Breaking News

Mohammad Natsir: Keteguhan Menolak Komunisme, Perseteruan dengan Bung Karno, dan Jalan yang Pernah Membawanya ke Penjara


Dirgantaraonline -
 Mohammad Natsir bukan sekadar nama dalam daftar tokoh kemerdekaan. Ia adalah pribadi yang teguh pada prinsip seorang intelektual Islam yang mampu merangkai argumen teologis dan politik, namun sama kerasnya menentang ideologi yang dianggapnya mengancam masa depan bangsa: komunisme. Perdebatan tajamnya dengan Sukarno, posisi sentralnya dalam Masyumi, hingga tahanan politik yang menimpa dirinya pada era 1950-an menjadi lapisan penting dalam sejarah politik Indonesia pascakemerdekaan.

Lahir, Pendidikan, dan Awal Kehidupan Politik

Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908, dari keluarga Minangkabau yang taat beragama. Sejak kecil ia menunjukkan kecenderungan ganda: pendidikan formal ala kolonial Belanda (HIS, MULO, lalu AMS di Bandung) berpadu dengan pendidikan agama di madrasah. Keseimbangan antara ilmu dunia dan agama ini kelak membentuk gaya intelektualnya—keras dalam argumentasi, tegas dalam tafsir politik Islam.

Selama masa muda di Bandung Natsir aktif di Jong Islamieten Bond (JIB) dan terlibat kuat dalam organisasi Islam; reputasinya sebagai pemimpin intelektual semakin menonjol ketika ia bergabung dan kemudian memimpin Partai Islam Indonesia (PII) sebelum Perang Dunia II.

Dari MIAI ke Masyumi — Suara Islam di Tengah Pendudukan dan Revolusi

Ketika Jepang menguasai nusantara, Natsir berkonsentrasi pada aktivitas keagamaan-organisatoris melalui Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan 5 September 1942. Lembaga ini kemudian bergeser menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), yang menjelma menjadi salah satu kekuatan politik Islam terbesar pascakemerdekaan. Peran Natsir kian besar: setelah Proklamasi, ia menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (25 November 1945) dan diangkat sebagai Menteri Penerangan pertama pada 3 Januari 1946 hingga 1949.

Mosi Integral dan Jabatan Perdana Menteri

Natsir menjadi arsitek Mosi Integral (1950) — sebuah langkah penting yang menyatukan kembali bentuk negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah periode federal. Berkat peran itu, pada 1950–1951 Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Perdana Menteri. Masa jabatan singkatnya bukan karena kurang prestasi, melainkan karena perbedaan prinsipil dengan Presiden—perbedaan yang semakin meruncing dalam beberapa aspek visi negara dan peran Islam di ranah publik.

Perseteruan dengan Bung Karno: Benturan Gagasan Sebelum Kemerdekaan

Banyak orang mengetahui perseteruan Natsir dan Sukarno pascakemerdekaan; tetapi sedikit yang tahu bahwa gesekan itu sudah tumbuh jauh sebelumnya, ketika Belanda masih berkuasa. Dalam tulisan-tulisan Sukarno di Pandji Islam — seperti "Memudakan Pengertian Islam" dan "Masyarakat Kapal-udara" — Sukarno menyinggung stagnasi pemikiran umat Islam. Bagi Natsir, itu adalah pukulan yang tak bisa diterima begitu saja.

Alih-alih melontarkan serangan personal, Natsir memilih membalas lewat tulisan: esai-esai seperti "Tjinta Agama dan Tanah Air", "Ichwanu'shafaa", dan "Islam dan Akal Merdeka" menjadi jawaban intelektualnya. Polemik inilah yang memetakan dua orientasi besar: Sukarno yang berujung pada slogan "Kita datang dari Timur, kita berjalan menuju Barat", dan Natsir yang menegaskan prinsipnya—“Baik di Barat ataupun di Timur, kita menuju keridlaan Ilahi.” Perbedaan ini bukan sekadar retorika; ia menjadi dasar konflik politik yang berakar dalam.

