Peras Korban Puluhan Juta, 4 Napi Pelaku Love Skimming di Lampung Dibekuk Polisi
Dirreskrimsus Polda Lampung, Kombes Pol Dery Agung Wijaya saat konferensi pers.
D'On, Bandar Lampung – Praktik kejahatan siber kembali terbongkar di Lampung. Kali ini, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Lampung berhasil mengungkap sindikat pemerasan bermodus love skimming jebakan asmara berbalut pornografi yang berujung ancaman penyebaran video intim. Ironisnya, empat pelaku yang terlibat justru merupakan narapidana yang sedang mendekam di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).
Keempat tersangka, masing-masing berinisial MNY, S, RS, dan RDP, diketahui merupakan warga binaan di Lapas Kotabumi dan Lapas Metro, Lampung. Mereka menjalankan modus kejahatan dengan memanfaatkan keleluasaan mengakses gawai di dalam penjara, hingga berhasil menjerat korban dan meraup uang puluhan juta rupiah.
Modus Canggih, Bermula dari Rayuan Polisi Palsu
Dirreskrimsus Polda Lampung, Kombes Pol Dery Agung Wijaya, membeberkan detail modus para pelaku. Mereka mengawali aksinya dengan menyamar sebagai anggota kepolisian. Untuk memperkuat identitas palsu, foto-foto polisi yang mereka ambil dari media sosial dijadikan profil di akun palsu.
“Pelaku memajang foto anggota Polri dari Facebook, kemudian menjalin komunikasi dengan korban. Hubungan itu intens, berkelanjutan, hingga tumbuh rasa percaya. Dari sinilah masuk ke tahap percakapan seksual melalui video call,” jelas Kombes Dery, Kamis (25/9/2025).
Momen intim itu direkam diam-diam oleh pelaku. Setelah korban terperangkap, jebakan berikutnya langsung dipasang. Pelaku mengaku sedang terkena razia oleh provos, dan video tersebut sudah sampai ke atasan. Dengan dalih agar video tak tersebar, korban diminta untuk “berkoordinasi” dengan provos palsu yang ternyata juga bagian dari sindikat.
Skema Pemerasan Berlapis dari Balik Jeruji
Menurut Dery, dalam skenario ini setiap pelaku punya peran berbeda. Ada yang berperan sebagai polisi, ada yang menyamar sebagai provos, hingga yang mengaku sebagai atasan provos. Dengan struktur semu itu, korban dibuat panik dan percaya bahwa video intimnya benar-benar berada di tangan aparat.
“Di Lapas Kotabumi, misalnya, tersangka pertama mengaku polisi. Tersangka kedua menyamar sebagai provos yang mengaku menemukan video seks korban di ponsel. Tersangka ketiga kemudian muncul mengaku sebagai pimpinan provos. Level demi level ini membuat korban semakin takut dan akhirnya menyerahkan uang,” terang Dery.
Korban Rugi Puluhan Juta
Polisi mencatat, setidaknya ada dua korban dalam kasus ini. Kerugian yang dialami pun tak sedikit.
- Kasus di Metro: pelaku menuntut korban Rp70 juta. Hingga kini, korban sudah mengirimkan uang Rp67,8 juta.
- Kasus di Kotabumi: pelaku baru berhasil mendapatkan Rp500 ribu, namun rencana pemerasan dilakukan secara bertahap dengan nominal lebih besar.
“Bahasa yang mereka gunakan sangat meyakinkan. Korban dibuat percaya bahwa video seks mereka bisa tersebar kapan saja. Rasa malu dan takut itu dimanfaatkan untuk menguras uang korban,” ujar Dery.
Penyelidikan Rumit, Jejak Tersangka Tertuju ke Lapas
Pengungkapan kasus ini bukan perkara mudah. Tim siber Ditreskrimsus Polda Lampung melakukan profiling mendalam, hingga akhirnya jejak digital pelaku mengarah ke dalam lapas. Penyelidikan intensif dilakukan bersama pihak Kanwil Ditjenpas Lampung, hingga identitas pelaku terkuak.
“Koordinasi dengan Kanwil Ditjenpas sangat penting, karena ada indikasi keterlibatan beberapa oknum dalam meloloskan akses gawai ke dalam lapas. Dari hasil profiling, kami berhasil mengunci pelaku yang ternyata sudah berstatus napi,” kata Dery.
Ancaman Hukuman Berat
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Pornografi. Ancaman hukuman yang menanti tak main-main: maksimal 12 tahun penjara.
Namun publik tentu bertanya: bagaimana mungkin napi bisa leluasa mengoperasikan sindikat pemerasan berteknologi tinggi dari balik jeruji? Kasus ini kembali menyoroti lemahnya pengawasan di lapas, terutama terkait peredaran ponsel dan jaringan internet ilegal di dalam penjara.
Kasus love skimming yang terungkap di Lampung ini menjadi alarm keras. Fenomena kejahatan digital tidak lagi hanya beroperasi di luar penjara, tetapi sudah menyusup ke dalam lapas yang seharusnya menjadi tempat pembinaan.
Para pelaku bukan sekadar iseng, melainkan menjalankan modus terstruktur dengan pola komunikasi yang rapi dan target yang jelas. Jika tak segera diperketat, bukan tidak mungkin lapas-lapas lain menjadi “markas” kejahatan siber yang justru semakin sulit diberantas.
(Geh)