Racun dalam Madu: Kisah Wafatnya Imam Hasan al-Mujtaba dan Kontroversi Jaʿda
Dirgantaraonline - Di balik sejarah Islam awal, ada kisah getir yang selalu diceritakan ulang dengan penuh emosi: wafatnya Hasan ibn Ali, cucu Rasulullah ﷺ, putra Fatimah az-Zahra dan Ali ibn Abi Thalib. Hasan bukan sekadar cucu Nabi, ia adalah pemimpin generasi kedua Ahlul Bait, tokoh yang sempat menjabat sebagai khalifah kaum Muslimin setelah ayahnya gugur.
Namun di balik ketokohannya, ajal Hasan diselimuti misteri. Banyak riwayat menyebut ia meninggal karena diracun, dan pelakunya adalah istrinya sendiri: Jaʿda bint al-Ashʿath. Di sinilah drama sejarah, politik, dan intrik rumah tangga bercampur, menjadikan kisah wafatnya Hasan salah satu episode paling kelam sekaligus penuh pelajaran dalam sejarah Islam.
Masa-masa terakhir Hasan
Setelah Ali gugur pada tahun 661 M, Hasan diangkat sebagai khalifah. Namun situasi politik penuh gejolak. Muʿāwiya ibn Abi Sufyan, gubernur Syam, menolak baiat kepada Hasan. Dua kubu besar umat Islam hampir bertempur kembali.
Hasan, yang dikenal lebih mencintai perdamaian daripada pertumpahan darah, akhirnya memilih langkah sulit: ia menandatangani perjanjian damai dengan Muʿāwiya. Perjanjian itu membuat Muʿāwiya menjadi pemimpin tunggal kaum Muslim, sedangkan Hasan mundur dari kekhalifahan. Sejak saat itu, ia lebih banyak menyepi, mendidik umat, dan menghindari konflik politik terbuka.
Namun perdamaian itu bukan akhir cerita. Justru di situlah benih-benih intrik berikutnya tumbuh.
Versi populer: racun dalam madu
Banyak catatan sejarah klasik menggambarkan adegan dramatis: Muʿāwiya ingin menyiapkan putranya, Yazid, sebagai penerus. Namun selama Hasan masih hidup, legitimasi moral Yazid sulit diterima umat. Dalam konteks itulah, muncul narasi bahwa Muʿāwiya menghubungi Jaʿda, istri Hasan.
Kepada Jaʿda, ia menjanjikan dua hal:
- Harta melimpah (disebutkan sampai seratus ribu dirham).
- Janji menikahkannya dengan Yazid setelah Hasan wafat.
Jaʿda konon tergoda. Ia pun menyajikan madu yang telah dicampur racun kepada Hasan. Hasan segera merasakan perih yang tak tertahankan di perutnya. Ia menyadari dirinya telah diracun.
Dalam beberapa riwayat, Hasan berkata kepada saudaranya Husain:
“Aku tahu siapa yang meracuniku, tapi aku tidak ingin engkau menumpahkan darah karenanya. Serahkan urusanku kepada Allah.”
Beberapa hari ia menahan sakit. Tubuhnya melemah, wajahnya pucat. Hingga akhirnya pada tahun 670 M (tahun 50 H), Hasan wafat. Sebelum wafat, ia berwasiat agar imamah diteruskan oleh saudaranya Husain.
Nasib Jaʿda
Konon, setelah Hasan wafat, Jaʿda menagih janji kepada Muʿāwiya. Namun Muʿāwiya justru mengingkari. Ia berkata:
“Aku memang menjanjikanmu pernikahan dengan Yazid, tapi bagaimana mungkin aku mempercayakan putraku kepada wanita yang meracuni suaminya sendiri?”
Jaʿda pun ditinggalkan. Kekayaan memang ia dapatkan, tetapi janji pernikahan tak pernah terpenuhi.
Kisah tragis ini membuat nama Jaʿda dikenang buruk sepanjang zaman. Dalam tradisi Syiʿah, ia dicap sebagai pengkhianat, bahkan disebut-sebut sebagai lambang “istri berkhianat” yang menukar kesetiaan dengan dunia fana.
Versi lain: perdebatan para sejarawan
Meski kisah Jaʿda dan madu beracun sangat populer, para sejarawan berbeda pendapat.
-
Riwayat yang menuduh Jaʿda.