Keteguhan Menolak Komunisme: Hikmah sebagai Benteng Ideologis

Kecemasan Natsir terhadap komunisme bukan sekadar reaksi politik; ia lahir dari analisis ideologis dan empatik. Lewat majalah Hikmah—yang dipimpinnya dan berfungsi sebagai corong Masyumi—Natsir menegaskan bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah ancaman serius: “PKI sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan tata negara,” demikian bunyi kritik yang kerap muncul. Hikmah mengaitkan praktik kekerasan rezim-rezim komunis di Uni Soviet dan Tiongkok sebagai peringatan bagi Indonesia.

Lebih dari sekadar penolakan militer atau antarkelompok, Natsir menegaskan bahwa ideologi mesti dilawan dengan ideologi: memperkuat “alat-alat batin” — keyakinan agama dan keteguhan spiritual — agar masyarakat tidak mudah ditarik ke dalam orbit komunisme. Posisi ini menjadikan Masyumi sebagai rival politik utama PKI pada 1950-an.

Hubungan Rumit dengan D.N. Aidit: Dari Debat Memanas ke Kopi dan Sate

Kontras antara kebencian politik dan kehangatan pribadi tampak dalam relasinya dengan D.N. Aidit, ketua PKI. Di arena Konstituante keduanya sering bertarung kata; kabar populer menyebut Natsir pernah sekeras ingin melempar kursi ke Aidit—anecdote yang dikisahkan Yusril Ihza Mahendra. Namun di luar sidang, interaksi mereka jauh lebih manusiawi: Aidit disebut kerap menyapa Natsir dengan segelas kopi hangat dan obrolan ringan sambil menyantap sate. Kontradiksi semacam ini menggambarkan lanskap politik Indonesia kala itu: keras di forum, namun tetap berpegang pada norma sosiokultural pergaulan.

Pembubaran Masyumi, Penahanan, dan Masa Tersembunyi

Konsekuensi politik dari perseteruan ini nyata. Pada 1960, Sukarno membubarkan Masyumi; tokoh-tokohnya, termasuk Natsir, dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI dan dipenjarakan. Natsir baru dibebaskan ketika Orde Baru mulai menata ulang negeri pada 1966, tetapi sisa-sisa marginalisasi tetap terasa: selama rezim Orde Baru, kiprahnya relatif dipinggirkan meski reputasinya di dunia Islam internasional tetap kuat.

Warisan: Dari Tahanan Politik Jadi Pahlawan Nasional

Mohammad Natsir menghembuskan napas terakhir pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Pernah dipenjara oleh pemerintah yang berbeda aliran politik dengannya, ia kemudian dielu-elukan sebagai tokoh penting negara: pada 6 November 2008 Natsir dinyatakan Pahlawan Nasional. Warisannya kompleks—sebuah kombinasi antara intelektualitas Islam yang mendalam, keberanian politik, dan kontroversi yang tak terhindarkan saat menghadapi arus ideologis kuat di zamannya.

Refleksi Akhir

Kisah Mohammad Natsir menunjukkan bahwa perjalanan politik seseorang tak melulu linier. Keteguhan hati menolak komunisme membuatnya dipuja oleh sebagian dan dicurigai oleh sebagian lain; polemik dengan Sukarno membuka ruang bagi perdebatan mendasar soal posisi agama dan negara; sementara hubungan manusiawi dengan lawan politik seperti Aidit mengingatkan kita pada sisi kemanusiaan di balik rivalitas ideologis. Sebagai figur yang hidup di persimpangan agama, politik, dan nasib bangsa, Natsir meninggalkan pelajaran penting: bahwa perjuangan intelektual tidak hanya soal menang-kalah, melainkan tentang mempertahankan keyakinan sambil tetap menanggung konsekuensi sejarah.

Sumber utama yang digunakan dalam tulisan ini: potongan catatan sejarah dan esai tentang Mohammad Natsir; termasuk ulasan Arahman Ali dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007), laporan Historia.ID tentang interaksi Aidit–Natsir, serta arsip-arsip ringkas kehidupan Natsir (lahir 17 Juli 1908 — wafat 6 Februari 1993; diangkat Pahlawan Nasional 6 November 2008).

(*)