Breaking News

Buruh Desak Presiden Prabowo Hapus Pajak atas THR, Pesangon, dan JHT: “Ini Beban Ganda bagi Pekerja”

Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan paparan kepada Presiden Prabowo Subianto saat May Day 2025 di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden

D'On, Jakarta
– Suara lantang kalangan buruh kembali menggema di Istana Kepresidenan. Pada Senin malam (1/9), perwakilan organisasi buruh besar di Indonesia bertemu langsung dengan Presiden Prabowo Subianto. Pertemuan itu bukan sekadar silaturahmi, melainkan ajang menyampaikan aspirasi mendesak: penghapusan pajak yang selama ini membebani para pekerja, terutama pada momen penting seperti penerimaan Tunjangan Hari Raya (THR), pesangon, dan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, yang hadir bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea, menegaskan bahwa pajak-pajak tersebut selama ini menjadi “beban ganda” bagi buruh.

“Kami mengusulkan pajak-pajak THR, pajak pesangon, pajak JHT dihapus,” tegas Said dalam konferensi pers usai pertemuan, Selasa (2/9).

Tak hanya itu, buruh juga mendesak adanya reformasi besar dalam kebijakan perpajakan, khususnya terkait ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Saat ini, PTKP berada di kisaran Rp 4,5 juta per bulan. Buruh menilai angka tersebut tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, mereka meminta agar batasan tersebut dinaikkan signifikan menjadi Rp 7,5 juta per bulan.

“Dan PTKP, pendapatan tidak kena pajak, dinaikkan dari Rp 4,5 juta rupiah per bulan menjadi Rp 7,5 juta rupiah per bulan,” tambah Said.

Respons Prabowo: Ada yang Bisa Cepat, Ada yang Perlu Waktu

Menurut Said, aspirasi tersebut mendapat tanggapan positif dari Presiden Prabowo. Namun, ia mengakui bahwa tidak semua tuntutan buruh dapat diproses dalam waktu singkat. Beberapa isu, khususnya yang menyangkut revisi undang-undang ketenagakerjaan, memerlukan mekanisme panjang di legislatif.

“Sekali lagi, ada yang bisa cepat, ada yang tidak bisa cepat berproses. Terutama rancangan undang-undang. Prinsipnya, Pak Prabowo termasuk pemuka agama, kawan-kawan mahasiswa, pemuda, organisasi kepemudaan, dan beberapa kelompok lain yang diundang, merespons baik,” ujar Said.

Mengapa THR, Pesangon, dan JHT Dikenai Pajak?

Secara regulasi, pemotongan pajak terhadap THR dan pesangon bukanlah hal baru. Mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, THR dikategorikan sebagai penghasilan tidak tetap yang menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.

Artinya, meski sifatnya insidental hanya diberikan menjelang hari raya keagamaan THR tetap dipandang sebagai tambahan penghasilan yang harus dikenai pajak. Begitu pula pesangon dan pencairan JHT, keduanya masuk ke dalam kategori penghasilan yang dipotong PPh sesuai aturan yang berlaku.

Berdasarkan informasi di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kebijakan pemotongan pajak atas THR kembali berlaku pada 2025 ini, dengan mekanisme yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu THR dihitung dengan metode penghasilan bruto yang digabungkan dengan penghasilan tahunan dan dikenai tarif progresif, kini perhitungannya menggunakan skema Tarif Efektif Rata-rata (TER) sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023.

Dengan sistem baru ini, THR tetap dipandang sebagai penghasilan tambahan, tetapi pemotongan pajaknya disederhanakan. Perhitungan dilakukan dalam satu bulan tertentu, bukan lagi secara kumulatif tahunan. Pemerintah mengklaim skema ini lebih sederhana, tetapi kalangan buruh justru menilai tetap membebani, apalagi saat THR seharusnya menjadi “hadiah penuh” bagi pekerja.

Beban Psikologis dan Ekonomi bagi Buruh

Bagi buruh, pajak atas THR, pesangon, dan JHT bukan hanya soal angka nominal, melainkan soal keadilan. THR sejatinya adalah hak pekerja yang berfungsi sebagai penopang kebutuhan menjelang hari raya. Pesangon menjadi jaring pengaman ketika kehilangan pekerjaan, sementara JHT adalah hasil iuran panjang yang semestinya utuh saat dicairkan.

“Kalau semua itu dipotong pajak, sama saja negara mengambil kembali bagian dari keringat pekerja. Padahal, fungsinya jelas untuk kesejahteraan,” ujar seorang perwakilan buruh yang hadir.

Latar Belakang Tuntutan: Kesejahteraan yang Belum Optimal

Tuntutan buruh agar PTKP dinaikkan menjadi Rp 7,5 juta per bulan juga mencerminkan realitas biaya hidup di kota-kota besar. Dengan harga kebutuhan pokok, transportasi, dan perumahan yang kian melambung, ambang PTKP saat ini dianggap tidak lagi sesuai.

Jika tuntutan itu dikabulkan, buruh berpendapat, daya beli pekerja akan meningkat, konsumsi masyarakat naik, dan roda ekonomi ikut bergerak lebih cepat. Sebaliknya, jika tetap pada aturan lama, banyak pekerja dengan gaji pas-pasan justru akan lebih tertekan oleh kewajiban pajak.

Jalan Panjang Menuju Reformasi Pajak

Kini bola ada di tangan pemerintah. Aspirasi buruh sudah disampaikan, dan Presiden Prabowo telah merespons dengan terbuka. Namun, perjalanan menuju perubahan regulasi perpajakan bukanlah hal yang sederhana. Dibutuhkan kajian fiskal, diskusi panjang di kabinet, hingga pembahasan dengan DPR.

Meski begitu, desakan ini menjadi momentum penting. Buruh tidak lagi hanya berbicara soal upah minimum, tetapi juga menyasar kebijakan fiskal negara. Ini menunjukkan bahwa kesadaran pekerja terhadap isu perpajakan semakin tinggi, dan mereka menuntut keadilan agar pajak tidak lagi menjadi beban tambahan bagi kelompok masyarakat yang ekonominya masih rentan.

Dengan desakan kuat dari serikat buruh, kini publik menanti langkah lanjutan dari Presiden Prabowo: apakah benar-benar akan mereformasi sistem perpajakan yang selama ini dianggap kurang berpihak pada pekerja, ataukah aspirasi tersebut hanya akan menjadi catatan kecil di tengah agenda besar pemerintahan?

(Mond)

#Buruh #Pajak #THR #BPJSKesehatan #Nasional