Banyak sejarawan klasik (terutama sumber-sumber Syiʿah, seperti al-Mufid dalam Kitab al-Irsyad) menuliskan bahwa Jaʿda memang pelaku utama, dengan dukungan Muʿāwiya. -
Riwayat yang meragukan.
Sebagian ulama Sunni menolak tuduhan itu. Mereka menyebut tidak ada sanad yang kuat, dan bahwa menuduh Muʿāwiya merencanakan pembunuhan cucu Nabi adalah fitnah besar. Mereka menekankan: Hasan memang sakit-sakitan, sehingga kematiannya bisa alami. -
Alternatif versi.
Ada juga riwayat yang menyebut Hasan diracun oleh orang lain, atau tanpa menyebut Jaʿda. Bahkan ada riwayat yang mengatakan Hasan wafat karena sebab medis biasa. -
Kajian modern.
Beberapa peneliti modern mencoba membaca gejala sakit Hasan dari teks klasik. Gejala itu memang konsisten dengan keracunan kronis. Namun tanpa bukti medis atau forensik, sulit memastikan kebenarannya.
Dengan kata lain, narasi wafatnya Hasan tidak seragam. Ada versi yang sangat dramatis, ada yang hati-hati, ada pula yang menolak total tuduhan itu.
Intrik rumah tangga dan politik
Jika benar Jaʿda meracun Hasan, maka kasus ini adalah contoh nyata bagaimana rumah tangga bisa dimasuki intrik politik. Perempuan yang seharusnya menjadi penenang hati justru dijadikan alat perebutan kekuasaan.
Namun jika narasi ini hanyalah propaganda, maka jelas tujuannya: menjatuhkan reputasi Muʿāwiya dan menguatkan narasi syahid Hasan. Apapun faktanya, kisah ini menunjukkan bagaimana politik pasca wafat Nabi sering kali merembes ke ranah pribadi keluarga Ahlul Bait.
Dari sejarah ke budaya: “Haram Jaddah” di Minangkabau
Anda menyebut istilah Minang: “Haram Jaddah”. Konon istilah ini merujuk pada kisah Jaʿda yang meracun suaminya sendiri.
Meski belum ditemukan literatur akademik resmi yang menuliskan istilah ini sebagai pepatah adat Minang, ada kemungkinan besar bahwa kisah ini tersebar lewat dakwah dan pengajian ulama, lalu melebur dalam perbendaharaan tutur masyarakat.
“Haram Jaddah” dalam konteks itu bisa dimaknai sebagai peringatan keras terhadap pengkhianatan, terutama pengkhianatan seorang istri terhadap suami. Dengan kata lain, istilah ini adalah contoh bagaimana kisah sejarah Islam awal hidup dalam budaya lokal Nusantara.
Pelajaran dari kisah Hasan
Kisah wafatnya Hasan al-Mujtaba, apapun versi yang kita terima, memberi banyak pelajaran:
- Tentang kekuasaan: Bahwa ambisi politik bisa menembus ranah rumah tangga, bahkan menjerumuskan orang terdekat.
- Tentang kehormatan: Hasan tetap menjaga kehormatannya; ia tahu pelaku, tapi tidak ingin membalas dendam dengan pertumpahan darah.
- Tentang pengkhianatan: Kisah Jaʿda menjadi simbol betapa berbahayanya pengkhianatan, apalagi bila dibungkus rayuan dunia.
- Tentang narasi sejarah: Kita belajar bahwa sejarah sering kali ditulis oleh berbagai pihak dengan motif masing-masing. Tidak ada satu versi yang mutlak, kecuali kita kembali pada sumber yang paling kredibel.
Hasan ibn Ali wafat pada tahun 670 M, dimakamkan di Baqi’, Madinah. Ia meninggalkan warisan moral: kelembutan, kasih sayang, dan pengorbanan demi persatuan umat.
Apakah benar ia diracun oleh Jaʿda? Apakah Muʿāwiya terlibat? Jawabannya tergantung sumber mana yang kita baca. Namun yang pasti, nama Hasan tetap harum sebagai cucu kesayangan Nabi, sementara nama Jaʿda menjadi simbol keburukan yang diperingatkan lintas zaman.
Dalam ingatan umat, ada yang menyebut peristiwa itu sebagai pengkhianatan terbesar dalam rumah tangga. Hingga dalam budaya Minang, konon lahirlah ungkapan: “Haram Jaddah.” Sebuah peringatan bahwa pengkhianatan bukan hanya aib, melainkan kutukan sejarah.
(***)