terberat: Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Bagi seorang perwira menengah, PTDH bukan sekadar kehilangan pekerjaan — itu adalah penghapus identitas. Karier yang dibangun bertahun-tahun, runtuh oleh kejahatan yang dilakukan terhadap mereka yang seharusnya dilindungi.
Namun cerita Fajar tidak berhenti pada pemecatan. Pengadilan pidana menanti, dan vonisnya jauh lebih berat dari sekadar sanksi etik.
Vonis 19 Tahun: Balasan atas Kejahatan yang Menghancurkan Masa Depan Anak
Selasa, 21 Oktober 2025, ruang sidang Pengadilan Negeri Kupang dijaga ketat.
Sidang digelar tertutup, mengingat korban adalah anak-anak di bawah umur. Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Anak Agung Gde Agung Parnata, Fajar duduk sebagai terdakwa bukan lagi sebagai perwira.
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan:
“Menjatuhkan pidana penjara selama 19 tahun dan denda Rp5 miliar.”
Selain hukuman penjara dan denda, Fajar juga diwajibkan membayar restitusi Rp359.162.000 kepada para korban. Barang bukti berupa pakaian, handphone, laptop, dan video rekaman dimusnahkan.
Majelis menegaskan bahwa tindakan Fajar melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Vonis ini sedikit lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta hukuman 20 tahun penjara.
Meski begitu, hakim menilai tidak ada alasan pemaaf bagi tindakan Fajar yang dinilai keji, sistematis, dan sangat merusak psikologis korban.
Jaksa: “Terdakwa Tidak Menunjukkan Penyesalan”
Ketua Tim JPU, Arwin, menyebut bahwa selama proses persidangan, Fajar terus berkelit dan membantah perbuatannya.
“Ia tidak menunjukkan rasa bersalah, justru menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi para korban anak,” ujar Arwin.
Menurut JPU, modus kejahatan Fajar dilakukan lewat aplikasi daring, di mana ia memesan anak untuk disetubuhi — perbuatan yang memenuhi unsur UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Perlindungan Anak.
“Bagi kami, hukuman ini sudah maksimal. Ia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dihancurkannya — masa depan anak-anak dan kehormatan institusi,” tegas Arwin.
Penyalur Anak Dihukum 11 Tahun Penjara
Dalam kasus yang sama, Stefani (20) mahasiswi yang menjadi perantara kejahatan Fajar juga dijatuhi hukuman berat.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang memvonisnya 11 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) UU Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU Pemberantasan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).
“Seluruh unsur tindak pidana dalam kedua pasal tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan,” tegas hakim.
Selain itu, Stefani diwajibkan membayar denda Rp2 miliar subsidair 1 tahun kurungan, serta biaya perkara Rp5.000.
Hakim menyebut, perbuatan terdakwa telah menyebabkan trauma berat bagi korban berusia 6 tahun, dan memicu keresahan di masyarakat.
“Perbuatan terdakwa bertentangan dengan semangat bangsa dalam menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan ramah bagi anak,” ujar hakim.
Satu-satunya hal yang meringankan adalah usia terdakwa yang masih muda. Hakim berharap Stefani bisa memperbaiki diri di kemudian hari meski luka yang ditinggalkannya pada korban mungkin tak akan sembuh selamanya.
Jejak Hitam di Seragam Kepolisian
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi institusi Polri.
Seorang mantan Kapolres yang seharusnya menjaga kehormatan hukum justru menodainya dengan kejahatan yang paling keji — menyiksa masa depan anak-anak demi kepuasan diri.
Vonis 19 tahun bagi Fajar bukan sekadar hukuman individual, tetapi juga peringatan keras bahwa tidak ada pangkat, jabatan, atau seragam yang kebal hukum.
Dari ruang kehormatan ke balik jeruji besi, perjalanan Fajar menjadi kisah kelam tentang bagaimana kekuasaan tanpa moral bisa menghancurkan segalanya termasuk dirinya sendiri.
(K)
#PelecehanSeksualTerhadapAnak #Kriminal #Polri