Breaking News

Berawal dari Asas Tunggal Pancasila, Tragedi Tanjung Priok 1984 Meletus: Luka Orde Baru yang Tak Pernah Sembuh

Pangkobkamtib Jenderal TNI LB Moerdana, didampingi Menteri Penerangan Harmoko dan Panglima Kodam V Jaya Mayjen Try Sutrisno memberi keterangan terkait Peristiwa Tanjung Priok pada 13 September 1984 (Kompas/August Parengkuan)

Dirgantaraonline 
– Tanggal 12 September 1984 tercatat sebagai salah satu hari paling kelam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ratusan nyawa melayang, ribuan luka menganga, dan sampai hari ini, peristiwa itu masih menyisakan trauma sekaligus pertanyaan besar: benarkah tragedi Tanjung Priok hanya sekadar kerusuhan massa, atau justru bagian dari praktik kekuasaan Orde Baru yang represif terhadap kebebasan sipil dan agama?

Banyak kalangan menyebutnya sebagai pelanggaran HAM berat sebelum kerusuhan Mei 1998. Tragedi ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan ideologis Soeharto yang berusaha menancapkan hegemoni tunggal: Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Akar Persoalan: Asas Tunggal Pancasila

Sejak awal 1970-an, Presiden Soeharto secara perlahan membungkam lawan politiknya. Partai-partai politik dipaksa melebur: kelompok Islam dikonsolidasikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara nasionalis dan sekuler digiring ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar tetap menjadi “anak emas” Orde Baru.

Kemenangan mengejutkan PPP dalam Pemilu 1977 di Jakarta membuat Soeharto semakin curiga. Baginya, kelompok Islam dianggap ancaman yang bisa mengganggu stabilitas dan kekuasaannya. Maka lahirlah gagasan “asas tunggal Pancasila” – di mana seluruh organisasi sosial, politik, dan keagamaan diwajibkan tunduk hanya pada Pancasila.

Pada 1980, sejumlah tokoh bangsa seperti AH Nasution, Hoegeng, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, dan Burhanuddin Harahap menyampaikan protes keras lewat Petisi 50. Mereka menilai Soeharto telah menggunakan Pancasila sebagai alat politik, bukan lagi sebagai falsafah pemersatu. Namun protes itu dibungkam, bahkan para penandatangannya dijadikan “musuh politik.”

Kebijakan asas tunggal ini makin kokoh setelah MPR mengesahkan Tap MPR No. II/1983 tentang GBHN. Pemerintah gencar mensosialisasikan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sementara itu, siapa pun yang menolak dicap ekstrem kanan – sebuah istilah politik Orde Baru yang identik dengan “ancaman Islam radikal.”

Ketegangan di Tanjung Priok

Penolakan paling keras datang dari masjid-masjid di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Para mubaligh mengecam keras intervensi pemerintah terhadap urusan agama, mulai dari pembatasan ceramah hingga larangan siswi SMA memakai jilbab.

Ketegangan meledak pada awal September 1984, bermula dari Mushala As-Sa’adah.

  • 7 September 1984: Seorang Babinsa mendatangi mushala dan meminta pamflet pengajian yang berisi kritik terhadap kebijakan Orde Baru dicopot. Warga tersinggung.
  • 8 September 1984: Sertu Hermanu, oknum ABRI, datang kembali. Tak hanya menyita pamflet, ia masuk tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur’an. Aksi ini memicu amarah jamaah, hingga motor milik Hermanu dibakar.
  • 10 September 1984: Perselisihan antara jamaah dan aparat kembali pecah, berujung pada pembakaran motor milik marinir. Empat orang jamaah ditangkap, termasuk dua takmir masjid yang sebelumnya mencoba menengahi.

Penangkapan itu menjadi titik balik. Warga menuntut pembebasan, tapi aparat bergeming.

Malam Berdarah 12 September

Pada 12 September 1984, sebuah tabligh akbar digelar di Jalan Sindang, Koja. Ribuan orang berkumpul, mendengarkan ceramah yang menyuarakan protes terhadap penahanan empat warga. Amir Biki, tokoh masyarakat setempat, berdiri di barisan terdepan menuntut pembebasan tahanan.

Massa kemudian bergerak menuju kantor Polres Jakarta Utara dan Koramil. Namun langkah mereka dihadang militer bersenjata lengkap.

Apa yang terjadi kemudian berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Aparat menembakkan gas air mata dan peluru peringatan, tapi massa tak surut. Tak lama kemudian, rentetan peluru tajam dilepaskan ke arah kerumunan.

Tubuh-tubuh bergelimpangan di jalan. Laporan saksi mata bahkan menyebut aparat menembakkan bazoka ke arah massa. Jalanan Tanjung Priok malam itu basah oleh darah.

Rumah sakit-rumah sakit umum dilarang menerima korban. Mereka yang selamat hanya bisa dibawa ke Rumah Sakit Militer. Setelah korban diangkut, mobil pemadam kebakaran datang untuk menyemprot darah di jalan raya – seolah-olah menghapus jejak pembantaian.

Jumlah Korban: Versi Pemerintah vs Versi Rakyat

Versi resmi pemerintah, yang disampaikan Jenderal LB Moerdani, menyebut hanya 24 orang tewas dan 55 luka-luka.

Namun, investigasi Solidaritas Nasional untuk Tanjung Priok (Sontak), serta berbagai saksi lapangan, menyebut jumlah korban jauh lebih besar: sekitar 400 orang tewas, belum termasuk yang hilang, cacat, atau ditahan.

Selain itu, 160 warga ditangkap tanpa prosedur hukum jelas. Mereka dicap provokator, disiksa, dan sebagian tak pernah kembali.

Luka yang Tak Pernah Ditutup

Peristiwa Tanjung Priok bukan sekadar “kerusuhan massa.” Ia adalah bukti bagaimana kekuasaan Orde Baru menggunakan militerisme dan ideologi tunggal untuk membungkam kritik rakyat.

Tragedi ini menyisakan trauma mendalam bagi keluarga korban, yang hingga kini masih mencari keadilan. Meski kasus ini pernah dibawa ke pengadilan HAM Ad Hoc pada era reformasi, vonis akhirnya menyatakan para jenderal bebas dari hukuman.

Tragedi Tanjung Priok adalah potret buram rezim Orde Baru: penuh dengan represi, darah, dan kebungkaman.

Catatan sejarah: Tragedi Tanjung Priok 1984 bukan sekadar konflik ideologi, tapi sebuah simbol betapa kuasa negara saat itu bisa menembak rakyatnya sendiri demi menjaga hegemoni.

(***)

#Sejarah #TragediTanjungPriok #AsasTunggal #OrdeBaru #Pancasila