Awal Lahirnya TNI: Dari Semangat Eks PETA dan Heiho hingga Lahirnya Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945
TNI menggelar peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, pada 5 Oktober 2025
Dirgantaraonline – Setiap tanggal 5 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan penuh khidmat. Bukan sekadar seremoni militer tahunan, peringatan ini merupakan tonggak sejarah perjuangan bangsa sebuah momen refleksi atas lahirnya kekuatan pertahanan yang lahir dari semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan.
Di balik parade pasukan dan deretan alutsista modern yang menghiasi perayaan HUT TNI, tersimpan kisah panjang dan heroik tentang bagaimana tentara Indonesia terbentuk dari rakyat sendiri, di tengah kekosongan kekuasaan pasca-penjajahan Jepang. Sejarah ini berakar pada semangat para eks anggota PETA dan Heiho, yang kemudian melebur menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) cikal bakal dari TNI yang berdiri kokoh hingga kini.
Masa Pasca-Proklamasi: Kekosongan Kekuasaan dan Ancaman Baru
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, situasi nasional masih jauh dari stabil. Meskipun Soekarno dan Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki alat pertahanan negara yang resmi dan terorganisir.
Tentara Jepang, yang sebelumnya berkuasa di nusantara, masih bersenjata lengkap dan menunggu instruksi Sekutu untuk menyerahkan diri. Sementara itu, Belanda melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA) mulai bergerak kembali bersama Sekutu untuk merebut kekuasaan di tanah air. Dalam situasi genting inilah, pemerintah yang baru lahir menyadari bahwa keamanan dan kedaulatan bangsa harus dijaga dengan kekuatan sendiri.
Sebagai langkah awal, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945 membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan ini bukanlah tentara resmi, melainkan wadah koordinasi bagi para pejuang lokal — termasuk para eks-PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho, dua kesatuan bentukan Jepang yang berisi pemuda Indonesia terlatih.
Eks-PETA dan Heiho: Benih Tentara Nasional dari Rahim Penjajahan
Walau dibentuk oleh penjajah Jepang, PETA dan Heiho memiliki peran besar dalam mencetak kader militer Indonesia.
- PETA (Pembela Tanah Air) didirikan Jepang pada 3 Oktober 1943 sebagai bagian dari strategi pertahanan Asia Timur Raya. Di balik propaganda Jepang, organisasi ini justru menjadi wadah pembentukan disiplin, strategi perang, dan semangat nasionalisme bagi pemuda Indonesia.
Tokoh-tokoh besar seperti Soedirman, Gatot Soebroto, Sudirman Kartosuwiryo, hingga Supriyadi lahir dari lingkungan PETA. - Sementara Heiho adalah pasukan pembantu militer Jepang yang direkrut dari rakyat Indonesia, namun ditempatkan di bawah komando langsung tentara Jepang. Meskipun diperlakukan sebagai bawahan, pengalaman mereka menjadi bekal keterampilan militer yang sangat berharga saat kemerdekaan tiba.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, para mantan anggota PETA dan Heiho inilah yang kemudian menjadi tulang punggung pembentukan BKR dan kelak TKR.
Dari BKR ke TKR: Cikal Bakal Tentara Nasional
BKR pada awalnya bersifat non-militer formal, tanpa struktur komando nasional. Setiap daerah membentuk BKR-nya sendiri, menyesuaikan dengan kondisi lokal. Namun, situasi berubah drastis ketika Belanda mulai kembali dengan membonceng Sekutu.
Kesadaran akan ancaman kolonialisme baru mendorong pemerintah mengambil langkah strategis. Maka pada 5 Oktober 1945, pemerintah melalui maklumat resmi menetapkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Inilah tonggak berdirinya tentara nasional Indonesia yang sesungguhnya. Dalam maklumat tersebut ditegaskan bahwa TKR bertugas untuk mempertahankan kedaulatan dan keamanan negara, dengan sistem komando dan organisasi yang lebih teratur.
TKR kemudian dipimpin oleh Kolonel Soepriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat (walau ia kemudian dinyatakan hilang), dan Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR pada 18 Desember 1945 setelah memimpin kemenangan dalam pertempuran Ambarawa — sebuah peristiwa yang memperkokoh eksistensi tentara Indonesia di mata rakyat dan dunia.
Transformasi: Dari TKR ke TRI hingga Menjadi TNI
Perjalanan tentara Indonesia tidak berhenti di situ. Dalam upaya memperkuat struktur dan legalitas militer nasional, TKR mengalami beberapa kali perubahan nama dan reorganisasi:
- 8 Januari 1946 – TKR berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, melalui Penetapan Pemerintah No. 2 Tahun 1946.
- 26 Januari 1946 – Nama kembali diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 4/SD Tahun 1946.
Perubahan ini bertujuan agar organisasi militer Indonesia diakui secara internasional sebagai tentara resmi sebuah negara berdaulat, bukan sekadar kelompok pejuang rakyat. Pemerintah kemudian membentuk Panitia Besar Penyelenggara Organisasi Tentara, yang menyusun struktur kementerian pertahanan serta organisasi militer yang lebih modern dan profesional.
Melalui maklumat Presiden Soekarno pada 3 Juni 1947, TRI kemudian bergabung dengan berbagai laskar dan badan perjuangan rakyat, dan resmi berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Momen ini menandai lahirnya TNI sebagai kekuatan pertahanan negara yang bersifat nasional, profesional, dan terintegrasi.
Peran dan Tantangan TNI dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Sejak kelahirannya, TNI menghadapi berbagai ujian berat — baik dari ancaman eksternal maupun internal.
- Dari luar negeri, TNI harus menghadapi dua kali Agresi Militer Belanda (1947 dan 1948) yang berusaha mengembalikan penjajahan.
- Dari dalam negeri, muncul pemberontakan seperti PKI Madiun 1948 dan Darul Islam (DI/TII) di berbagai daerah yang menguji kesetiaan TNI pada Pancasila dan NKRI.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, TNI digabungkan dengan sisa pasukan KNIL dalam wadah Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Penyatuan ini menjadi fondasi awal bagi tentara nasional yang semakin solid dan profesional.
Pada 1962, terjadi penyatuan TNI dengan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sebagai simbol kekuatan pertahanan dan keamanan terpadu. Namun, seiring reformasi dan tuntutan demokratisasi, pada 1 April 1999, TNI dan Polri kembali dipisah menjadi dua institusi yang berdiri sendiri. Nama ABRI pun dikembalikan menjadi TNI seperti semula.
Makna Hari TNI dan Relevansinya di Masa Kini
Melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, tanggal 5 Oktober resmi ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun TNI. Bukan hanya perayaan simbolik, tetapi sebuah pengingat akan perjuangan rakyat yang bertransformasi menjadi kekuatan militer nasional.
Tugas pokok TNI sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 adalah:
- Menegakkan kedaulatan negara,
- Mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan
- Melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan.
Kini, TNI terus bertransformasi menjadi kekuatan yang profesional, modern, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Peringatan HUT TNI diisi dengan upacara militer nasional, parade defile pasukan, demonstrasi alutsista, hingga bakti sosial di berbagai daerah. Semua kegiatan ini menjadi wujud nyata kedekatan TNI dengan rakyat karena sebagaimana motto yang terus dijaga sejak awal berdirinya:
“TNI lahir dari rakyat, berjuang untuk rakyat, dan kembali kepada rakyat.”
(*)
#HariTNI #SejarahTNI #Militer #TNI